About Me

test

Manusya Mriga Satwa Sewaka


Kamis, 25 Mei 2017

KEBERADAAN Alcaligenes faecalis SEBAGAI BAKTERI PEMBUSUK PADA PRODUK SUSU





Halo pembaca yang setia, 
Keamanan pangan merupakan salah satu hal penting dalam kesehatan masyarakat terutama berkaitan dengan produk pangan asal hewan. 
TAPI.............
Tahukah Anda, bahwa masalah keamanan pangan sebenarnya dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi sejak peternakan sampai tiba di meja makan (from farm to table) serta pada hal-hal yang berkaitan dengan alur pengolahan produk??

Kali ini saya akan bahas sedikit mengenai produk hewan yang seringkali kita konsumsi, yaitu susu.
Susu segar merupakan bahan pangan yang sangat tinggi gizinya, bukan saja bagi manusia dan hewan, tetapi juga mikroorganisme (Rasolofo et al. 2011). Penanganan yang baik diperlukan untuk memperoleh susu segar yang aman dikonsumsi. Program peningkatan produksi susu dan produk olahannya harus sejalan dengan peningkatan mutu dan keamanan pangan.

Salah satu faktor penting yang mendukung terciptanya keamanan pangan adalah kondisi sanitasi dan higiene pengolahan pangan. Secara alami mikroorganisme dapat ditemukan dalam susu, tetapi jumlah mikroorganisme akan bertambah seiring dengan adanya kontaminasi dari tangan dan baju pemerah, kandang, peralatan dalam proses pemerahan susu, dan penyakit tertentu pada hewan (Jorgensen et al. 2005). Jumlah mikroorganisme dapat meningkat mencapai 100 kali lipat atau lebih dari jumlah mikroorganisme awal saat susu disimpan pada suhu 25 ºC dalam waktu yang lama. Peningkatan jumlah mikroorganisme tersebut kurang dari 1000 sel per ml pada susu yang berasal dari ambing yang sehat (Chye et al. 2004). Kontaminasi bakteri dimulai saat pemerahan dan dapat berkembang menjadi dua kali lipat setiap setengah jam pada suhu 25 ºC dan pH 6.0-6.5 (Millogo et al. 2010).
Susu merupakan bahan pangan yang mudah rusak dan mudah terkontaminasi bakteri sehingga dapat menyebabkan susu menjadi tidak dapat diolah lebih lanjut atau bahkan tidak layak lagi dikonsumsi oleh manusia (Jay et al. 2005). Kualitas susu ditentukan oleh beberapa faktor salah satunya ialah faktor kebersihan lingkungan yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi kualitas produk yang dihasilkan. Kualitas susu merupakan hal yang sangat penting dalam rangka penyediaan susu dan hasil olahannya yang sehat untuk konsumen. Dalam upaya menjamin kesehatan konsumen untuk mendapatkan susu berkualitas baik, maka diperlukan standar yang mengatur syarat–syarat, tata cara pengawasan dan pemeriksaan kualitas susu produksi dalam negeri. Sampai saat ini di Indonesia menggunakan Standar Nasional Indonesia No. 01–3141–2011, tentang Susu Segar. Dalam standar tersebut, persyaratan jumlah total bakteri dalam susu segar maksimun 106 cfu/ml.
Penanganan susu yang tidak baik dapat mengakibatkan susu akan lebih cepat rusak. Namun, kontaminasi mikroorganisme pembusuk seperti Alcalines faecalis dalam susu seringkali tidak diperhitungkan oleh konsumen karena tidak banyak menimbulkan kasus yang fatal. Padahal, keberadaan bakteri Alcalines faecalis di dalam susu menunjukkan telah terjadi kontaminasi karena perlakuan sanitasi yang tidak baik selama persiapan produk maupun pengolahan karena bakteri ini pada umumnya dapat ditemukan dalam permukaan tanah dan air serta dapat pula diisolasi dari urin, feses, dan darah (Kavuncuoglu et al. 2010).

 Baiklah, sebelum lanjut ke pembahasan, ada baiknya kita pahami hal-hal mendasar tentang susu.

Karakteristik Susu


Menurut Badan Standarisasi Nasional (2011) tentang Susu Segar, definisi susu segar (raw milk) adalah cairan yang berasal dari ambing sapi sehat dan bersih, yang diperoleh dengan cara pemerahan yang benar, yang kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan belum mendapat perlakuan apapun kecuali pendinginan. Susu merupakan produk pangan bernutrisi tinggi sehingga sangat baik untuk kesehatan manusia dan hewan. Susu sering dimanfaatkan sebagai media pertumbuhan mikroorganisme baik bersifat pembusuk maupun patogen karena kandungan nutrisinya (Hill et al. 2012).
Menurut Walstra et al. (2006), susu sapi mengandung air sebanyak 87.1%, laktosa 4.6%, lemak 4%, protein 3.3%, mineral 0.7%, kalsium 210 mg, dan energi sebanyak 117 kkal. Laktosa merupakan karbohidrat utama yang terdapat pada susu yang terdiri dari glukosa dan galaktosa. Kandungan terbesar kedua yaitu lemak. Kandungan lemak pada susu sangat bergantung pada faktor hewan dan faktor makanan. Faktor hewan yang mempengaruhi kandungan lemak pada susu antara lain genetik, periode laktasi, fermentasi di rumen, dan keberadaan infeksi pada ternak. Protein susu terdiri dari 80% kasein. Protein lain yang terdapat pada susu adalah serum protein yang terdiri dari α-lactalbumin, β-lactoglobulin, serum albumin, immunoglobulin, dan enzim (Claeys et al. 2013). Mineral yang terkandung pada susu antara lain K, Na, Ca, Mg, Cl, dan phospat. Sedangkan vitamin yang terkandung pada susu antara lain A, B1, B2, B3, B5, B6, B12, C, D, dan E. Susu memiliki aw 0.99 dengan pH berkisar 6.4 hingga 6.6. Nilai  aw, pH, dan kandungan nutrisi yang banyak pada susu menyebabkan susu menjadi media yang baik untuk pertumbuhan bakteri.


Pencemaran Susu

Pencemaran pada susu dapat terjadi akibat adanya agen kimia, fisik, dan biologis yang dapat merugikan dan membahayakan konsumen. Salah satu kontaminasi biologis adalah keberadaan mikroorganisme pencemar. Keberadaan mikroorganisme pencemar baik bersifat pembusuk maupun patogen pada susu dapat mengakibatkan kerusakan susu, menimbulkan penyakit (terutama penyakit saluran pencernaan) bahkan keracunan bagi manusia (Oliver et al. 2005).  Bakteri pembusuk mengakibatkan penuruan kualitas susu dan memperpendek daya simpan, sedangkan bakteri patogen mengakibatkan gangguan kesehatan bagi konsumen akibat mengonsumsi susu.
Mutu mikrobiologik susu ditentukan oleh jumlah dan jenis mikroorganisme yang ada dalam susu, yang secara langsung akan mempengaruhi daya simpan dan kelayakan produk untuk dikonsumsi (Handayani & Purwanti 2010). Mikroorganisme tersebut juga dapat menyebabkan penurunan masa kadaluarsa produk olahan susu. Jumlah dan jenis mikroorganisme dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti lingkungan tempat pengolahan pangan asal hewan terutama susu, kondisi sanitasi dan kondisi pengemasan serta penyimpanan pangan asal hewan. Rofi’i (2009) menyatakan bahwa kemampuan mikroorganisme pencemar untuk tumbuh dan melakukan aktivitas enzimatis dipengaruhi oleh suhu dan lama penyimpanan susu.


Karakteristik Bakteri Alcaligenes faecalis sebagai Bakteri Pembusuk pada Susu

Pembusukan pada susu dapat terjadi karena adanya proses pemecahan dari laktosa, senyawa protein, asam lemak (jenuh), dan hidrolisis trigliserida. Susu yang mengalami perlakuan pendinginan sesaat setelah pemerahan kemudian disimpan selama beberapa hari maka proses pembusukan akan didominasi oleh bakteri Gram-negatif berbentuk batang dan bersifat psikotropik, seperti Alcaligenes sp., Pseudomonas sp., Flavobacterium spp., serta beberapa jenis coliform. Adanya bakteri psikotropik dalam jumlah besar dapat menyebabkan timbulnya berbagai macam bau dan kerusakan fisik pangan (Dilbaghi  & Sharma 2007).
Alcaligenes sp. seringkali menjadi bakteri kontaminan pada pasca-pasteurisasi sehingga dapat menyebabkan pembusukan pada susu pasteurisasi. Alcaligenes sp. merupakan spesies bersifat laktosa-negatif yang akan memetabolisme senyawa protein sehingga dapat mengubah rasa normal susu menjadi terasa pahit (Cempírková 2002). Tanda-tanda pembusukan susu antara lain adanya perubahan rasa susu menjadi asam, susu menggumpal, terbentuknya gas, terbentuknya lendir, adanya perubahan rasa menjadi tengik, tumbuhnya kapang pada produk olahan susu. Bakteri Alcaligenes sp. merupakan bakteri pembusuk namun dapat menjadi patogen dalam keadaan tertentu.  Meskipun genus Alcaligenes terdiri dari banyak spesies, namun kasus pencemaran pada susu sering disebabkan oleh spesies Alcaligenes faecalis.
Alcaligenes faecalis merupakan bakteri Gram-negatif bersifat aerob dan merupakan bakteri berbentuk batang tak berpigmen. Karakteristik ini membedakannya dengan pseudomonas. Spesies ini bersifat motil dengan satu atau lebih flagela. Bakteri dari famili Achromobacter ini tidak berkapsul, tidak membentuk spora, dan tumbuh dengan lambat (Kavuncuoglu et al. 2010).  Bakteri Alcaligenes faecalis dapat umum ditemukan di lingkungan yaitu pada tanah dan air, serta dapat pula ditemukan pada saluran pencernaan. Selain itu, bakteri ini dapat ditemukan pada sampel dari darah, urin, dan feses (Latt et al. 2013).
Menurut Mordi et al. (2013), bakteri  Alcaligenes faecalis  bersifat oksidase, sitrat, dan katalase positif dan mampu menurunkan urea dan memproduksi amonia yang meningkatkan pH lingkungan. Alcaligenes sp. memiliki enzim lipolitik, seperti lipase, yang  menghidrolisis trigliserida menjadi asam lemak dan gliserol. Pemecahan asam lemak bebas ini akan menyebabkan perubahan rasa/tengik.  Beberapa Alcaligenes sp. juga dapat menyebabkan kekentalan (sliminess) karena memproduksi polisakarida yang kental.



Gambar 1  Alcaligenes faecalis  memiliki pinggiran irregular, perlekatan, kental, sudut elevasi yang datar (Pathak & Bhatnagar 2011).


Sumber Kontaminasi Alcaligenes faecalis

Sejak dimulainya reformasi teknologi pada penyimpanan susu yaitu berupa proses pendinginan dan penyimpanan dingin pada susu segar, kualitas mikrobiologis susu menjadi lebih baik. Pengasaman susu mentah yang disebabkan oleh bakteri asam laktat terutama dan bakteri mesofilik mulai berkurang. Namun waktu penyimpanan susu segar yang diperpanjang pada suhu rendah (2-6 ° C) memiliki pengaruh signifikan terhadap munculnya populasi mikroba lain. Susu segar yang dahulu didominasi oleh pencemaran Gram-positif mesofilik dan bakteri aerobik digantikan oleh Gram-negatif dan bakteri Gram-positif psikotropik. Dominasi bakteri psikotropik lebih jelas ditemukan saat susu diolah dalam kondisi kebersihan yang buruk.
Mikroorganisme psikotropik seperti Alcaligenes faecalis memiliki peran besar dalam kontaminasi susu segar, karena bakteri ini mampu berkembang biak tidak hanya di moderat (25-30˚C), tetapi juga pada suhu rendah (7-10˚C). Hal demikian menjelaskan mengapa proses pendinginan pada susu tidak dapat mencegah perkembangan mikroorganisme ini. Keberadaan bakteri Alcaligenes faecalis yang umum ditemukan di lingkungan tanah dan air sehingga pencemaran dapat terjadi melalui air yang digunakan untuk pembersihan dan sanitasi peralatan pemerahan, perkakas rumah tanggas dan juga tempat tidur, serta kulit binatang (Olga & Mariia 2011). Hal demikian menggambarkan bahwa kemungkinan pencemaran Alcaligenes faecalis pada susu dapat terjadi berkaitan erat dengan kondisi sanitasi kandang, peralatan kandang, lingkungan sekitar kandang, serta terutama higine personal pekerja kandang saat proses perlakuan susu.



PEMBAHASAN

Kualitas akhir susu dipengaruhi oleh jumlah mikroorganisme awal, kondisi pengolahan, dan pencemaran yang terjadi setelah pengolahan. Kualitas susu merupakan hal yang sangat penting dalam rangka penyediaan susu dan hasil olahannya yang sehat untuk konsumen. Mikroorganisme pencemar susu umumnya dapat dengan mudah ditemukan pada tanah, air, dan udara. Selain berpengaruh pada kualitas susu, pencemaran oleh mikroorganisme juga merupakan bahaya bagi keamanan pangan terkait dengan kesehatan masyarakat. Hal ini dikarenakan keberadaan mikroorganisme pencemar baik bersifat pembusuk maupun patogen pada susu dapat mengakibatkan kerusakan susu, dan dapat menimbulkan penyakit terutama berkaitan dengan saluran pencernaan bahkan dapat mengakibatkan keracunan bagi manusia yang mengkonsumsinya.
Mutu mikrobiologik susu ditentukan oleh jumlah dan jenis mikroorganisme yang ada dalam susu, yang secara langsung akan mempengaruhi daya simpan dan kelayakan produk untuk dikonsumsi. Bakteri Alcaligenes faecalis merupakan bakteri pencemar susu yang bersifat psikotropik yang mampu hidup dan berkembang tidak hanya pada suhu moderat (25-30˚C), tetapi juga pada suhu rendah (7-10˚C). Oleh karena itu, bakteri ini dapat menjadi ancaman terbesar pada produk susu terutama susu dalam pengemasan pada kondisi dingin yang memiliki masa penyimpanan panjang serta susu pasteurisasi yang umumnya hanya membutuhkan sedikit atau bahkan tidak membutuhkan pemanasan kembali sebelum dikonsumsi. Menurut Hutagaol (2013), proses pasteurisasi cukup efektif untuk mengurangi jumlah mikroorganisme pada susu. Namun demikian, risiko pencemaran pada susu tidak berhenti pada proses ini. Keberadaan bakteri Alcaligenes faecalis pada susu justru seringkali disebabkan oleh pencemaran pasca perlakuan pasteurisasi, karena pasca pasteurisasi susu akan disimpan dalam kondisi rantai dingin padahal proses pendinginan pada susu tidak dapat mencegah perkembangan mikroorganisme ini (Samaržija et al. 2012). Pada industri susu dalam skala besar, apabila bakteri ini mencemari cold storage dimana susu disimpan dalam volume besar maka akan sangat merugikan apabila susu menjadi rusak.
Kasus pencemaran susu oleh bakteri Alcaligenes faecalis belum banyak dilaporkan, terutama di Indonesia. Padahal pencemaran produk susu oleh bakteri ini dapat merusak susu dan mengurangi mutu dan kualitas susu sehingga berkaitan dengan nilai ekonomi dari penjualan susu. Pada beberapa kasus, bakteri Alcaligenes sp. bahkan dapat menjadi patogen bagi masyarakat. Kim et al. (2008) menyatakan bahwa strain dari Alcaligenes sp. menyebabkan infeksi pembuluh darah pada penderita immunocompromised. Kavuncuoglu et al. (2010) menyatakan bahwa bakteri Alcaligenes faecalis menjadi penyebab dari peritonitis dan penyakit lain seperti meningitis, peritonitis, enteric fever, appendicitis, cystitis, chronic suppurative otitis media, abscesses, arthritis, pneumonitis, dan endocarditis namun jarang terjadi.
Cleto et al. (2012) dalam penelitiannya menyatakan bahwa bakteri Alcaligenes sp. menempati urutan kelima dari bakteri pencemar yang ditemukan pada peralatan processing susu setelah Pseudomonas spp. (37%); Staphylococcus (20%); Serratia spp. (16%), dan Stenotrophomonas sp. (15%). Kemungkinan lain pencemaran Alcaligenes sp. juga terjadi dalam saluran pengolahan susu yang terkontaminasi oleh hewan atau pakan hewan. Selain itu dapat pula ditemukan pada tanki pengumpulan susu yang selalu berada pada suhu 4ºC.
 Olga dan Mariia (2011) dalam penelitiannya menyatakan bahwa bakteri psikotropik memiliki proporsi besar dari susu yang diperoleh dari perlakuan tradisional. Alcaligenes sp. ditemukan sebanyak 25,50 % dari total bakteri dengan sifat psikotropik. Bakteri pasikotropik dapat menyebabkan kualitas susu menjadi buruk apabila jumlah bakteri ini 100 × 103 sel/cm3. Buruknya kualitas susu segar akan berpengaruh pada pengolahan selanjutnya yaitu keju dan susu kemasan.
Vasut dan Robeci (2009) menyatakan bahwa bakteri dengan sifat psikotropik memiliki kemampuan untuk memproduksi dan memecahkan lipase serta menghidrolisis lemak. Konsekuensi dari aktivitas lipolitik dari bakteri ini mneyebabkan perubahan pada organoleptik susu. Sifat inilahyang  juga dimiliki oleh Alcaligenes faecalis. Alcaligenes sp. memiliki enzim lipolitik, seperti lipase, yang  menghidrolisis trigliserida menjadi asam lemak dan gliserol. Pemecahan asam lemak bebas ini akan menyebabkan perubahan rasa/tengik.  Beberapa Alcaligenes sp. juga dapat menyebabkan kekentalan (sliminess) karena memproduksi polisakarida yang kental. Selain itu, bakteri ini memproduksi amonia sehingga mempengaruhi susu menjadi berbau busuk dan kemampuannya meningkatkan pH sehingga susu menjadi asam. Hal ini menurunkan cita rasa susu serta kualitas susu secara keseluruhan. Kondisi ini diperburuk dengan kemampuan Alcaligenes faecalis dapat bertahan pada setiap musim dimana bakteri lain tidak toleran terhadap perubahan musim (Prakashveni &  Jagadeesan 2012).
Pada umumnya, bakteri Alcaligenes faecalis dapat ditemukan di lingkungan yaitu pada tanah dan air, serta dapat pula ditemukan pada saluran pencernaan. Dengan demikian, apabila bakteri ini dapat ditemukan pada susu mengindikasikan bahwa higiene dan sanitasi selama proses perlakuan dan pengolahan susu tidak terlaksana dengan baik. Kondisi ini sekaligus menggambarkan kemungkinan pencemaran Alcaligenes faecalis pada susu dapat terjadi berkaitan erat dengan kondisi sanitasi kandang, peralatan kandang, lingkungan sekitar kandang, serta terutama higine personal pekerja kandang saat proses perlakuan susu. Hal ini didukung oleh Samaržija et al. (2012) bahwa sumber pencemaran dari bakteri psikotropik berasal dari air buangan peralatan pemerahan susu, saluran air, ambing dan puting yang kotor dan tidak bersihnya permukaan dari peralatan dan perlengkapan pengolahan susu dimulai dari penerimaan, transportasi hingga penyimpanan.
Tindakan pencegahan dan pengendalian terhadap pencemaran dari Alcaligenes faecalis dapat dilakukan dengan melihat berbagai aspek kemungkinan pencemaran terjadi yaitu dimulai dari aspek peternakan, pekerja yang menangani susu, serta pengolahan yang dilakukan pada susu untuk mengurangi kontaminasi. Penerapan higiene dan sanitasi juga merupakan bagian yang sangat penting untuk diterapkan pada personal pekerja, saat proses, maupun pada peralatan. Sanitasi lingkungan pengolahan susu ikut memegang peranan penting karena kemampuan bakteri ini untuk bertahan di lingkungan air dan tanah.
Aturan utama yaitu menghindari paparan air pada produk susu. Seringkali di peternakan para peternak hanya membersihkan wadah penampung susu dengan air sementara tidak diketahui bagaimana status mikrobiologi dari air yang digunakan sehingga justru menjadi sumber pencemaran. Air yang digunakan untuk pemerahan sebaiknya air yang telah mendapatkan perlakuan untuk mengeliminasi bakteri patogen yang terdapat pada air tersebut. Tindakan klorinisasi air dapat dilakukan untuk mencegah kontaminasi.
 Selain itu, upaya yang paling penting dapat dilakukan yaitu melalui proses pasteurisasi. Pasteurisasi dapat dilakukan dengan pemanasan 63°C selama 30 menit atau 72°C selama 15 detik. Tindakan pasteurisasi pada susu harus dilakukan dengan sempurna untuk menjamin mikroorganisme yang terdapat pada susu tersebut benar-benar mati. Proses pasteurisasi yang tidak sempurna justru berisiko terhadap tetap bertahannya bakteri-bakteri pembusuk pada susu. Namun harus dipastikan bahwa setelah itu susu dikemas dalam kemasan steril dan selalu dipantau agar tidak mengalami pencemaran kembali.  
Seperti dijelaskan diawal, bahwa Alcaligenes faecalis dapat ditemukan pada saluran pencernaan sehingga bakteri ini dapat ditemukan pada feses sapi. Kontaminasi bakteri Alcaligenes faecalis  dapat terjadi akibat kontaminasi dari feses sapi. Oleh karena itu sangat diperlukan tindakan higiene selama proses pemerahan untuk mengurangi kontaminasi feses selama pemerahan. Tindakan ini dapat dilakukan dengan membersihkan ternak terlebih dahulu sebelum pemerahan dilakukan. Selain itu desinfeksi puting juga dapat dilakukan untuk mengurangi kontaminasi selama pemerahan.
Peralatan pemerahan juga merupakan salah satu sumber pencemaran. Oleh karena itu diperlukan tindakan desinfeksi pada peralatan sebelum pemerahan dilakukan untuk mempertahankan higiene peralatan. Penerapan tindakan higienis selama produksi, pemprosesan, dan penyimpanan memegang peranan penting untuk mencegah kontaminnasi. Penerapan sanitasi yang ketat di peternakan, tempat pemprosesan, dan penyimpanan turut berperan mengurangi risiko pencemaran  Alcaligenes faecalis.
Pencegahan dan pengendalian pencemara Alcaligenes faecalis memerlukan tindakan monitoring dan surveilans rutin. Hal ini disebabkan oleh kerugian yang mungkin muncul akibat kerusakan pada susu sehingga menurunkan kualitas dan nilai ekonomi penjualan susu. Meskipun bakteri ini belum menjadi fokus utama pada sejumlah perusahaan besar, namun tindakan ini diperlukan untuk mengetahui sejauh mana kemungkinan pencemaran oleh bakteri pembusuk pada susu dapat terjadi sehingga dapat meminimalkan risiko yang terjadi.



SIMPULAN

Alcaligenes faecalissecara alami terdapat di lingkungan yaitu pada air dan tanah serta dapat ditemukan pada saluran pencernaan serta feses dan urin. Bakteri ini juga dan memiliki kemampuan untuk hidup dan berkembang biak ini mampu berkembang biak tidak hanya pada moderat, tetapi juga pada suhu. Bakteri ini dapat mengkontaminasi susu berkaitan dengan pencemaran akibat pelaksanaan higiene sanitasi dari pekerja dan peralatan pemerahan susu yang kurang baik.
Oleh karena itu sangat penting untuk meningkatkan pengetahuan peternak dan pihak-pihak terkait dengan proses pengolahan pasca pemerahan susu mengenai upaya-upaya keamanan pangan serta pencemaran bakteri pembusuk yang mungkin terjadi saat pengolahan, pengemasan, transportasi, penyimpanan produk susu. Selain itu dengan menerapkan tindakan higiene produksi, higiene peralatan, higiene personal, dan sanitasi kandang. Monitoring dan surveilans secara rutin juga dibutuhkan untuk mencegah pencemaran bakteri pembusuk yang menurukan kualitas susu.



DAFTAR PUSTAKA

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2011. Susu Segar. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
Cempírková R. 2002.  Psychrotrophic vs. Total Bacterial Counts in Bulk Milk Samples. Vet. Med. – Czech, 47, 2002 (8): 227–233.
Chye FY, Abdullah A, Ayob MK. 2004. Bacteriological quality and safety of raw milk in Malaysia. Food Microbiol 131: 30-39.
Cleto S, Matos S,  Kluskens L, Vieira MJ. 2012. Characterization of Contaminants from a Sanitized Milk Processing Plant. LoS ONE 7(6): e40189.
Dilbaghi  N, Sharma S. 2007.  Food spoilage, food infections and intoxications caused by microorganisms and methods for their detection. International Journal of Food. Microbiology (8): 121–132.
Handayani KS, Purwanti M. 2010. Kesehatan ambing dan higiene pemerahan di peternakan sapi perah Desa Pasir Buncir, Kecamatan Caringin. J Penyuluh Per 5(1):47–54.
Hill B, Smythe B, Lindsay D, Shepherd J. 2012. Microbiology of raw milk in New Zealand. Int J Food Microbiol. 157(2):305-8.
Hutagaol FVA. 2013.  Kualitas Mikrobiologis Susu Sebelum dan Sesudah Pasteurisasi [Skripsi]. Bogor : Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Jørgensen HJ, Mørk T, Rørvik LM. 2005. The occurrence of Staphylococcus aureus on a farm with small scale production of raw milk cheese. Journal of Dairy Science 88:3810-3817.
Kavuncuoglu F, Unal A, Oguzhan N, Tokgoz B, Oymak O, Utas C. 2010. First Reported Case of Alcaligenes faecalis Peritonitis. Peritoneal Dialysis International, Vol. 30, pp. 112–121.
Kim MJ, Bancroft E, Lehnkering E, Donlan RM, Mascola L. 2008. Alcaligenes xylosoxidans Bloodstream Infections in Outpatient Oncology Office. Emerging Infectious Diseases Vol. 14, No. 7, July 2008.
Latt ZK, Yu SS, Lynn TM. 2013. Enhancement of Cellulolytic Nitrogen Fixing Activity of Alcaligenes sp. by MNNG Mutagenesis. International Journal of Innovation and Applied Studies Vol. 3 No. 4 Aug. 2013, pp. 979-986.\
Millogo V, Sjaunja S, Ouédraogo GA, Agenäs S. 2010. Raw milk hygiene at farms, processing units and local markets in Burkino Faso. Food Control 21: 1070–1074.
Mordi RM, Yusuf EO, Onemu SO, Igeleke CL, Odjadjare EE. 2013. The Prevalence Of Alcaligenes Faecalis in Bacteremia, Meningitis and Wound Sepsis in a Tertiary Health Care Institutions in Western Part of Nigeria. The International Journal of Biotechnology 2013:2(7):123-129.
Olga Y, Mariia G. 2011.  Contamination of Bulk Milk by Psychrotrophic Microorganisms’ During Milking and Milk Processing . web.nubip.edu.ua/index.php/ebql/article/.../pdf. [Diakses pada 11 November 2014].
Oliver SP, Jayarao BM, Almeida RA. 2005. Foodborne pathogens in milk and dairy farm environtment: food safety and public health implications. Foodborne Pathogens and Disease 2:115-129.
Jay JM, Loessner MJ, Golden DA. 2005. Modern Food Microbiol. Ed. Ke-7. California (US): Business Media Inc.
Pathak H, Bhatnagar K. 2011. Alcaligenes-The 4T Engine Oil Degrader. J Bioremed Biodegrad 2011, 2:4.
Rasolofo EA, St-Gelais D, Lapointe G, Roy D. 2011. Molecular analysis of bacterial population structure and dynamics during cold storage of untreated and treated milk. International Journal of Food Microbiology 28:465-471.
Samaržija D,   Zamberlin S,  Pogačić T. 2012. Psychrotrophic bacteria and milk quality, Mljekarstvo 62 (2), 77-95 (2012).
 [SNI] Standar Nasional Indonesia. 2011. N0. SNI 01–3141–2011. Susu Segar. Jakarta : Badan Standarisasi Nasional.
Prakashveni R, Jagadeesan M. 2012. Isolation identification and distribution of bacteria in Dairy Effluent. Adv. Appl. Sci. Res., 2012, 3(3):1316-1318.
Rofi’i K. 2009. Hubungan Antara Jumlah Total Bakteri dan Angka Katalase Terhadap Daya Tahan Susu [Skripsi]. Bogor : Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
VASUT RG, ROBECI MD. 2009. Food Contamination with Psyhcrophilic Bacteria. Lucrări Stiinłifice Medicină Veterinară VOL. XLII (2), 2009.
Walstra P, Wouters JTM, Geurts TJ. 2006. Dairy Science and Technology. Edisi ke-2. London: Taylor & Francis Group.


Demikianlah sedikit pembahasann mengenai salah satu bakteri yang sering menjd agen pembusuk bagi susu yang sering kita konsumsi.
Jadi, sebaiknya segera tutup rapat ataupun habiskan susu yang Anda beli atau konsumsi agar tdk tercemar oleh bakteri pembusuk.

Semoga bermanfaat :)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar