About Me

test

Manusya Mriga Satwa Sewaka


Senin, 15 Februari 2016

LEPTOSPIROSIS DI INDONESIA

well, setelah sekian lamaaaaaaa banget saya tidak menulis apa2 sesuatu yg berkaitan zoonosis.. 
Kali ni saya mau mempublikasi salah satu hasil karya saya sendiri..
(prokkk..proookk...terharu)
Tulisan saya kali ini terkait dengan salah satu penyakit yanggg cukup menjadi ancaman bagi kita yg dapat ditularkan dr hewan.. apalagi di musim2 hujan kayak gini..
hohohoho

silahkan dibaca ^^

Leptospirosis adalah penyakit zoonotik yang disebabkan oleh infeksi spiroket Leptospira interrogans dan merupakan salah satu zoonosis yang paling sering terjadi di seluruh dunia. Penyakit ini ditemukan pertama kali oleh Weil pada tahun 1886. Leptospirosis dikenal dengan nama flood fever atau demam banjir, karena sering terjadi wabah pada saat banjir. Bentuk paling parah dari leptospirosis yang menyerang dan merusak hampir semua organ dikenal dengan Weil’s Disease (Maroun et al. 2011). Penularan leptospirosis dapat terjadi secara langsung akibat adanya kontak antara manusia dengan urin atau jaringan binatang yang terinfeksi, dan secara tidak langsung terjadi akibat kontak antara manusia dengan air, tanah, atau tanaman yang terkontaminasi urin dari binatang yang terinfeksi leptospira (Anies et al. 2009).
Leptospirosis merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, khususnya negara-negara yang beriklim tropis dan subtropis yang memiliki curah hujan tinggi (Jha dan Ansari 2010). Penyakit infeksi ini endemis pada masyarakat miskin atau populasi petani dan pekerja yang berhubungan dengan air dan tanah di negara berkembang. Meskipun leptospirosis adalah penyakit yang mengancam jiwa dan menimbulkan banyak kerugian, kurangnya data global mengenai morbiditas dan mortalitas dari penyakit ini menyebabkan leptospirosis menjadi salah satu penyakit infeksi yang terabaikan atau neglected infectious diseases (Costa et al. 2015). Leptospirosis menjadi masalah di dunia karena angka kejadian yang dilaporkan rendah di sebagian besar negara. Hal ini dikarenakan kesulitan dalam diagnosis klinis dan tidak tersedianya alat diagnostik yang memadai, sehingga banyak kejadian yang tidak diketahui.
Kejadian leptospirosis untuk negara subtropis adalah berkisar antara 0,1-1 kejadian tiap 100 000 penduduk per tahun, sedangkan di negara tropis berkisar antara 10-100 kejadian tiap 100 000 penduduk per tahun (WHO 2009). Tingginya angka prevalensi leptospirosis di daerah yang memiliki iklim tropis dan subtropis, dapat dihubungkan dengan kondisi lingkungan yang kurang baik sehingga memungkinkan lingkungan tersebut menjadi tempat yang baik atau cocok untuk hidup dan berkembangbiaknya bakteri Leptospira (Febrian 2013). Insiden penyakit leptospirosis tertinggi di wilayah Afrika (95.5 per 100 000 penduduk) diikuti oleh Pasifik Barat (66.4), Amerika (12.5), Asia Tenggara (4.8) dan Eropa (0.5). Sebagian besar kasus yang dilaporkan memiliki manifestasi parah dengan angka kematian lebih besar dari 10%. Costa et al. (2015) memperkirakan wabah leptospirosis telah menyebabkan 1.03 juta kasus dan 58 900 kematian setiap tahunnya. Morbiditas dan mortalitas paling banyak terjadi di negara miskin atau wilayah yang tidak rutin melakukan survailens.
Di Indonesia penyakit leptospirosis sering dilaporkan terjadi di daerah Jawa Tengah seperti Semarang, Klaten, Demak, atau Boyolali. Beberapa tahun terakhir di derah rawan banjir seperti Jakarta dan Tangerang juga dilaporkan terjadinya penyakit ini. Selain itu kasus leptospira juga banyak ditemukan di daerah pesisir pasang surut seperti Riau, Jambi, dan Kalimantan. Angka kematian leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi yaitu mencapai 2.5-16.45% (Anies et al. 2009). Oleh karena itu penyakit ini penting untuk diketahui secara lengkap oleh masyarakat di Indonesia serta harus mendapatkan prioritas dalam pengendalian dan pemberantasannya terutama menjelang musim hujan tiba dan khususnya pada wilayah-wilayah rawan terjadi banjir.

Tujuan

Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan salah satu penyakit zoonotik yang banyak terjadi di Indonesia yang disebabkan oleh bakteri leptospira spp. sehingga dapat diketahui bagaimana dampak penyakit ini pada masyarakat serta bagaimana upaya untuk mengendalikannya.



TINJAUAN PUSTAKA


Karakteristik Agen

Leptospira merupakan bakteri gram negatif dan spiroket aerobik-obligat dari famili Leptospiraceae dan ordo Spirochaetales. Bakteri ini berbentuk spiral, tipis, halus, dan fleksibel dengan panjang 6-20 μm, dan lebar 0.1-0.2 μm serta memiliki dua lapis membran. Salah satu ujung leptospira berbentuk bengkok seperti kait. Leptospira tidak berflagel, namun dapat melakukan gerakan rotasi aktif (memutar sepanjang sumbunya) dengan gerakan maju mundur. Bentuk dan gerakannya dapat dilihat dengan mikroskop fase kontras. Bakteri ini tidak mudah diwarnai, namun dapat diwarnai dengan impregnasi perak (Tanzil 2012).



Gambar 1  Bakteri Leptospira sp. (ECDC 2015)

Leptospira tumbuh baik pada kondisi aerobik di suhu 28-30°C (Jawetz et al. 2010) dan pH 7.2-8.0 (Meeyam et al. 2006). Bakteri ini dapat tumbuh dengan baik dalam media yang mengandung serum kelinci (Fletcher’s medium), juga pada media yang mengandung serum sapi (Ellinghausen-Mc Cullough-Johnson-Harris/ EMJH medium), pertumbuhannya terlihat dalam beberapa hari sampai 4 minggu. Leptospira peka terhadap asam dan dapat hidup di dalam air tawar selama kurang lebih satu bulan. Menurut Evangelista dan Coburn (2010), berdasarkan genetiknya leptospira diklasifikasikan menjadi 19 spesies (13 patogen dan 6  saprofit) yang diidentifikasi melalui analisis DNA hibridisasi.  Tujuh dari spesies tersebut yaitu L. interrogans, L. borgpetersenii, L. santarosai, L. noguchii, L. weilli, L. Kirschneri, dan L. alexanderi merupakan agen utama penyebab leptospirosis. Semua spesies dari Leptospira terbagi lagi menjadi 24 serogroup berdasarkan ekpresi dari permukaan lipopolisakarida. Beberapa serovar L.interrogans yang patogen pada manusia adalah L. icterohaemorrhagiae, L. canicola, L. pomona, L. grippothyphosa, L. javanica, L. celledoni, L. ballum, L. pyrogenes, L. bataviae, dan L. hardjo.
Leptospirosis dapat menyerang berbagai hewan mamalia dan marsupial dengan atau tanpa gejala klinis. Serovar dari Leptospira dapat menginfeksi anjing, sapi, babi (Meeyam et al. 2006), domba, kambing (Ko et al. 2009), serta mamalia lain namun jarang menunjukkan gejala klinis di kucing. Leptospirosis pernah dilaporkan terjadi di kebun binatang dan satwa liar. Selain mamalia darat, leptospira juga dilaporkan terjadi di antara mamalia laut, kasus klinis terjadi paling sering pada singa laut California (Zalophus californianus) dan anjing laut alaska (Callorhinus ursinus) serta pernah pula dilaporkan terjadi pada anjing laut (Phoca vitulina) dan gajah laut utara (Mirounga angustirostris) (CFSPH 2013).
Leptospira masuk ke dalam darah penderita, berkembang biak, dan menyebar ke seluruh jaringan tubuh. Tubuh manusia akan memberikan respon imunologi, baik secara selular maupun humoral. Leptospira berkembang biak terutama di ginjal (tubulus konvoluta) sehingga ginjal menjadi organ yang paling sering terkena dampak parah dari leptospirosis (Putra 2008). Leptospira ini akan bertahan dan diekresi melalui urin. Leptospira dapat berada di urin sekitar 8 hari setelah infeksi hingga bertahun-tahun. Setelah fase leptospiremia selama 4-7 hari, leptospira hanya dijumpai pada jaringan ginjal dan mata. Leptospiremia umumnya berlangsung 1-4 minggu.


Text Box: Ternak dan hewan domestik
Pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan toksin yang menyebabkan gangguan pada beberapa organ. Gangguan ini dapat diklasifikasikan berdasarkan histopatologi maupun patofisiologinya. Beberapa organ yang mengalami gangguan akibat toksin leptospira adalah ginjal, mata, hati, otot rangka, pembuluh darah, dan jantung. Bila leptospira masuk ke dalam cairan serebrospinal sampai ke selaput otak, maka dapat menyebabkan meningitis. Meningitis merupakan gangguan neurologi yang paling sering dialami sebagai komplikasi dari leptospirosis. Leptospira adalah kuman nefrofilik yang dapat menyerang ginjal secara invasi langsung. Seluruh bagian ginjal dapat terkena infeksi leptospira. Nefritis interstisial merupakan lesi pertama kali yang dapat dijumpai, bahkan sebelum adanya gejala klinis. Selanjutnya penderita dapat mengalami nekrosis tubuler, yang dapat menyebabkan komplikasi menjadi gagal ginjal akut. Pada tahapan tersebut, pasien dianjurkan menjalani hemodialisis (Ramadhani dan Yunianto 2012).
Leptospira juga di temukan di antara sel-sel parenkim hati. Pada komplikasi hati, leptospirosis dapat menyebabkan infiltrasi sel limfosit dan proliferasi sel Kupfer disertai kolestasis, akibatnya ditemukan gejala ikterus. Bagian jantung yang dapat terkena adalah endokardium, miokardium, dan epikardium bisa berkomplikasi perdarahan fokal didaerah endocardium dan miokardium. (Speelman 2008). Kerusakan pada pembuluh darah dapat menyebabkan kebocoran kapiler dan hipovolemia. Banyak pasien dengan leptospirosis berkembang menjadi Disseminated Intravascular Coagulation (DIC), Hemolytic Uremic Syndrome (HUS), Thrombotic Thrombocytopenic Purpura (TTP), dan vaskulitis. Pada keadaan-keadaan demikian, angka mortalitas meningkat sekitar 5-40%. Pada otot rangka dapat terjadi nekrosis lokal dan vakuolisasi (Tanzil 2012). Leptospira juga dapat masuk ke ruang anterior mata dan menyebabkan uveitis (Haake dan Levett 2015).


Gejala Klinis

Gejala klinik leptospirosis pada awalnya tidak spesifik, sering menyerupai influenza, meningitis, ensefalitis, dengue fever, hepatitis, atau gastroenteritis. Gejala ringan yang timbul berupa panas, lesu, sakit pada otot, dan sakit kepala. Gejala yang berat ditandai dengan demam, ikterus, disertai perdarahan, anemia, azotemia dan gangguan kesadaran. Bentuk berat dari penyakit leptospirosis ini dikenal sebagai Weil’s disease yang menyerang multi organ tubuh penderita yang ditandai dengan adanya hemoragi, gagal ginjal, dan jaundice (Saif et al. 2015). Masa inkubasi leptospirosis 2-26 hari, biasanya 7-13 hari dengan rata-rata 10 hari. Leptospirosis mempunyai 2 fase penyakit yang khas yaitu:
1.      Fase leptospiremia
Pada fase ini leptospira dapat dijumpai dalam darah dan cairan tubuh lain. Gejala ditandai dengan sakit kepala pada daerah frontal, sakit otot betis, paha, pinggang disertai nyeri saat ditekan. Gejala ini diikuti hiperestesi kulit, demam tinggi, menggigil, mual, diare, bahkan penurunan kesadaran. Pada sakit berat dapat ditemui bradikardia dan ikterus (50%). Pada sebagian penderita dapat ditemui fotofobia, urtikaria kulit, splenomegali, hepatomegali, dan limfadenopati. Gejala ini terjadi saat hari ke 4-7. Jika pasien ditangani secara baik, suhu tubuh akan kembali normal dengan organ-organ yang terlibat akan membaik. Fungsi organ-organ ini akan kembali ke 3-6 minggu setelah perawatan. Pada keadaan sakit lebih berat, demam turun setelah hari ke-7 diikuti fase tidak demam 1-3 hari, lalu demam kembali. Keadaan ini disebut sebagai fase kedua atau fase imun.
2.      Fase Imun
Fase ini ditandai dengan peningkatan titer antibodi, demam hingga 40°C disertai mengigil dan kelemahan umum. Pada leher, perut, dan otot kaki dijumpai rasa sakit. Perdarahan paling jelas saat fase ikterik, dapat ditemukan purpura, peteki, epistaksis, dan perdarahan gusi. Conjuntiva injection dan conjungtival suffusion dengan ikterus merupakan tanda patognomonis untuk leptospirosis. Fase ini juga dapat ditandai dengan adanya meningitis. Pada fase ini, leptospira dapat dijumpai dalam urin (Garcia dan Isenberg 2010).

Gambar 2  Gejala pada manusia berupa ikterus

Pada hewan, masa inkubasi dapat berlangsung dalam beberapa hari, dengan gejala klinis muncul pada 5-15 hari. Pada infeksi kronis, gejala klinis dapat muncul lebih lama. Gejala klinis yang muncul seringkali berkaitan dengan gangguan pada organ ginjal, hati, dan saluran reproduksi. Gejala klinis pada awalnya seringkali kurang spesifik yaitu terjadi peningkatan suhu tubuh, anoreksia, konjuktivitis, dan diare. Saat kasus menjadi lebih parah akan terjadi jaundis, hemoglobiuria, anemia hemolitik, pneumonia, serta gejala meningitis (inkoordinasi, salivasi, dan gangguan otot). Pada sapi dan kambing perah, adanya leptospirosis dapat menurunkan produksi susu. Pada sapi dan babi, infeksi oleh leptospira sp. dapat menyebabkan aborsi.  Pada anjing terjadi petechi pada mukosa, dan pada infeksi lebih parah terjadi hemoragi gastroenteritis dan epistasis, serta adamya gangguan pulmonari yang mengakibatkan batuk, tachypnea, dan dyspnea (CFSPH 2013).




PEMBAHASAN


Transmisi penyakit

Leptospirosis dapat di transmisikan secara langsung diantara inang ataupun tidak langsung melalui lingkungan. Leptospira spp. menular secara langsung melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi serta adanya kontak dengan genangan air tercemar. Hal tersebut banyak terjadi saat banjir, dimana bakteri ini dapat penetrasi ke tubuh melalui kulit yang lama terendam dalam air tercemar. Rodensia liar merupakan reservoir utama penularan leptospirosis ke manusia (Cosson et al. 2014). Infeksi leptospirosis di Indonesia umumnya dengan perantara tikus jenis Rattus norvegicus (tikus selokan), Rattus diardii (tikus ladang), dan Rattus exulans Suncu murinus (curut) (Ramadhani dan Yunianto 2012).
Organisme ini dapat memasuki tubuh manusia melalui luka terbuka di kulit atau melalui permukaan mukosa dari mata, mulut, nasofaring, dan oesophagus. Sumber utama penularan leptospirosis pada manusia ialah kontak langsung dengan urin dari hewan terinfeksi atau tidak langsung melalui kontak dengan air atau tanah yang terkontaminasi urin dari hewan terinfeksi. Hewan dengan infeksi kronis dapat mengeluarkan bakteri ini berbulan-bulan hingga bertahun-tahun dalam urinnya. Pada manusia, umumnya penderita akan mengeluarkan bakteri ini selama 60 hari dalam urinnya (CFSPH 2013).
 Rute lain terjadi akibat kontak langsung dengan darah atau jaringan dari hewan terinfeksi. Transmisi dari manusia ke manusia pernah dilaporkan terjadi lewat ingesti dari susu penderita atau melalui kontak seksual dengan penderita. Infeksi selama kehamilan dapat berisiko terhadap janin yang dapat mengakibatkan kematian saat lahir. Selain itu pernah dilaporkan infeksi akibat adanya interaksi dengan bakteri saat bekerja di laboratorium (Guerra 2009). Menurut Haake dan Levett (2015), individu dengan pekerjaan tertentu berisiko tinggi tertular oleh hewan terinfeksi yaitu dokter hewan, petugas rumah potong, pekerja peternakan, pekerja shelter hewan, dan petugas handling hewan.
Menurut Rejeki et al. (2013), terdapat hubungan antara faktor perilaku dengan kejadian leptospirosis pada manusia antara lain riwayat kontak dengan tikus, hewan peliharaan seperti anjing, kerbau, sapi, kepedulian saat perawatan luka, penggunaan alat pelindung diri, dan kebiasaan mandi atau mencuci di sungai. Selain itu, riwayat kontak dengan genangan air juga terbukti sebagai faktor risiko kejadian leptospirosis karena bakteri leptospira dapat bertahan hidup di air sampai sekitar satu bulan terutama dalam air tawar. Seseorang dapat terinfeksi leptospirosis setelah berenang, piknik di luar rumah, kerja bakti membersihkan genangan air, atau berkebun.
Kusmiyati et al. (2005) menyatakan bahwa pada manusia kejadian leptospirosis akan meningkat pada saat curah hujan yang tinggi. Curah hujan tinggi biasanya menyebabkan banjir pada beberapa wilayah di Indonesia dan kondisi ini semakin meningkatkan risiko terjadinya wabah leptospirosis (Cahyati dan Lestari 2009). Terdapat tiga mekanisme yang dapat digunakan untuk menjelaskan hubungan antara curah hujan dan kejadian leptospirosis. Mekanisme yang pertama adalah meningkatnya curah hujan merupakan kondisi yang optimal bagi tikus untuk bereproduksi sehingga terjadi peningkatan populasi tikus, yang berarti meningkatnya juga kemungkinan terjadinya penularan leptospirosis. Mekanisme yang kedua adalah tingginya curah hujan mengakibatkan terjadinya banjir yang membuat banyak tikus keluar dari persembunyiannya dan masuk ke lingkungan perumahan, hal tersebut meningkatkan risiko terjadinya penularan leptospirosis. Mekanisme yang ketiga adalah adanya peningkatan curah hujan meningkatkan risiko manusia untuk terpapar permukaan air yang telah terkontaminasi bakteri leprospira. Air hujan yang kemungkinan sudah terkontaminasi bakteri leptospira melalui urine tikus mengalir ke daerah persawahan dan berpotensi untuk menginfeksi orang-orang yang melakukan aktivitas di persawahan.


Epidemiologi Leptospirosis di Indonesia

Leptospirosis merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah kesehatan masyarakat pada beberapa negara di daerah Asia Tenggara. Meskipun leptospirosis adalah penyakit yang mengancam jiwa dan menimbulkan banyak kerugian, kurangnya data global mengenai morbiditas dan mortalitas dari penyakit ini menyebabkan leptospirosis menjadi salah satu penyakit infeksi yang terabaikan atau neglected infectious diseases (Costa et al. 2015). Hal ini dapat disebabkan oleh konfirmasi penyakit leptospirosis yang memerlukan uji laboratorium tidak selalu tersedia, dan diagnosis cepat untuk penyakit ini juga tidak dapat diandalkan. Leptospirosis terus menjadi masalah yang signifikan di daerah dengan populasi tinggi seperti di negara-negara Asia Tenggara. Jumlah total penduduk dari sebelas negara Asia Tenggara lebih dari 1.7 milyar dan 774 juta diantaranya dalam usia produktif dengan 447 juta orang terlibat dalam bidang pertanian sebagai salah satu faktor risiko. Leptospirosis di Indonesia masih berperan sebagai penyakit berbahaya yang terabaikan dan terus menjadi masalah kesehatan masyarakat.
Hariastuti (2011) menyatakan bahwa leptospirosis di Indonesia memiliki fenomena seperti gunung es, yang hanya tampak sedikit di permukaan, padahal apabila dilakukan pencarian yang intensif di wilayah endemis maka jumlah kasusnya akan jauh meningkat. Sebagai contoh di kota Semarang pada tahun 2007 hanya tercatat 9 penderita, namun dengan upaya pencarian yang intensif pada tahun 2008 ditemukan 131 pasien positif leptospirosis. Informasi terbaru mengenai leptospirosis di Indonesia adalah terjadinya peningkatan jumlah kasus di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada awal tahun 2011. Pemda DIY menetapkan sebagai kejadian luar biasa (KLB) yang menyerang kabupaten Bantul, Kulon Progo, dan Gunung Kidul dengan jumlah kematian yang cukup tinggi yaitu mencapai 10 orang dari 60 kasus.
Menurut WHO (2009), selalu terjadi wabah leptospirosis di Indonesia saat terjadi banjir. Salah satu contohnya ialah terjadi wabah leptospirosis pada saat banjir di Jakarta tahun 2002 yang menunjukkan tingginya seropositif pada hewan domestik seperti anjing, kucing, dan sapi. Selain itu, banjir pada tahun 2007 juga dilaporkan sebanyak 667 kasus leptospirosis pada dengan case fatality rate sebesar 8%.
Menurut Profil Data Kesehatan Indonesia tahun 2013 leptospirosis di Indonesia 5 tahun terakhir (2009 – 2013) cenderung mengalami peningkatan, baik dari jumlah kasus maupun kematian meskipun terjadi penurunan kasus pada tahun 2012. Provinsi yang melaporkan adanya kasus leptopirosis tahun 2013 yaitu Provinsi Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Banten. Selama lima tahun terakhir, Sumatera Selatan baru melaporkan kasus leptospirosis pada tahun 2013. Rendahnya kasus yang dilaporkan oleh penderita dan kurangnya surveilans oleh pemerintah menyebabkan data leptospirosis tidak mencakup seluruh provinsi di Indonesia sehingga tidak dapat menggambarkan bagaimana situasi dan kondisi terkini leptospirosis di Indonesia

Tabel 1 Distribusi Kasus Leptospirosis di 9 Provinsi di Indonesia Tahun 2009 – 2013 (Kemenkes 2014)
Provinsi
Tahun

2009
2010
2011
2012
2013
Sumatera Selatan
0
0
0
0
1
DKI Jakarta
8
15
11
10
66
Jawa Barat
0
1
29
0
1
Jawa Tengah
232
133
184
129
156
DI Yogyakarta
95
230
626
72
163
Jawa Timur
0
19
5
28
244
Banten
0
0
0
0
10
Kalimantan Timur
0
0
2
0
0
Sulawesi Selatan
0
11
0
0
0
 Total
335
409
857
239
641

Dibandingkan tahun 2012, terdapat kenaikan jumlah kasus yang signifikan yaitu dari 239 kasus menjadi 641 kasus pada tahun 2013. Lonjakan kasus leptospirosis terjadi di Jawa Timur, DKI Jakarta, dan DI Yogyakarta. Peningkatan kasus tersebut salah satunya karena kejadian luar biasa  (KLB) di Kabupaten Sampang Madura yang menyebabkan 96 kasus dengan sembilan kasus meninggal (CFR=9.37%). Kejadian luar biasa terjadi akibat air banjir yang terkontaminasi kencing tikus, lingkungan yang kurang sehat, dan perilaku hidup bersih dan sehat masyarakat masih kurang. Terlihat bahwa selalu terjadi peningkatan wabah leptospirosis tiap tahunnya kecuali pada tahun 2012 terjadi penurunan tingkat kejadian namun kasus kembali meningkat kembali tahun 2013.Walaupun jumlah kasus pada tahun 2013 meningkat kembali dibandingkan tahun 2012, namun angka kematian (case fatality rate/CFR) akibat leptospirosis menurun dari 12.13% pada tahun 2012 menjadi 9.38% pada tahun 2013. Penurunan ini menunjukkan bahwa upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk menekan angka kematian cukup efektif (Kemenkes 2014).


Diagnosis

Salah satu kendala penanganan leptospirosis adalah kesulitan dalam melakukan diagnosis awal. Biasanya pasien datang dengan berbagai macam keluhan dari berbagai sistem organ seperti: demam, sakit kepala, hepatitis, nefritis, meningitis, pneumonia, influenza, bahkan pankreatitis. Saat anamnesis, hal yang paling penting untuk ditanyakan adalah mengenai identitas pasien, misalnya pekerjaan dan tempat tinggal. Hal tersebut dapat menunjukkan apakah pasien termasuk orang berisiko tinggi atau tidak. Gejala demam, sakit kepala frontal, nyeri otot, mual, muntah, dan fotofobia dapat dicurigai kearah leptospirosis. Pada pemeriksaan fisik seringkali dijumpai demam, bradikardia, nyeri otot, hepatomegali, dan lain-lain (Speelman 2008).
Diagnosa leptospirosis secara garis besar dapat dilakukan melalui 4 cara yaitu bakteriologis, mikroskopis, immunologis, dan biologi molekular (Hariastuti 2011). Secara bakteriologis, diagnosis dapat dilakukan dengan cara isolasi dan inokulasi hewan uji. Hasil isolasi dapat menjadi bukti nyata terjadinya infeksi pada pasien. Namun leptospira termasuk jenis bakteri yang sensitif dan tidak mudah untuk dikembangbiakkan. Bakteri ini membutuhkan kondisi lingkungan yang berkisar pada suhu 28-30 ºC dan pH 7-8. Selain itu, banyaknya jenis serotipe leptospira juga menambah tingkat kesulitan untuk memperoleh kultur biakan murni.
Secara mikroskopis, pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara direct microscopy, immunohistochemical staining, immunoflorescence, dan silver impregnation techniques. Diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopik langsung, spesimen darah segar (pada awal masa infeksi) yang dibuat sediaan darah tebal dengan teknik Giemsa dan dapat juga dilakukan dengan pembiakan leptospira, berasal dari darah dan cairan serebrospinal (minggu pertama infeksi) dan urin (sesudah minggu pertama sampai hari ke 40). Spesimen tersebut ditanam pada media Fletcher’s atau media EMJH. Pada media ini, pertumbuhan akan terlihat dalam beberapa hari sampai 4 minggu (Jawetz et al. 2010). Adanya leptospira pada media ini dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop fluoresen (fluorerescent antibodi stain).
Pemeriksaan uji imunoserologi sangat penting untuk diagnosis leptospirosis. Pada umumnya antibodi baru ditemukan setelah hari ke-7 atau ke-10 post infeksi. Titernya akan meningkat dan akan mencapai puncaknya pada minggu ke-3 atau ke-4 masa infeksi. Menurut Tansupaseri et al. (2005), uji imunoserologi yang biasa digunakan :,,,,,,
1. MAT (Microscopic Agglutination Test)
2. IgM dot ELISA dipstick test
Hasil penelitian terbaru dari Tahiliani et al. (2005) menyebutkan adanya antigen spesifik leptospira, yaitu lipoprotein rLipl32 yang dapat menjadi gold standard diagnosis leptospirosis (Tanzil 2015). Sebagai gold standard untuk pemeriksaan leptospira, metode MAT memiliki kelemahan yaitu membutuhkan waktu dan tenaga yang cukup banyak untuk memelihara berbagai strain antigen uji. Disamping itu MAT juga membutuhkan keterampilan pemeriksa untuk menentukan titer dalam bentuk ikatan antigen-antibodi. Pemeriksaan leptospira dengan teknik ELISA sudah dapat dilakukan menggunakan tes kit yang banyak beredar dipasaran sehingga cukup praktis untuk laboratorium yang sudah memilki alat ELISA reader. Lepto dipstick, Lepto lateral flow, dan Lepto dri dot adalah berbagai model rapid test detection yang dapat digunakan hanya bila suatu daerah telah dinyatakan sebagai daerah endemis.
Metode keempat yaitu secara molekuler biologis target dengan melakukan DNA sequence amplification (PCR dan real-time PCR) dan in- situ hybridization (ISH). Saat ini teknik Polimerase Chain Reaction (PCR) dan realtime PCR lebih banyak diminati karena dianggap lebih praktis dan memberikan hasil yang cukup akurat. Sayangnya teknik ini masih terbilang cukup mahal untuk masyarakat Indonesia sehingga jarang dilakukan untuk pengujian deteksi awal penyakit.



Upaya Pencegahan dan Pengendalian Leptospirosis

Menurut Profil Data Kesehatan Indonesia tahun 2013, leptospirosis di Indonesia pada 5 tahun terakhir (2009 – 2013) cenderung mengalami peningkatan namun angka kematian (case fatality rate/CFR) akibat leptospirosis menurun dari 12.13% pada tahun 2012 menjadi 9.38% pada tahun 2013. Penurunan ini menunjukkan keberhasilan upaya penanggulangan penyakit yang dilakukan oleh pemerintah. Penanggulangan kejadian luar biasa  leptospirosis ditujukan pada upaya penemuan dini serta pengobatan segera penderita leptospirosis untuk mencegah kematian, intervensi lingkungan untuk mencegah munculnya sarang-sarang atau tempat persembunyian tikus, dan vaksinasi hewan peliharaan terhadap Leptospira spp.
Selain menimbulkan bahaya kesehatan, leptospirosis juga menimbulkan kerugian ekonomi bagi masyarakat. Kerugian ekonomi terutama karena penurunan produksi susu dan terjadi aborsi pada hewan terinfeksi, selain itu juga biaya pengobatan yang dikeluarkan oleh penderita. Adapun menurut Kusmiyati et al. (2005), pencegahan leptospirosis dapat dilakukan melalui tiga aspek yang meliputi :
a. Aspek sumber infeksi
1) Melakukan tindakan isolasi dan perlakuan terhadap hewan yang dicurigai terinfeksi untuk menurunkan resiko hewan tersebut menyebarkan penyakit melalui kontak dengan hewan lain atau manusia (CFSPH 2013).
2) Memberikan antibiotik pada hewan yang terinfeksi agar tidak menjadi karier leptospira ke lingkungan. Meskipun pemberian antibiotik tidak mencegah terjadinya penularan pada hewan lain, namun pemberian segera pada penderita dapat mengurangi tingkat keparahan penyakit dan mencegah penyakit menyebar dan berkembang kearah lebih buruk. Penicillin, tetracycline, ceftriaxone dan doxycycline adalah antibiotik yang dianjurkan untuk diberikan (Saif et al. 2015).
3) Mengurangi populasi tikus dengan beberapa cara seperti penggunaan racun tikus, pemasangan jebakan life trap” dengan umpan kelapa bakar dan ikan asin, perangkap kawat, penggunaan rondentisida, dan predator ronden (Rejeki 2005).
4) Meniadakan akses tikus ke dalam lingkungan pemukiman, makanan dan air minum dengan membangun gudang penyimpanan makanan atau hasil pertanian, sumber penampungan air, dan perkarangan yang kedap tikus, dan dengan membuang sisa makanan serta sampah jauh dari jangkauan tikus. Hal ini penting karena keberadaan sampah merupakan tempat reservoir tikus mencari makanan (Rejeki et al. 2013).
5) Mencegah tikus dan hewan liar lain tinggal di habitat manusia dengan memelihara lingkungan bersih, memangkas rumput dan semak berlukar, menjaga sanitasi, khususnya dengan membangun sarana pembuangan limbah dan kamar mandi yang baik, dan menyediakan air minum yang bersih/tidak tercemar.
6) Melakukan vaksinasi terhadap hewan ternak dan hewan peliharaan (Kusmiyati et al. 2005).
7) Membuang kotoran hewan peliharaan dan dapat dengan melakukan perlakuan misalnya dengan pemberian desinfektan sehingga tidak menimbulkan kemungkinan munculnya tikus atau terjadi kontaminasi di lingkungan.

b. Aspek transmisi
Penularan dapat dicegah dengan berbagai upaya berikut:
1) Upayakan untuk selalu memakai pelindung kerja (sepatu, sarung tangan, pelindung mata, apron, masker) terutama saat melakukan kontak dengan hewan terinfeksi (Guerra 2009).
2) Mencuci luka dengan cairan antiseptik, dan ditutup dengan plester kedap air.
3) Mencuci atau mandi dengan sabun antiseptik setelah terpapar oleh percikan urin, tanah, dan air yang terkontaminasi.
4) Menumbuhkan kesadaran terhadap potensi resiko leptospirosis dan mengupayakan metode untuk mencegah atau mengurangi paparan misalnya dengan mewaspadai percikan atau aerosol, tidak menyentuh bangkai hewan, janin, plasenta, organ (ginjal, kandung kemih) dengan tangan kosong, dan jangan menolong persalinan hewan tanpa sarung tangan.
5) Melakukan desinfektan daerah yang terkontaminasi, dengan membersihkan lantai kandang, rumah potong hewan, dan tempat-tempat lain yang berisiko tinggi.
6) Melindungi sanitasi air minum penduduk dengan pengelolaan air minum yang baik, filtrasi, dan korinasi untuk mencegah kontaminasi leptospira.
7) Menurunkan pH air sawah menjadi asam dengan pemakaian pupuk aau bahan-bahan kimia sehingga jumlah dan virulensi kuman leptospira berkurang.
8) Memberikan peringatan kepada masyarakat mengenai air kolam, genangan air dan sungai yang telah atau diduga terkontaminasi kuman leptospira.
9) Bagi pekerja yang sering berhubungan dengan tanah atau air tergenang upayakan selalu menggunakan alas kaki atau sepatu boot untuk mencegah kontaminasi yang mungkin terjadi.

c. Aspek manusia
   Pemerintah sebagai pemegang kebijakan dapat melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat melalui komunikasi, informasi, dan edukasi yang dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
1) Upaya edukasi melalui penyuluhan langsung kepada masyarakat diharapkan setelah penyuluhan, pengetahuan masyarakat meningkat yaitu mengetahui gejala, penyebab, cara penularan, hewan penular, pengobatan, dan pencegahan (Ristiyanto et al. 2013).
2) Penyebaran leaflet, poster, dan baliho untuk mempromosikan pencegahan leptospirosis yang dapat diaplikasikan di lingkungan masyarakat.
3) Menumbuhkan sikap waspada. Perlu adanya pendekatan pada masyarakat umum dan kelompok dengan risiko tinggi terinfeksi leptospirosis. Selain mengetahui tentang leptospirosis, mereka juga dapat waspada dan sesegera mungkin menuju sarana kesehatan bila diduga ada infeksi leptospirosis.

4) Perlu ada kerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat, kelompok usaha tani atau kelompok ibu-ibu Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) sehingga program-program yang dicanangkan pemerintah bisa berjalan dengan baik.


SIMPULAN

Leptospirosis merupakan salah satu penyakit zoonosis yang menjadi permasalahan bagi kesehatan masyarakat Indonesia dan dapat ditularkan secara langsung maupun tidak langsung melalui lingkungan tercemar. Selain menimbulkan bahaya kesehatan, leptospirosis juga menimbulkan kerugian ekonomi bagi masyarakat. Keberhasilan program pengendalian dan pemberantasan penyakit rabies di Indonesia sangat dipengaruhi oleh peran serta dan kesadaran masyarakat serta komitmen pemerintah dan sektor-sektor terkait.



DAFTAR PUSTAKA


Anies, Hadisaputro S, Sakundarno M, Suhartono. 2009. Lingkungan dan Perilaku pada Kejadian Leptospirosis. M Med Indones 43(6):306-311.
Cahyati WH, Lestari F. 2009. Hubungan kebersihan pribadi dan riwayat luka dengan kejadian leptospirosis. KEMAS 5 (1):70-79.
[CFSPH] The Center for Food Security and Public Health. 2013.  Leptospirosis. Iowa (USA): Iowa State University.
Cosson JF, Picardeau M, Mielcarek M, Tatard C, Chaval Y, Suputtamongkol Y, Buchy P, Jittapalapong S, Herbreteau V, Morand S. 2014. Epidemiology of leptospira transmitted by rodents in Southeast Asia. PLoS Negl Trop Dis 8(6):1-10.
Costa F, Hagan JE, Calcagno J, Kane M, Torgerson P, Martinez-Silveira MS, Stein C, Abela-Ridder B, Ko AI. 2015. Global morbidity and mortality of leptospirosis: a systematic review. PLoS Negl Trop Dis 9(9):1-19.
[ECDC] European Centre for Disease Prevention and Control. 2015. Leptospirosis. [diunduh tanggal 29 Oktober 2015]. Tersedia pada: http://ecdc.europa.eu/EN/HEALTHTOPICS/LEPTOSPIROSIS/Pages/index.aspx.
Evangelista KV, Coburn J. 2010. Leptospira as an emerging pathogen: a review of its biology, pathogenesis and host immune responses. Future Microbiol 5(9):1413–1425.
Febrian F. 2013. Analisis spasial kejadian penyakit leptospirosis di Kabupaten Sleman Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2011. KES MAS 7(1):7-14.
Garcia LS, Isenberg HD. 2010. Clinical Microbiology Procedures Hand book, 3rd ed Vol.1, Washington (USA): ASM Press.
Guerra MA. 2009. Leptospirosis. JAVMA 234(4):472-478.
Haake DA, Levett PN. 2015. Leptospirosis in Humans. Curr Top Microbiol Immunol 387: 65–97.
Hariastuti NI. 2011. Diagnosis leptospirosis dan karakterisasi leptospira secara molekuler. BALABA 7(02):59-61.
Jawetz E, Melnick JL, Adelberg EA. 2010. Medical Microbiology, 25th ed, New York (USA): Mc Graw Hill.
Jha S, Ansari MK. 2010. Leptospirosis presenting as acute meningoencephalitis. J Infect Dev Ctries 4(3):179-182.
[Kemenkes] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Profil kesehatan Indonesia tahun 2013. Jakarta (ID): Kementerian Kesehatan RI.
Khan S, Hassan M, Yasin G.  2009. Acute Leptospirosis in Dog- A case report. The Internet Journal of Veterinary Medicine 7(2):1-4.
Ko AI, Goarant C, Picardeau M. 2009. Leptospira: The Dawn of the Molecular Genetics Era for an Emerging Zoonotic Pathogen. Nat Rev Microbiol. 7(10): 736–747.
Kusmiyati, Noor SM, Supar. 2005. Leptospirosis pada hewan dan manusia di Indonesia. WARTAZOA 15(4):213-220.
Lowe M. 2010. Leptopira. [diunduh tanggal 30 Oktober 2015]. Tersedia pada:https://microbewiki.kenyon.edu/index.php/Leptospira.
Maroun E, Kushawaha A, El-Charabaty E, Mobarakai N, El-Sayegh S. 2011. Fulminant Leptospirosis (Weil’s disease) in an urban setting as an overlooked cause of multiorgan failure: a case report. J of Medical Case Reports 5:1-4.
Meeyam T, Tablerk P, Petchanok B, Pichpol D, Padungtod P. 2006. Seroprevalence and risk factors associated with leptospirosis in dogs. Southeast Asian J Trop Med Public Health 37(1):148-153.
Putra AM. 2015. Keterlibatan Multiorgan pada Penderita Leptospirosis Berat. [skripsi]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro.
Ramadhani T, Yunianto B. 2012. Reservoir dan kasus leptospirosis di wilayah kejadian luar biasa. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional 7(4):162-168.
Rejeki DSS, Nurlaela S, Octaviana D. 2013. Pemetaan dan analisis faktor risiko leptospirosis. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional 8(4):179-186.
Rejeki DSS. 2005. Faktor risiko lingkungan yang berpengaruh terhadap kejadian leptospirosis berat. [tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro.
Ristiyanto, Heriyanto B, Handayani FD, Trapsilowati W, Pujiati A, Nugroho A. 2013. Studi pencegahan penularan leptospirosis di daerah persawahan di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Vektora 5(1):34-40.
Saif Q, Ruhi K, Arun V. 2015. Anicteric leptospirosis: an unusual cause of acute pancreatitis. Archives Of Clinical Microbiology 6(3):1-5.
Speelman P. 2008. Leptospirosis. Harrison’s Principles of internal medical, 17th ed. New York (USA): Mc Graw-Hill.
Tahiliani P, Kumar MM, Chandu D, Kumar A, Nagaraj C, Nandi D. 2005. Gel purified LipL32: a prospective antigen for detection of leptospirosis. J Postgrad Med 51(3):164-168.
Tansuphaseri U, Deepradit S, Philsuksonbati D. 2005. A test strip IgM Dot-ELISA Assay using leptospiral antigen of endemic strains for serodiagnosis of acute leptospirosis. J Med Assoc Thai  88(3):391-398.
Tanzil K. 2012. Ekologi dan patogenitas kuman Leptospira. Widya 29(324):10-13.

[WHO] World Health Organization. 2009. Leptospirosis situation in the WHO South-East Asia Region. [diunduh tanggal 24 Oktober 2015]. Tersedia pada: http://www.searo.who.int/entity/emerging_diseases/topics/Communicable_Diseases_Surveillance_and_response_SEA-CD-216.pdf.



Semoga bermanfaat yaa! ada beberapa gambar yang tidak dapat disertakan terkait kesulitan meng-upload. Maaf ya :D

Pesan Damai : jangan lupa sebarkan berita2 positif yang bertujuan membangun bangsa dan negara, dan hindari berita2 negatif yang justru merusak perdamaian. :)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar