well, setelah sekian lamaaaaaaa banget saya tidak menulis apa2 sesuatu yg berkaitan zoonosis..
Kali ni saya mau mempublikasi salah satu hasil karya saya sendiri..
(prokkk..proookk...terharu)
Tulisan saya kali ini terkait dengan salah satu penyakit yanggg cukup menjadi ancaman bagi kita yg dapat ditularkan dr hewan.. apalagi di musim2 hujan kayak gini..
hohohoho
silahkan dibaca ^^
Leptospirosis
adalah penyakit zoonotik yang disebabkan oleh infeksi spiroket Leptospira
interrogans dan merupakan salah satu zoonosis yang paling sering terjadi di
seluruh dunia. Penyakit ini ditemukan pertama kali oleh Weil pada tahun
1886. Leptospirosis dikenal dengan nama flood fever atau demam banjir,
karena sering terjadi wabah pada saat banjir. Bentuk paling parah dari
leptospirosis yang menyerang dan merusak hampir semua organ dikenal dengan Weil’s
Disease (Maroun et al. 2011).
Penularan leptospirosis dapat terjadi secara langsung akibat adanya kontak
antara manusia dengan urin atau jaringan binatang yang terinfeksi, dan secara
tidak langsung terjadi akibat kontak antara manusia dengan air, tanah, atau
tanaman yang terkontaminasi urin dari binatang yang terinfeksi leptospira
(Anies et al. 2009).
Leptospirosis merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia,
khususnya negara-negara yang beriklim tropis dan subtropis yang memiliki curah
hujan tinggi (Jha dan Ansari 2010). Penyakit infeksi ini endemis pada
masyarakat miskin atau populasi petani dan pekerja yang berhubungan dengan air
dan tanah di negara berkembang. Meskipun leptospirosis adalah penyakit yang
mengancam jiwa dan menimbulkan banyak kerugian, kurangnya data global mengenai
morbiditas dan mortalitas dari penyakit ini menyebabkan leptospirosis menjadi salah satu penyakit infeksi
yang terabaikan atau neglected infectious diseases (Costa et al. 2015).
Leptospirosis menjadi masalah di dunia karena angka kejadian yang dilaporkan
rendah di sebagian besar negara. Hal ini dikarenakan kesulitan dalam diagnosis
klinis dan tidak tersedianya alat diagnostik yang memadai, sehingga banyak
kejadian yang tidak diketahui.
Kejadian leptospirosis
untuk negara subtropis adalah berkisar antara 0,1-1 kejadian tiap 100 000
penduduk per tahun, sedangkan di negara tropis berkisar antara 10-100 kejadian
tiap 100 000 penduduk per tahun (WHO 2009). Tingginya angka prevalensi leptospirosis di daerah
yang memiliki iklim tropis dan subtropis, dapat dihubungkan dengan kondisi
lingkungan yang kurang baik sehingga memungkinkan lingkungan tersebut menjadi
tempat yang baik atau cocok untuk hidup dan berkembangbiaknya bakteri Leptospira
(Febrian 2013). Insiden
penyakit leptospirosis tertinggi di wilayah Afrika (95.5 per 100 000 penduduk)
diikuti oleh Pasifik Barat (66.4), Amerika (12.5), Asia Tenggara (4.8) dan
Eropa (0.5). Sebagian besar kasus yang dilaporkan memiliki manifestasi parah
dengan angka kematian lebih besar dari 10%. Costa et al. (2015) memperkirakan wabah leptospirosis telah menyebabkan 1.03
juta kasus dan 58 900 kematian setiap tahunnya. Morbiditas dan mortalitas
paling banyak terjadi di negara miskin atau wilayah yang tidak rutin melakukan
survailens.
Di
Indonesia penyakit leptospirosis sering dilaporkan terjadi di daerah Jawa
Tengah seperti Semarang, Klaten, Demak, atau Boyolali. Beberapa tahun terakhir
di derah rawan banjir seperti Jakarta dan Tangerang juga dilaporkan terjadinya
penyakit ini. Selain itu kasus leptospira juga banyak ditemukan di daerah
pesisir pasang surut seperti Riau, Jambi, dan Kalimantan. Angka kematian
leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi yaitu mencapai 2.5-16.45% (Anies et al. 2009). Oleh karena itu penyakit
ini penting untuk diketahui secara lengkap oleh masyarakat di Indonesia serta harus
mendapatkan prioritas dalam pengendalian dan pemberantasannya terutama
menjelang musim hujan tiba dan khususnya pada wilayah-wilayah rawan terjadi
banjir.
Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan salah satu penyakit zoonotik yang
banyak terjadi di Indonesia yang disebabkan oleh bakteri leptospira spp. sehingga dapat diketahui bagaimana dampak penyakit
ini pada masyarakat serta bagaimana upaya untuk mengendalikannya.
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Agen
Leptospira
merupakan bakteri gram negatif dan spiroket aerobik-obligat dari famili
Leptospiraceae dan ordo Spirochaetales. Bakteri ini berbentuk spiral, tipis, halus,
dan fleksibel dengan panjang 6-20 μm, dan lebar 0.1-0.2 μm serta memiliki dua
lapis membran. Salah satu ujung leptospira berbentuk bengkok seperti kait.
Leptospira tidak berflagel, namun dapat melakukan gerakan rotasi aktif (memutar
sepanjang sumbunya) dengan gerakan maju mundur. Bentuk dan gerakannya dapat
dilihat dengan mikroskop fase kontras. Bakteri ini tidak mudah diwarnai, namun
dapat diwarnai dengan impregnasi perak (Tanzil
2012).
Gambar 1 Bakteri Leptospira sp. (ECDC 2015)
Leptospira
tumbuh baik pada kondisi aerobik di suhu 28-30°C (Jawetz et al. 2010) dan pH 7.2-8.0 (Meeyam et al. 2006). Bakteri ini dapat
tumbuh dengan baik dalam media yang mengandung serum kelinci (Fletcher’s
medium), juga pada media yang mengandung serum sapi (Ellinghausen-Mc Cullough-Johnson-Harris/
EMJH medium), pertumbuhannya terlihat dalam beberapa hari sampai 4
minggu. Leptospira peka terhadap asam dan dapat hidup di dalam air tawar selama
kurang lebih satu bulan. Menurut Evangelista dan Coburn (2010), berdasarkan
genetiknya leptospira diklasifikasikan menjadi 19 spesies (13 patogen dan
6 saprofit) yang diidentifikasi melalui
analisis DNA hibridisasi. Tujuh dari
spesies tersebut yaitu L. interrogans,
L. borgpetersenii, L. santarosai, L. noguchii, L. weilli, L. Kirschneri, dan L. alexanderi merupakan agen utama penyebab leptospirosis. Semua
spesies dari Leptospira terbagi lagi menjadi 24 serogroup berdasarkan ekpresi
dari permukaan lipopolisakarida. Beberapa serovar L.interrogans yang patogen pada manusia adalah L. icterohaemorrhagiae, L. canicola,
L. pomona, L. grippothyphosa, L. javanica, L. celledoni,
L. ballum, L. pyrogenes, L. bataviae, dan L. hardjo.
Leptospirosis
dapat menyerang berbagai hewan mamalia dan marsupial dengan atau tanpa gejala
klinis. Serovar dari Leptospira dapat menginfeksi anjing, sapi, babi (Meeyam et al. 2006),
domba, kambing (Ko et al. 2009), serta
mamalia lain namun jarang menunjukkan gejala klinis di kucing. Leptospirosis
pernah dilaporkan terjadi di kebun binatang dan satwa liar. Selain mamalia
darat, leptospira juga dilaporkan terjadi di antara mamalia laut, kasus klinis
terjadi paling sering pada singa laut California (Zalophus californianus) dan anjing laut alaska (Callorhinus ursinus) serta pernah pula
dilaporkan terjadi pada anjing laut (Phoca
vitulina) dan gajah laut utara (Mirounga
angustirostris) (CFSPH 2013).
Leptospira
masuk ke dalam darah penderita, berkembang biak, dan menyebar ke seluruh jaringan
tubuh. Tubuh manusia akan memberikan respon imunologi, baik secara selular maupun
humoral. Leptospira berkembang biak terutama di ginjal (tubulus konvoluta)
sehingga ginjal menjadi organ yang paling sering terkena dampak parah dari
leptospirosis (Putra 2008). Leptospira ini akan bertahan dan diekresi melalui
urin. Leptospira dapat berada di urin sekitar 8 hari setelah infeksi hingga
bertahun-tahun. Setelah fase leptospiremia selama 4-7 hari, leptospira hanya
dijumpai pada jaringan ginjal dan mata. Leptospiremia umumnya berlangsung 1-4
minggu.
Pada
fase leptospiremia, leptospira melepaskan toksin yang menyebabkan gangguan pada
beberapa organ. Gangguan ini dapat diklasifikasikan berdasarkan histopatologi
maupun patofisiologinya. Beberapa organ yang mengalami gangguan akibat toksin
leptospira adalah ginjal, mata, hati, otot rangka, pembuluh darah, dan jantung.
Bila leptospira masuk ke dalam cairan serebrospinal sampai ke selaput otak,
maka dapat menyebabkan meningitis.
Meningitis merupakan gangguan
neurologi yang paling sering dialami sebagai komplikasi dari leptospirosis. Leptospira
adalah kuman nefrofilik yang dapat menyerang ginjal secara invasi langsung.
Seluruh bagian ginjal dapat terkena infeksi leptospira. Nefritis interstisial merupakan
lesi pertama kali yang dapat dijumpai, bahkan sebelum adanya gejala klinis.
Selanjutnya penderita dapat mengalami nekrosis tubuler, yang dapat menyebabkan komplikasi
menjadi gagal ginjal akut. Pada tahapan tersebut, pasien dianjurkan menjalani
hemodialisis (Ramadhani dan Yunianto
2012).
Leptospira
juga di temukan di antara sel-sel parenkim hati. Pada komplikasi hati,
leptospirosis dapat menyebabkan infiltrasi sel limfosit dan proliferasi sel Kupfer
disertai kolestasis, akibatnya ditemukan gejala ikterus. Bagian jantung
yang dapat terkena adalah endokardium, miokardium, dan epikardium bisa berkomplikasi
perdarahan fokal didaerah endocardium dan miokardium. (Speelman 2008). Kerusakan
pada pembuluh darah dapat menyebabkan kebocoran kapiler dan hipovolemia. Banyak
pasien dengan leptospirosis berkembang menjadi Disseminated Intravascular Coagulation
(DIC), Hemolytic Uremic Syndrome (HUS), Thrombotic
Thrombocytopenic Purpura (TTP), dan vaskulitis. Pada keadaan-keadaan
demikian, angka mortalitas meningkat sekitar 5-40%. Pada otot rangka dapat
terjadi nekrosis lokal dan vakuolisasi (Tanzil 2012). Leptospira juga dapat masuk ke ruang anterior mata dan
menyebabkan uveitis (Haake dan Levett 2015).
Gejala Klinis
Gejala
klinik leptospirosis pada awalnya tidak spesifik, sering menyerupai influenza,
meningitis, ensefalitis, dengue fever, hepatitis, atau gastroenteritis. Gejala
ringan yang timbul berupa panas, lesu, sakit pada otot, dan sakit kepala.
Gejala yang berat ditandai dengan demam, ikterus, disertai perdarahan, anemia,
azotemia dan gangguan kesadaran. Bentuk berat dari penyakit leptospirosis ini
dikenal sebagai Weil’s disease yang
menyerang multi organ tubuh penderita yang ditandai dengan adanya hemoragi,
gagal ginjal, dan jaundice (Saif et
al. 2015). Masa inkubasi leptospirosis 2-26 hari, biasanya 7-13 hari
dengan rata-rata 10 hari. Leptospirosis mempunyai 2 fase penyakit yang khas
yaitu:
1. Fase
leptospiremia
Pada
fase ini leptospira dapat dijumpai dalam darah dan cairan tubuh lain. Gejala ditandai
dengan sakit kepala pada daerah frontal, sakit otot betis, paha, pinggang
disertai nyeri saat ditekan. Gejala ini diikuti hiperestesi kulit, demam
tinggi, menggigil, mual, diare, bahkan penurunan kesadaran. Pada sakit berat
dapat ditemui bradikardia dan ikterus (50%). Pada sebagian penderita dapat
ditemui fotofobia, urtikaria kulit, splenomegali, hepatomegali, dan
limfadenopati. Gejala ini terjadi saat hari ke 4-7. Jika pasien ditangani
secara baik, suhu tubuh akan kembali normal dengan organ-organ yang terlibat
akan membaik. Fungsi organ-organ ini akan kembali ke 3-6 minggu setelah
perawatan. Pada keadaan sakit lebih berat, demam turun setelah hari ke-7
diikuti fase tidak demam 1-3 hari, lalu demam kembali. Keadaan ini disebut sebagai
fase kedua atau fase imun.
2. Fase
Imun
Fase
ini ditandai dengan peningkatan titer antibodi, demam hingga 40°C disertai
mengigil dan kelemahan umum. Pada leher, perut, dan otot kaki dijumpai rasa
sakit. Perdarahan paling jelas saat fase ikterik, dapat ditemukan purpura,
peteki, epistaksis, dan perdarahan gusi. Conjuntiva injection dan conjungtival
suffusion dengan ikterus merupakan tanda patognomonis untuk leptospirosis.
Fase ini juga dapat ditandai dengan adanya meningitis. Pada fase ini,
leptospira dapat dijumpai dalam urin (Garcia dan Isenberg 2010).
Gambar 2 Gejala pada manusia berupa ikterus
Pada hewan, masa inkubasi dapat
berlangsung dalam beberapa hari, dengan gejala klinis muncul pada 5-15 hari. Pada
infeksi kronis, gejala klinis dapat muncul lebih lama. Gejala klinis yang
muncul seringkali berkaitan dengan gangguan pada organ ginjal, hati, dan
saluran reproduksi. Gejala klinis pada awalnya seringkali kurang spesifik yaitu
terjadi peningkatan suhu tubuh, anoreksia, konjuktivitis, dan diare. Saat kasus
menjadi lebih parah akan terjadi jaundis, hemoglobiuria, anemia hemolitik,
pneumonia, serta gejala meningitis (inkoordinasi, salivasi, dan gangguan
otot). Pada sapi dan kambing perah, adanya leptospirosis dapat menurunkan
produksi susu. Pada sapi dan babi, infeksi oleh leptospira sp. dapat menyebabkan aborsi. Pada anjing terjadi petechi pada mukosa, dan
pada infeksi lebih parah terjadi hemoragi gastroenteritis dan epistasis, serta
adamya gangguan pulmonari yang mengakibatkan batuk, tachypnea, dan dyspnea
(CFSPH 2013).
PEMBAHASAN
Transmisi
penyakit
Leptospirosis
dapat di transmisikan secara langsung diantara inang ataupun tidak langsung
melalui lingkungan. Leptospira spp.
menular secara langsung melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi serta
adanya kontak dengan genangan air tercemar. Hal tersebut banyak terjadi saat
banjir, dimana bakteri ini dapat penetrasi ke tubuh melalui kulit yang lama terendam
dalam air tercemar. Rodensia liar merupakan reservoir utama penularan
leptospirosis ke manusia (Cosson et al. 2014).
Infeksi leptospirosis di Indonesia umumnya dengan perantara tikus jenis Rattus
norvegicus (tikus selokan), Rattus diardii (tikus ladang), dan Rattus
exulans Suncu murinus (curut) (Ramadhani
dan Yunianto 2012).
Organisme
ini dapat memasuki tubuh manusia melalui luka terbuka di kulit atau melalui
permukaan mukosa dari mata, mulut, nasofaring, dan oesophagus. Sumber utama
penularan leptospirosis pada manusia ialah kontak langsung dengan urin dari
hewan terinfeksi atau tidak langsung melalui kontak dengan air atau tanah yang
terkontaminasi urin dari hewan terinfeksi. Hewan dengan infeksi kronis dapat
mengeluarkan bakteri ini berbulan-bulan hingga bertahun-tahun dalam urinnya.
Pada manusia, umumnya penderita akan mengeluarkan bakteri ini selama 60 hari
dalam urinnya (CFSPH 2013).
Rute lain terjadi akibat kontak langsung
dengan darah atau jaringan dari hewan terinfeksi. Transmisi dari manusia ke
manusia pernah dilaporkan terjadi lewat ingesti dari susu penderita atau
melalui kontak seksual dengan penderita. Infeksi selama kehamilan dapat
berisiko terhadap janin yang dapat mengakibatkan kematian saat lahir. Selain
itu pernah dilaporkan infeksi akibat adanya interaksi dengan bakteri saat
bekerja di laboratorium (Guerra 2009). Menurut Haake dan Levett (2015), individu dengan pekerjaan tertentu
berisiko tinggi tertular oleh hewan terinfeksi yaitu dokter hewan, petugas
rumah potong, pekerja peternakan, pekerja shelter hewan, dan petugas handling hewan.
Menurut Rejeki et al. (2013), terdapat hubungan antara
faktor perilaku dengan kejadian leptospirosis pada manusia antara lain riwayat
kontak dengan tikus, hewan peliharaan seperti anjing, kerbau, sapi, kepedulian
saat perawatan luka, penggunaan alat pelindung diri, dan kebiasaan mandi atau
mencuci di sungai. Selain itu, riwayat kontak dengan genangan air juga terbukti
sebagai faktor risiko kejadian leptospirosis karena bakteri leptospira dapat
bertahan hidup di air sampai sekitar satu bulan terutama dalam air tawar.
Seseorang dapat terinfeksi leptospirosis setelah berenang, piknik di luar
rumah, kerja bakti membersihkan genangan air, atau berkebun.
Kusmiyati
et al. (2005) menyatakan bahwa pada
manusia kejadian leptospirosis akan meningkat pada saat curah hujan yang
tinggi. Curah hujan tinggi biasanya menyebabkan banjir pada beberapa wilayah di
Indonesia dan kondisi ini semakin meningkatkan risiko terjadinya wabah
leptospirosis (Cahyati dan Lestari 2009).
Terdapat tiga mekanisme yang dapat digunakan untuk menjelaskan hubungan antara
curah hujan dan kejadian leptospirosis. Mekanisme yang pertama adalah
meningkatnya curah hujan merupakan kondisi yang optimal bagi tikus untuk
bereproduksi sehingga terjadi peningkatan populasi tikus, yang berarti
meningkatnya juga kemungkinan terjadinya penularan leptospirosis. Mekanisme
yang kedua adalah tingginya curah hujan mengakibatkan terjadinya banjir yang
membuat banyak tikus keluar dari persembunyiannya dan masuk ke lingkungan
perumahan, hal tersebut meningkatkan risiko terjadinya penularan leptospirosis.
Mekanisme yang ketiga adalah adanya peningkatan curah hujan meningkatkan risiko
manusia untuk terpapar permukaan air yang telah terkontaminasi bakteri
leprospira. Air hujan yang kemungkinan sudah terkontaminasi bakteri leptospira
melalui urine tikus mengalir ke daerah persawahan dan berpotensi untuk
menginfeksi orang-orang yang melakukan aktivitas di persawahan.
Epidemiologi
Leptospirosis di Indonesia
Leptospirosis
merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah kesehatan masyarakat pada
beberapa negara di daerah Asia Tenggara. Meskipun leptospirosis adalah penyakit
yang mengancam jiwa dan menimbulkan banyak kerugian, kurangnya data global
mengenai morbiditas dan mortalitas dari penyakit ini menyebabkan leptospirosis menjadi salah satu penyakit infeksi
yang terabaikan atau neglected infectious diseases (Costa et al. 2015). Hal ini
dapat disebabkan oleh konfirmasi penyakit leptospirosis yang memerlukan uji
laboratorium tidak selalu tersedia, dan diagnosis cepat untuk penyakit ini juga
tidak dapat diandalkan. Leptospirosis terus menjadi masalah yang signifikan di
daerah dengan populasi tinggi seperti di negara-negara Asia Tenggara. Jumlah
total penduduk dari sebelas negara Asia Tenggara lebih dari 1.7 milyar dan 774
juta diantaranya dalam usia produktif dengan 447 juta orang terlibat dalam
bidang pertanian sebagai salah satu faktor risiko. Leptospirosis di Indonesia
masih berperan sebagai penyakit berbahaya yang terabaikan dan terus menjadi
masalah kesehatan masyarakat.
Hariastuti
(2011) menyatakan bahwa leptospirosis di Indonesia memiliki fenomena seperti
gunung es, yang hanya tampak sedikit di permukaan, padahal apabila dilakukan
pencarian yang intensif di wilayah endemis maka jumlah kasusnya akan jauh
meningkat. Sebagai contoh di kota Semarang pada tahun 2007 hanya tercatat 9
penderita, namun dengan upaya pencarian yang intensif pada tahun 2008 ditemukan
131 pasien positif leptospirosis. Informasi terbaru mengenai leptospirosis di
Indonesia adalah terjadinya peningkatan jumlah kasus di Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY) pada awal tahun 2011. Pemda DIY menetapkan sebagai kejadian luar biasa
(KLB) yang menyerang kabupaten Bantul, Kulon Progo, dan Gunung Kidul dengan
jumlah kematian yang cukup tinggi yaitu mencapai 10 orang dari 60 kasus.
Menurut
WHO (2009), selalu terjadi wabah leptospirosis di Indonesia saat terjadi
banjir. Salah satu contohnya ialah terjadi wabah leptospirosis pada saat banjir
di Jakarta tahun 2002 yang menunjukkan tingginya seropositif pada hewan
domestik seperti anjing, kucing, dan sapi. Selain itu, banjir pada tahun 2007 juga
dilaporkan sebanyak 667 kasus leptospirosis pada dengan case fatality rate sebesar 8%.
Menurut
Profil Data Kesehatan Indonesia tahun 2013 leptospirosis di Indonesia 5 tahun
terakhir (2009 – 2013) cenderung mengalami peningkatan, baik dari jumlah kasus
maupun kematian meskipun terjadi penurunan kasus pada tahun 2012. Provinsi yang
melaporkan adanya kasus leptopirosis tahun 2013 yaitu Provinsi Sumatera
Selatan, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Banten.
Selama lima tahun terakhir, Sumatera Selatan baru melaporkan kasus
leptospirosis pada tahun 2013. Rendahnya kasus yang dilaporkan oleh penderita
dan kurangnya surveilans oleh pemerintah menyebabkan data leptospirosis tidak
mencakup seluruh provinsi di Indonesia sehingga tidak dapat menggambarkan
bagaimana situasi dan kondisi terkini leptospirosis di Indonesia
Tabel
1 Distribusi Kasus Leptospirosis di 9 Provinsi di Indonesia Tahun 2009 – 2013
(Kemenkes 2014)
Provinsi
|
Tahun
|
||||
2009
|
2010
|
2011
|
2012
|
2013
|
|
Sumatera Selatan
|
0
|
0
|
0
|
0
|
1
|
DKI Jakarta
|
8
|
15
|
11
|
10
|
66
|
Jawa Barat
|
0
|
1
|
29
|
0
|
1
|
Jawa Tengah
|
232
|
133
|
184
|
129
|
156
|
DI Yogyakarta
|
95
|
230
|
626
|
72
|
163
|
Jawa Timur
|
0
|
19
|
5
|
28
|
244
|
Banten
|
0
|
0
|
0
|
0
|
10
|
Kalimantan Timur
|
0
|
0
|
2
|
0
|
0
|
Sulawesi Selatan
|
0
|
11
|
0
|
0
|
0
|
Total
|
335
|
409
|
857
|
239
|
641
|
Dibandingkan
tahun 2012, terdapat kenaikan jumlah kasus yang signifikan yaitu dari 239 kasus
menjadi 641 kasus pada tahun 2013. Lonjakan kasus leptospirosis terjadi di Jawa
Timur, DKI Jakarta, dan DI Yogyakarta. Peningkatan kasus tersebut salah satunya
karena kejadian luar biasa (KLB) di Kabupaten
Sampang Madura yang menyebabkan 96 kasus dengan sembilan kasus meninggal (CFR=9.37%).
Kejadian luar biasa terjadi akibat air banjir yang terkontaminasi kencing
tikus, lingkungan yang kurang sehat, dan perilaku hidup bersih dan sehat
masyarakat masih kurang. Terlihat bahwa selalu terjadi peningkatan wabah
leptospirosis tiap tahunnya kecuali pada tahun 2012 terjadi penurunan tingkat
kejadian namun kasus kembali meningkat kembali tahun 2013.Walaupun jumlah kasus
pada tahun 2013 meningkat kembali dibandingkan tahun 2012, namun angka kematian
(case fatality rate/CFR) akibat leptospirosis menurun dari 12.13% pada
tahun 2012 menjadi 9.38% pada tahun 2013. Penurunan ini menunjukkan bahwa upaya
yang dilakukan oleh pemerintah untuk menekan angka kematian cukup efektif (Kemenkes
2014).
Diagnosis
Salah
satu kendala penanganan leptospirosis adalah kesulitan dalam melakukan
diagnosis awal. Biasanya pasien datang dengan berbagai macam keluhan dari
berbagai sistem organ seperti: demam, sakit kepala, hepatitis, nefritis,
meningitis, pneumonia, influenza, bahkan pankreatitis. Saat anamnesis, hal yang
paling penting untuk ditanyakan adalah mengenai identitas pasien, misalnya
pekerjaan dan tempat tinggal. Hal tersebut dapat menunjukkan apakah pasien
termasuk orang berisiko tinggi atau tidak. Gejala demam, sakit kepala frontal,
nyeri otot, mual, muntah, dan fotofobia dapat dicurigai kearah leptospirosis.
Pada pemeriksaan fisik seringkali dijumpai demam, bradikardia, nyeri otot,
hepatomegali, dan lain-lain (Speelman 2008).
Diagnosa
leptospirosis secara garis besar dapat dilakukan melalui 4 cara yaitu bakteriologis,
mikroskopis, immunologis, dan biologi molekular (Hariastuti 2011). Secara bakteriologis,
diagnosis dapat dilakukan dengan cara isolasi dan inokulasi hewan uji. Hasil
isolasi dapat menjadi bukti nyata terjadinya infeksi pada pasien. Namun leptospira
termasuk jenis bakteri yang sensitif dan tidak mudah untuk dikembangbiakkan.
Bakteri ini membutuhkan kondisi lingkungan yang berkisar pada suhu 28-30 ºC dan
pH 7-8. Selain itu, banyaknya jenis serotipe leptospira juga menambah tingkat
kesulitan untuk memperoleh kultur biakan murni.
Secara
mikroskopis, pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara direct microscopy, immunohistochemical
staining, immunoflorescence, dan
silver impregnation techniques. Diagnosis dapat dilakukan dengan
pemeriksaan mikroskopik langsung, spesimen darah segar (pada awal masa infeksi)
yang dibuat sediaan darah tebal dengan teknik Giemsa dan dapat juga
dilakukan dengan pembiakan leptospira, berasal dari darah dan cairan serebrospinal
(minggu pertama infeksi) dan urin (sesudah minggu pertama sampai hari ke 40).
Spesimen tersebut ditanam pada media Fletcher’s atau media EMJH. Pada
media ini, pertumbuhan akan terlihat dalam beberapa hari sampai 4 minggu
(Jawetz et al. 2010). Adanya
leptospira pada media ini dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop fluoresen (fluorerescent
antibodi stain).
Pemeriksaan uji imunoserologi sangat penting untuk diagnosis
leptospirosis. Pada umumnya antibodi baru ditemukan setelah hari ke-7 atau
ke-10 post infeksi. Titernya akan meningkat dan akan mencapai puncaknya pada
minggu ke-3 atau ke-4 masa infeksi. Menurut Tansupaseri et al. (2005), uji imunoserologi yang biasa digunakan :,,,,,,
1. MAT (Microscopic Agglutination Test)
2. IgM dot ELISA dipstick test
Hasil penelitian terbaru dari Tahiliani et al. (2005) menyebutkan adanya antigen spesifik leptospira, yaitu
lipoprotein rLipl32 yang dapat menjadi gold standard diagnosis
leptospirosis (Tanzil 2015). Sebagai gold standard untuk pemeriksaan leptospira, metode MAT memiliki
kelemahan yaitu membutuhkan waktu dan tenaga yang cukup banyak untuk memelihara
berbagai strain antigen uji. Disamping itu MAT juga membutuhkan keterampilan
pemeriksa untuk menentukan titer dalam bentuk ikatan antigen-antibodi. Pemeriksaan
leptospira dengan teknik ELISA sudah dapat dilakukan menggunakan tes kit yang
banyak beredar dipasaran sehingga cukup praktis untuk laboratorium yang sudah
memilki alat ELISA reader. Lepto
dipstick, Lepto lateral flow, dan Lepto dri dot adalah berbagai model rapid test detection yang dapat
digunakan hanya bila suatu daerah telah dinyatakan sebagai daerah endemis.
Metode
keempat yaitu secara molekuler biologis target dengan melakukan DNA sequence amplification (PCR dan real-time PCR) dan in- situ hybridization (ISH). Saat ini teknik Polimerase Chain Reaction (PCR) dan realtime PCR lebih banyak diminati karena dianggap lebih praktis
dan memberikan hasil yang cukup akurat. Sayangnya teknik ini masih terbilang
cukup mahal untuk masyarakat Indonesia sehingga jarang dilakukan untuk
pengujian deteksi awal penyakit.
Upaya
Pencegahan dan Pengendalian Leptospirosis
Menurut
Profil Data Kesehatan Indonesia tahun 2013, leptospirosis di Indonesia pada 5
tahun terakhir (2009 – 2013) cenderung mengalami peningkatan namun angka
kematian (case fatality rate/CFR) akibat leptospirosis menurun dari
12.13% pada tahun 2012 menjadi 9.38% pada tahun 2013. Penurunan ini menunjukkan
keberhasilan upaya penanggulangan penyakit yang dilakukan oleh pemerintah. Penanggulangan kejadian luar biasa leptospirosis ditujukan pada upaya penemuan
dini serta pengobatan segera penderita leptospirosis untuk mencegah kematian,
intervensi lingkungan untuk mencegah munculnya sarang-sarang atau tempat
persembunyian tikus, dan vaksinasi hewan peliharaan terhadap Leptospira spp.
Selain
menimbulkan bahaya kesehatan, leptospirosis juga menimbulkan kerugian ekonomi
bagi masyarakat. Kerugian
ekonomi terutama karena penurunan produksi susu dan terjadi aborsi pada hewan
terinfeksi, selain itu juga biaya pengobatan yang dikeluarkan oleh penderita. Adapun
menurut Kusmiyati et al. (2005), pencegahan
leptospirosis dapat dilakukan melalui tiga aspek yang meliputi :
a. Aspek sumber infeksi
1) Melakukan tindakan isolasi dan perlakuan terhadap hewan yang
dicurigai terinfeksi untuk menurunkan resiko hewan tersebut menyebarkan
penyakit melalui kontak dengan hewan lain atau manusia (CFSPH 2013).
2) Memberikan antibiotik pada hewan yang terinfeksi agar tidak
menjadi karier leptospira ke lingkungan. Meskipun pemberian antibiotik tidak
mencegah terjadinya penularan pada hewan lain, namun pemberian segera pada
penderita dapat mengurangi tingkat keparahan penyakit dan mencegah penyakit
menyebar dan berkembang kearah lebih buruk. Penicillin,
tetracycline, ceftriaxone dan doxycycline
adalah antibiotik yang dianjurkan untuk diberikan (Saif et al. 2015).
3) Mengurangi populasi tikus dengan beberapa cara seperti
penggunaan racun tikus, pemasangan jebakan life trap” dengan
umpan kelapa bakar dan ikan asin, perangkap kawat, penggunaan
rondentisida, dan predator ronden (Rejeki 2005).
4) Meniadakan akses tikus ke dalam lingkungan pemukiman, makanan
dan air minum dengan membangun gudang penyimpanan makanan atau hasil pertanian,
sumber penampungan air, dan perkarangan yang kedap tikus, dan dengan membuang
sisa makanan serta sampah jauh dari jangkauan tikus. Hal ini penting karena keberadaan
sampah merupakan tempat reservoir tikus mencari makanan (Rejeki et al. 2013).
5) Mencegah tikus dan hewan liar lain tinggal di habitat manusia
dengan memelihara lingkungan bersih, memangkas rumput dan semak berlukar,
menjaga sanitasi, khususnya dengan membangun sarana pembuangan limbah dan kamar
mandi yang baik, dan menyediakan air minum yang bersih/tidak tercemar.
6) Melakukan vaksinasi terhadap hewan ternak dan hewan peliharaan
(Kusmiyati et al. 2005).
7) Membuang kotoran hewan peliharaan dan dapat dengan melakukan
perlakuan misalnya dengan pemberian desinfektan sehingga tidak menimbulkan
kemungkinan munculnya tikus atau terjadi kontaminasi di lingkungan.
b. Aspek transmisi
Penularan dapat dicegah dengan berbagai upaya berikut:
1) Upayakan untuk selalu memakai pelindung kerja (sepatu, sarung
tangan, pelindung mata, apron, masker) terutama saat melakukan kontak dengan
hewan terinfeksi (Guerra 2009).
2) Mencuci luka dengan cairan antiseptik, dan ditutup dengan
plester kedap air.
3) Mencuci atau mandi dengan sabun antiseptik setelah terpapar
oleh percikan urin, tanah, dan air yang terkontaminasi.
4) Menumbuhkan kesadaran terhadap potensi resiko leptospirosis dan
mengupayakan metode untuk mencegah atau mengurangi paparan misalnya dengan
mewaspadai percikan atau aerosol, tidak menyentuh bangkai hewan, janin,
plasenta, organ (ginjal, kandung kemih) dengan tangan kosong, dan jangan
menolong persalinan hewan tanpa sarung tangan.
5) Melakukan desinfektan daerah yang terkontaminasi, dengan
membersihkan lantai kandang, rumah potong hewan, dan tempat-tempat lain yang
berisiko tinggi.
6) Melindungi sanitasi air minum penduduk dengan pengelolaan air
minum yang baik, filtrasi, dan korinasi untuk mencegah kontaminasi leptospira.
7)
Menurunkan pH air sawah menjadi asam dengan pemakaian pupuk aau bahan-bahan
kimia sehingga jumlah dan virulensi kuman leptospira berkurang.
8)
Memberikan peringatan kepada masyarakat mengenai air kolam, genangan air dan
sungai yang telah atau diduga terkontaminasi kuman leptospira.
9) Bagi
pekerja yang sering berhubungan dengan tanah atau air tergenang upayakan selalu
menggunakan alas kaki atau sepatu boot untuk mencegah kontaminasi yang mungkin
terjadi.
c. Aspek
manusia
Pemerintah sebagai pemegang kebijakan dapat
melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat melalui
komunikasi, informasi, dan edukasi yang dapat dilakukan dengan cara-cara
sebagai berikut:
1) Upaya
edukasi melalui penyuluhan langsung kepada masyarakat diharapkan setelah
penyuluhan, pengetahuan masyarakat meningkat yaitu mengetahui gejala, penyebab,
cara penularan, hewan penular, pengobatan, dan pencegahan (Ristiyanto et al. 2013).
2)
Penyebaran leaflet, poster, dan baliho untuk mempromosikan pencegahan
leptospirosis yang dapat diaplikasikan di lingkungan masyarakat.
3)
Menumbuhkan sikap waspada. Perlu adanya pendekatan pada masyarakat umum dan
kelompok dengan risiko tinggi terinfeksi leptospirosis. Selain mengetahui
tentang leptospirosis, mereka juga dapat waspada dan sesegera mungkin menuju sarana
kesehatan bila diduga ada infeksi leptospirosis.
4) Perlu ada kerjasama dengan lembaga swadaya
masyarakat, kelompok usaha tani atau kelompok ibu-ibu Pembinaan
Kesejahteraan Keluarga (PKK) sehingga
program-program yang dicanangkan pemerintah bisa berjalan dengan baik.
SIMPULAN
Leptospirosis
merupakan salah satu penyakit zoonosis yang menjadi permasalahan bagi kesehatan
masyarakat Indonesia dan dapat ditularkan secara langsung maupun tidak langsung
melalui lingkungan tercemar. Selain menimbulkan bahaya kesehatan, leptospirosis
juga menimbulkan kerugian ekonomi bagi masyarakat. Keberhasilan program
pengendalian dan pemberantasan penyakit rabies di Indonesia sangat dipengaruhi
oleh peran serta dan kesadaran masyarakat serta komitmen pemerintah dan
sektor-sektor terkait.
DAFTAR PUSTAKA
Anies, Hadisaputro S, Sakundarno M,
Suhartono. 2009. Lingkungan dan Perilaku pada Kejadian Leptospirosis. M Med Indones 43(6):306-311.
Cahyati WH, Lestari F. 2009. Hubungan kebersihan pribadi dan riwayat luka
dengan kejadian leptospirosis. KEMAS
5 (1):70-79.
[CFSPH]
The Center for Food Security and Public Health. 2013. Leptospirosis.
Iowa (USA): Iowa State University.
Cosson
JF, Picardeau M, Mielcarek M, Tatard C, Chaval Y, Suputtamongkol Y, Buchy P,
Jittapalapong S, Herbreteau V, Morand S. 2014. Epidemiology of leptospira
transmitted by rodents in Southeast Asia. PLoS
Negl Trop Dis 8(6):1-10.
Costa F, Hagan JE, Calcagno J, Kane M,
Torgerson P, Martinez-Silveira MS, Stein C, Abela-Ridder B, Ko AI. 2015. Global
morbidity and mortality of leptospirosis: a systematic review. PLoS Negl
Trop Dis 9(9):1-19.
[ECDC] European Centre for Disease Prevention and Control.
2015. Leptospirosis. [diunduh tanggal 29
Oktober 2015]. Tersedia pada:
http://ecdc.europa.eu/EN/HEALTHTOPICS/LEPTOSPIROSIS/Pages/index.aspx.
Evangelista KV, Coburn J. 2010. Leptospira as
an emerging pathogen: a review of its biology, pathogenesis and host immune
responses. Future Microbiol
5(9):1413–1425.
Febrian F. 2013. Analisis spasial kejadian penyakit leptospirosis di
Kabupaten Sleman Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2011. KES MAS 7(1):7-14.
Garcia LS, Isenberg HD. 2010. Clinical
Microbiology Procedures Hand book, 3rd ed Vol.1, Washington
(USA): ASM Press.
Guerra MA. 2009. Leptospirosis. JAVMA 234(4):472-478.
Haake DA, Levett PN.
2015. Leptospirosis in Humans. Curr Top Microbiol Immunol 387: 65–97.
Hariastuti NI. 2011. Diagnosis leptospirosis
dan karakterisasi leptospira secara molekuler. BALABA 7(02):59-61.
Jawetz E, Melnick JL, Adelberg EA. 2010. Medical
Microbiology, 25th ed, New York (USA): Mc Graw Hill.
Jha S, Ansari MK. 2010. Leptospirosis
presenting as acute meningoencephalitis. J
Infect Dev Ctries 4(3):179-182.
[Kemenkes] Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. 2014. Profil kesehatan Indonesia tahun 2013. Jakarta
(ID): Kementerian Kesehatan RI.
Khan S, Hassan M, Yasin G. 2009. Acute Leptospirosis in Dog- A case report. The Internet
Journal of Veterinary Medicine 7(2):1-4.
Ko AI, Goarant C, Picardeau M. 2009. Leptospira: The Dawn of the
Molecular Genetics Era for an Emerging Zoonotic Pathogen. Nat Rev
Microbiol. 7(10):
736–747.
Kusmiyati, Noor SM, Supar. 2005.
Leptospirosis pada hewan dan manusia di Indonesia. WARTAZOA 15(4):213-220.
Lowe M. 2010. Leptopira. [diunduh
tanggal 30 Oktober 2015]. Tersedia pada:https://microbewiki.kenyon.edu/index.php/Leptospira.
Maroun E, Kushawaha A, El-Charabaty E,
Mobarakai N, El-Sayegh S. 2011. Fulminant Leptospirosis (Weil’s disease) in an
urban setting as an overlooked cause of multiorgan failure: a case report. J of Medical Case Reports 5:1-4.
Meeyam T, Tablerk P, Petchanok B, Pichpol D,
Padungtod P. 2006. Seroprevalence and risk factors associated with
leptospirosis in dogs. Southeast Asian J
Trop Med Public Health 37(1):148-153.
Putra AM. 2015. Keterlibatan Multiorgan pada
Penderita Leptospirosis Berat. [skripsi]. Semarang (ID): Universitas
Diponegoro.
Ramadhani T,
Yunianto B. 2012. Reservoir dan kasus leptospirosis di wilayah kejadian luar
biasa. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional 7(4):162-168.
Rejeki DSS, Nurlaela
S, Octaviana D. 2013. Pemetaan dan analisis faktor risiko leptospirosis. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional 8(4):179-186.
Rejeki DSS. 2005. Faktor risiko lingkungan
yang berpengaruh terhadap kejadian leptospirosis berat. [tesis]. Semarang (ID):
Universitas Diponegoro.
Ristiyanto, Heriyanto B, Handayani FD,
Trapsilowati W, Pujiati A, Nugroho A. 2013. Studi pencegahan penularan
leptospirosis di daerah persawahan di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa
Yogyakarta. Jurnal Vektora
5(1):34-40.
Saif Q, Ruhi K,
Arun V. 2015. Anicteric leptospirosis: an unusual cause of acute pancreatitis. Archives Of Clinical Microbiology 6(3):1-5.
Speelman P. 2008. Leptospirosis.
Harrison’s Principles of internal medical, 17th ed. New York
(USA): Mc Graw-Hill.
Tahiliani P, Kumar MM, Chandu
D, Kumar A, Nagaraj C, Nandi D. 2005. Gel purified LipL32: a
prospective antigen for detection of leptospirosis. J Postgrad Med 51(3):164-168.
Tansuphaseri U, Deepradit S, Philsuksonbati
D. 2005. A test strip IgM Dot-ELISA Assay using
leptospiral antigen of endemic strains for serodiagnosis of acute leptospirosis.
J Med Assoc Thai 88(3):391-398.
Tanzil K. 2012.
Ekologi dan patogenitas kuman Leptospira. Widya 29(324):10-13.
[WHO] World Health
Organization. 2009. Leptospirosis
situation in the WHO South-East Asia Region. [diunduh tanggal 24 Oktober 2015].
Tersedia pada:
http://www.searo.who.int/entity/emerging_diseases/topics/Communicable_Diseases_Surveillance_and_response_SEA-CD-216.pdf.
Semoga bermanfaat yaa! ada beberapa gambar yang tidak dapat disertakan terkait kesulitan meng-upload. Maaf ya :D
Pesan Damai : jangan lupa sebarkan berita2 positif yang bertujuan membangun bangsa dan negara, dan hindari berita2 negatif yang justru merusak perdamaian. :)