PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Zoonosis adalah penyakit atau
infeksi yang ditularkan secara alamiah diantara hewan vertebrata dan manusia.
Peternakan di Indonesia rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk zoonosis. Zoonosis
merupakan ancaman baru yang menjadi perhatian terkait dengan
kesehatan manusia. Berkembangnya zoonosis dalam beberapa tahun terakhir menjadi
tanda bertambahnya ancaman penyakit yang mematikan bagi manusia yang ditularkan
oleh hewan. Sampai saat ini, terdapat tidak kurang dari 300 penyakit hewan yang
dapat menulari manusia. Dalam 20 tahun terakhir, 75% penyakit baru pada manusia
terjadi akibat perpindahan patogen dari hewan ke manusia atau bersifat
zoonotik, dan dari 1 415
mikroorganisme patogen pada manusia, 61.6%
bersumber dari hewan (Widodo 2008). Zoonosis dapat ditularkan dari hewan ke
manusia melalui beberapa cara, yaitu kontak langsung dengan hewan pengidap
zoonosis dan kontak tidak langsung melalui vektor atau mengonsumsi pangan yang
berasal dari ternak sakit, atau melalui aerosol di udara ketika seseorang
berada pada lingkungan yang tercemar (Suharsono
2002; Nicholas dan Smith 2003). Penyakit yang diderita ternak selama
pemeliharaan dapat menular ke manusia melalui konsumsi bahan pangan asal ternak
tersebut. Berbagai penyakit ternak saat ini sedang berjangkit di beberapa daerah
di Indonesia.
Zoonosis mencakup berbagai
penyakit menular yang secara biologis berbeda satu dengan lainnya. Banyaknya
penyakit yang dapat digolongkan sebagai zoonosis dikarenakan adanya perbedaan
yang kompleks di antara penyakit tersebut. Penyakit zoonosis dapat dibedakan
antara lain berdasarkan penularannya, reservoir utamanya, asal hewan
penyebarnya, dan agen penyebabnya
(Suharsono 2002; Soejodono 2004;
Murdiati dan Sendow 2006). Berdasarkan agen penyebabnya, zoonosis
dibedakan atas zoonosis yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, atau yang
disebabkan oleh parasit. Cleaveland
et al. (2001) mengidentifikasi adanya 1.415 spesies organisme penyakit
yang diketahui bersifat patogen bagi manusia, meliputi 217 virus dan prion, 538
bakteri dan rickettsia, 307 fungi, 66 protozoa, dan 287 parasit cacing.
Keamanan pangan merupakan salah
satu hal penting dalam kesehatan masyarakat terutama berkaitan dengan produk
pangan asal hewan. Hal tersebut berhubungan dengan keamanan produk baik dari
nilai gizi maupun kandungan mikrobiologinya. Pangan yang tidak aman dapat
menyebabkan penyakit pada manusia dan dapat membahayakan kesehatan konsumennya.
Agen penyakit
zoonotik dapat ditularkan dari hewan ke manusia salah satunya dapat ditularkan
melalui makanan yang dikenal dengan istilah foodborne
zoonosis. Salah satu agen penyakit yang dapat ditularkan melalui makanan
ialah parasit. Keamanan
pangan merupakan suatu kebutuhan mutlak bagi konsumen termasuk keamanan pangan
asal hewan, terutama berkaitan dengan parasit. Hal
ini dikarenakan keberadaan parasit dapat menyebabkan penurunan kualitas pangan
dan gangguan kesehatan pada manusia. Parasitic foodborne yang menginfeksi
manusia ditimbulkan oleh spesies dari protozoa
dan helminth. Transmisi parasit biasanya
melalui makanan yang dikonsumsi manusia (Murrel 2013).
Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk
menjelaskan penyakit zoonotik yang dapat ditularkan dari
hewan ke
manusia melalui makanan yang disebabkan oleh parasit
sehingga dapat diketahui bagaimana dampak dari penularan
zoonosis serta
bagaimana upaya untuk mengendalikannya.
TINJAUAN PUSTAKA
Parasitic
foodborne yang menginfeksi
manusia ditimbulkan oleh spesies dari protozoa
dan helminth. Transmisi parasit biasanya
melalui makanan yang dikonsumsi manusia (Murrel 2013). Beberapa penyakit zoonosis cacing yang
ditularkan melaui makanan ini bisa menyebabkan kematian, contohnya Trichinellosis, cerebral cysticercosis. Sedangkan
yang bersifat kronis dan hanya menyebabkan sakit ringan contohnya Intestinal taeniasis. Di beberapa
negara, pencegahan keterpaparan manusia terhadap parasit ini biasanya dibawah
pengawasan pelayanan kesehatan hewan. Beberapa parasit seperti parasit protozoa
Toxoplasma, Cryptosporidia, dan Cyclospora
serta jenis parasit yang ditularkan melalui ikan
seperti cacing hati dan pencernaan secara umum belum ada pengawasan khusus dari pihak berwenang. Walaupun didalam perdagangan ikan
sudah dilakukan inspeksi dan jika ditemukan ikan terinfeksi akan dilakukan
pengobatan untuk mematikan parasit (Murrel 2013). Beberapa contoh penyakit yang ditularkan melalui makanan antara lain:
1.
Kelompok
Helminth
a.
Trichinellosis
Trichinella spiralis penyebarannya kosmopolit dan merupakan spesies dari genus Trichinella yang sering menimbulkan
outbreak pada manusia. Walaupun beberapa outbreak T. spiralis ditularkan melalui daging dari babi hutan, sebagian
trichinellosis yang menyerang manusia disebabkan oleh konsumsi daging babi yang
terinfeksi. Manusia yang terinfeksi dari memakan daging kuda yang terinfeksi
sering ditemukan di Eropa sehingga sampai saat ini masih dilakukan pemeriksaan yang efektif untuk kuda impor (Murrell 2013).
Transmisi penyakit ini dapat disebabkan dari beberapa siklus (Murrell
2013) yaitu:
1)
Siklus domestik. Babi mengonsumsi sisa daging babi
mentah dari dapur restoran atau rumah potong hewan. Penularan lain dapat
melalui kanibalisme yaitu babi yang mati dalam satu kandang tidak segera
dipisahkan dengan babi yang hidup, dan penularan juga dapat terjadi melalui
mengonsumsi tikus yang terinfeksi yang tinggal di peternakan babi.
2)
Siklus silvatik. Siklus ini terjadi di alam antara
karnivora yang bersifat kanibalistik seperti pemburuan liar yang menggunakan
bangkai babi yang terinfeksi sebagai umpan sehingga meningkatkan prevalensi
infeksi Trichinella.
3)
Siklus artik. Siklus ini berhubungan dengan siklus
silvatik yang terjadi pada hewan liar yang terinfeksi trichinosis dan dimakan
oleh hewan yang memiliki habitat di benua artik. Siklus ini terjadi tanpa kontrol
manusia. Manusia dapat terinfeksi apabila mengonsumsi daging dari hewan yang
terinfeksi di benua artik.
Gambar 1. A. Host Trichinella
B. Stadium dewasa (Murrell 2013)
Trichinella adalah parasit intraselular yang stadium dewasanya tertanam pada epitel
usus kecil, dan larva bermigrasi otot rangka lurik dan membentuk kista
intraselular (trichinae). Inang dari Trichinella termasuk sebagian besar
mamalia, burung, dan reptile tetapi khususnya spesies dari Suidae (Gambar 1).
Di dalam genus Trichinella, ada 8
spesies yang ditemukan tetapi hanya T.
spiralis yang merupakan risiko utama pada babi yang berhubungan dengan
outbreak; spesies silvatik yang dijumpai
sebagai hewan liar, T. pseudospiralis dan
T. britovi merupakan spesies yang
jarang ditemukan pada babi ternak. Genotip ini memiliki persebaran geografis
yang terbatas dibandingkan T. spiralis. Trichinellosis
bisa menjadi fatal bagi manusia, tetapi tidak menimbulkan sakit pada hewan (Murrell,
2013).
b. Taeniosis dan Cysticercosis
Taeniasis adalah penyakit cacing
pita yang disebabkan oleh cacing Taenia dewasa,
sedangkan sistiserkosis adalah penyakit pada jaringan lunak yang disebabkan
oleh larva dari salah satu spesies cacing Taenia.
Taeniasis dan sistiserkosis dapat terjadi akibat pemeliharaan ternak yang
tidak dikandangkan, pengolahan makanan yang kurang matang, sanitasi lingkungan
yang kurang baik, defekasi yang dilakukan tidak pada tempatnya, dan rendahnya
pemahaman masyarakata tentang kesehatan lingkungan (Ito et al. 2004).
Taenia spp. adalah
cacing pita (tapeworm) yang panjang
dan tubuhnya terdiri dari rangkaian segme-segmen yang masing-masing disebut
proglotid. Kepala cacing pita disebut skoleks dan memiliki alat isap (sucker) yang
mempunyai kait (rostelum). Cacing pita ini termasuk famili Taeniidae, subklas
Cestode dan genus Taenia. Beberapa spesies cacing Taenia antara lain, Taenia solium, T. saginata, T. crassiceps,
T. ovis, T. taeniaeformis, atau T. hydatigena, T. serialis, T. brauni dan T. asiatica. Larva dari cacing Taenia disebut metasestoda, menyebabkan
penyakit sistiserkosis pada hewan dan
manusia. Sedangkan, cacing dewasa yang hidup di dalam usus halus induk semang definitif
(carnivora) seperti manusia, anjing dan sejenisnya, penyakitnya disebut
Taeniasis. Berdasarkan laporan dari OIE (2005), T. asiatica merupakan
spesies baru yang ditemukan di Asia yang semula dikenal dengan nama T. taewanensis. T. asiatica hanya
ditemukan di beberapa negara di Asia seperti Taiwan, Korea, China (beberapa
propinsi), Indonesia (di Sumatera Utara, Papua dan Bali) dan Vietnam (Eom et al. 2002; Ito et al. 2004).
T. saginata adalah
cacing pita pada sapi dan T. solium
adalah cacing pita pada babi, merupakan penyebab taeniasis pada manusia. Manusia
adalah induk semang definitif dari T.
solium dan T. saginata, dan juga sebagai induk semang definitif dari T. asiatica (OIE, 2005). Sedangkan,
hewan seperti anjing dan kucing merupakan induk semang definitif dari T. ovis, T. taeniaeformis, T. hydatigena, T. multiceps, T. serialis dan T. brauni.
Pada T. solium dan T. asiatica, manusia juga bisa berperan
sebagai induk semang perantara. Selain manusia, induk semang perantara untuk T. solium adalah babi, sedangkan induk
semang perantara T. saginata adalah
sapi. T. solium yang terdapat pada
daging babi menyebabkan penyakit Taeniasis, dimana cacing tersebut dapat menyebabkan infeksi saluran
pencernaan oleh cacing dewasa, dan bentuk larvanya dapat menyebabkan penyakit
sistiserkosis.
Siklus hidup Taenia diawali dengan manusia menelan daging dengan sistiserkus,
kista evaginasi di dalam saluran gastrointestinal dan tumbuh segment
reproduktif atau prologtid, masing-masing segmen menghasilkan telur dalam
jumlah besar yang bergerak ke feses. Sistiserkus menginfeksi jaringan babi dan
sapi. Pada T. solium, manusia sebagai
inang antara dimana larva atau sistiserkus bisa berkembang. Ketika babi atau
sapi maupun manusia terjadi pada T.
solium, menelan telur, onkosfer bergerak dan penetrasi ke jaringan
intestinal dan masuk pembuluh darah, dimana ia beredar sampai tersaring pada
otot rangka dan jantung, sistiserkus bisa juga menyerang mata atau sistem saraf
pusat yang menyebabkan epilepsy (Muller 2013).
Cacing T. saginata pada daging sapi hanya menyebabkan infeksi pada
pencernaan manusia oleh cacing dewasa. Penyakit Taeniasis tersebar di seluruh
dunia dan sering dijumpai dimana orang-orang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi
daging sapi atau daging babi mentah atau yang dimasak kurang sempurna. Selain
itu, pada kondisi kebersihan lingkungan yang jelek, makanan sapi dan babi bisa
tercemar feses manusia yang bisa menyebabkan terjadinya penyakit tersebut.
Kejadian penyakit Taeniasis paling tinggi di Negara Afrika, Asia Tenggara dan
negara-negara di Eropa Timur. Di Indonesia terdapat tiga provinsi yang
berstatus endemi penyakit Taeniasis/sistiserkosis yaitu: Sumatera Utara, Papua
dan Bali (Ito et al. 2004).
Gambar 2. Siklus hidup Taenia (Murrell 2013)
Sistiserkosis merupakan penyakit
yang disebabkan oleh larva Taenia solium (cacing
pita pada babi) dan Taenia saginata (cacing
pita pada sapi). Nama lain dari larva adalah metacestoda, cacing gelembung,
kista atau Cysticercus cellulose dan Cysticercus bovis. Gejala klinis yang
ditimbulkan sistiserkosis pada manusia adalah infeksi jaringan dalam bentuk
larva Taenia (sistiserkus) akibat
termakan telur cacing (Muller 2013).
Pada umumnya, T. solium jarang ditemukan di daerah yang berpenduduk muslim karena
tidak memakan daging babi. Akan tetapi, di beberapa daerah seperti Papua dan
Timor merupakan problem kesehatan masyarakat, karena penduduknya masih
mengkonsumsi daging babi yang tercemar sistiserkus. Penyakit Taeniasis dan
sistiserkosis sangat berkaitan erat
dengan faktor sosio-kultural, seperti cara pemeliharaan ternak yang tidak
dikandangkan dan kebiasaan pengolahan makanan yang kurang matang serta
kebiasaan makan yang kurang sehat dan masih rendahnya pemahaman masyarakat
tentang kesehatan lingkungan (Muller 2013).
c. Anisakiasis
Anisakiasis merupakan infeksi tahap larva nematoda dari famili
Anisakidae, terutama dari dua genus: Anisakis dan Pseudoterranova. Anisakis simplex adalah spesies patogen
yang paling umum (Lymbery dan Cheah 2007). Siklus hidup Anisakidae melibatkan
krustasea kecil sebagai host pertama, ikan dan cumi sebagai host kedua, dan
mamalia laut sebagai host definitif. Manusia merupakan accidental hosts karena tertular akibat mengkonsumsi host sekunder. Sejumlah
besar ikan dan Cephalopoda spesies laut diyakini terkait dengan penularan
parasit ini. Anisakiasis adalah penyakit zoonosis serius yang disebabkan oleh
konsumsi ikan mentah atau setengah matang yang mengandung larva dari parasit. A. simplex menyebabkan infeksi akut atau
dengan gejala klinis sakit perut, mual, muntah, dan diare. Beberapa pasien
menunjukkan adanya gejala klinis berupa alergi setelah terinfeksi atau setelah
mengkonsumsi larva mati (Audicana dan Kenneddy 2008).
Anisakiasis pada manusia menyebabkan
nyeri luka pada lambung serta menyebabkan sindrom alergi. Secara morfologi
parasit Anisakis sp dapat dibedakan
dari parasit Anisakidae lainnya dengan melihat bagian anterior end (booring tooth) dan bentuk ventriculusnya
dengan menggunakan mikroskop stereo (Gambar 3). Bagian ventrikulus parasit ini
tampak memanjang dan bahkan dapat terlihat dengan mata tanpa mikroskop dimana
ventrikulus tampak seperti bintik putih (Anshary 2011).
Gambar A |
Gambar B |
Gambar 3.
(A) ventriculus parasit Anisakis sp (tanda
panah) (B) bagian anterior parasit Anisakis
sp tampak boring apparatus pada bagian
anterior-end dari parasit tersebut (tanda panah) (Anshary 2011)
Siklus hidup parasit Anisakis sp diawali dengan setelah
lumba-lumba dan hewan lainnya yang merupakan inang utama parasit Anisakis sp mengeluarkan feses yang
mengandung telur parasit ke laut selanjutnya telur menetas menjadi larva stadia
1. Selanjutnya larva stadia 1 tersebut dimakan oleh krustaceae kecil yang
merupakan inang perantara pertama seperti Euphasia atau Thysaniessa, dan
menjadi larva parasit stadia II dan III. Krustasea tersebut lalu dimakan oleh
ikan sebagai inang perantara kedua dan larva parasit berubah menjadi larva
stadia III dan IV pada ikan. Jika ikan dimakan lumba-lumba parasit akan
berkembang menjadi dewasa pada lumba-lumba dan siklus hidup menjadi lengkap.
Manusia dapat berfungsi sebagai inang insidential, jika memakan ikan mentah
yang terinfeksi oleh larva parasit ini maka parasit akan menginfeksi manusia
dan menyebabkan penyakit Anisakiasis. Anisakiasis telah dilaporkan di beberap
Negara yang mengkonsumsi ikan mentah seperti Jepang, Korea, dan beberapa Negara
di Eropa. Kasus di Indonesia tentang Anisakiasis belum banyak dilaporkan. Namun
hasil penelitian Ugaet et al. pada
tahun 1996 dengan pendekatan
sero-epidemiologi menunjukan adanya kasus Anisakiasis yang relative tinggi di
Sidoarjo, Jawa Timur yang disebarkan oleh Anisakis
typica (Anshary 2011).
2. Kelompok Protozoa
a. Giardia
Spesies dari genus Giardia yang menginfeksi manusia (dan
mamalia lain) dan menyebabkan giardiasis adalah Giardia duodenalis, kadang-kadang disebabkan oleh Giardia lamblia atau Giardia intestinalis. Spesies lain
seperti Giardia muris hanya
menginfeksi mamalia lain (rodensia, burung, dan reptil). Di Negara berkembang,
giardiasis berhubungan dengan wisatawan, dan infeksi melalui transmisi
fecal/oral.
Giardia memiliki 2
stadium siklus hidup; tropozoit reproduksi dan stadium kista. Kista yang
tertelan masuk ke duodenum, terjadi eksistasi menghasilkan 2 tropozoit.
Pembelahan secara cepat melaui reproduksi aseksual dan berkoloni di usus halus.
Selama stadium tropozoit terjadi gejala klinis dikarenakan rusaknya membrane
mukosa usus. Tropozoit memiliki panjang 9-21 µm dan lebar 5-15 µm memiliki
ujung yang runcing yang terdiri dari 2 nuklei dan 4 flagella. Kista berbentuk
ovoid dengan panjang 9-12 µm diletakan pada feses. Tropozoit infektif (Dawson
2005). Dosis infeksi Giardia antara
10-100 kista. Periode inkubasi pada manusia sekitar 1-2 minggu. Menimbulkan
diare, mual dan perut kembung.
b. Cryptosporidium
Cryptosporadium
penyebab
diare pada ternak dan manusia, dan organism yang pertama ditemukan di dunia
kesehatan hewan. Walaupun kasus pertama cryptosporidiosis dilaporkan tahun
1976, penemua cryptosporidiosis sebagai penyakit pada manusia muncul bersamaan
pada pasien AIDS pada tahun 1970an dan 1980an. Ada beberapa spesies dari genus Cryptosporadium tetapi penyebab utama
kasus pada manusia disebabkan oleh Cryptosporadium
parvum yang dapat menyebabkan thrombospondin-related
adhesive protein (TRAP-C2) (Dawson 2005).
Siklus hidup Cryptosporidium
hanya terjadi pada 1 inang dan ookista di feses. Ookista berdiameter 4-6 µm
dan terdiri dari 4 crescent-shaped struktur
infektif-sporozoit. Setelah tertelan ookista keluar di dalam usus halus
membentuk sporozoit. Sporozoit menempel pada epitel usus dan memulai infeksi.
Yang berkembang ke stadium multiplikasi aseksual dan seksual, formasi zigot,
ookista dan sporulasi. Masng-masing stadium ditemukan di sitoplasma sel dan
setelah periode inkubasi 2-10 hari, terjadi gejalan klinis (Dawson 2005).
Manusia terinfeksi Cryptosporidiosis karena
mengkonsumsi makanan atau air yang terkontaminasi ookista C. parvum. Diare adalah gejala utama dari infeksi C. parvum yang diikuti sakit perut dan
muntah. C. parvum ookista tersebar luas di lingkungan dan sering
ditemukan di permukaan air dan
mata air yang dangkal. Penyebab
dari pencemaran
lingkungan termasuk limpasan
pertanian serta limbah buangan. Ookista bertahan
dengan baik dalam dingin, kondisi
lembab (Dawson 2005).
c. Cyclospora
Banyak spesies Cyclospora ditemukan pada hewan. Cyclospora cayetanensis adalah spesies yang ditemukan pada manusia.
Parasit ini ditemukan pertama kali sebagai pathogen manusia tahun 1977 (Dawson
2005).
Siklus hidup secara keseluruhan dari
C. cayetanensis belum diketahui
walaupun ditemukan
parasit dalam sel yang melapisi usus kecil dari inang. Siklus
hidup memuncak dalam produksi ookista. Ookista berdiameter
8-10
µm dan
dengan demikian lebih besar daripada Cryptosporidium. Ookista banyak ditemukan di feses. Namun, tidak seperti Cryptosporidium, kadang-kadang
diperlukan di luar usus untuk terjadi sporulasi (Dawson 2005).
Akhirnya
ookista yang sudah matang berkembang yang berisi dua
sporokista bulat telur, masing-masing berisi dua sporozoit infektif. Studi dari
ookista manusia dan baboon menunjukkan bahwa sporulasi optimal terjadi pada
20-22 oC dalam waktu 14 hari. Waktu inkubasi
untuk Cyclospora, dari konsumsi ookista untuk timbulnya gejala, adalah antara 2-11
hari, tetapi biasanya sekitar 1 minggu. Pada individu yang daya tahan tubuh kurang penyakit biasanya berlangsung selama 2
minggu. Gejalanya meliputi diare tidak berdarah,
kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan, kram perut, mual, muntah,
kelelahan dan demam. Gejala dapat mengikuti kontraksi kambuh
dan remisi. Cyclosporiasis secara efektif diobati dengan
trimetho-formal-sulphame thoxazole (Dawson 2005).
Biologi
Cyclospora kurang dipahami dengan baik dibandingkan Cryptosporidium dan
Giardia, tapi sampai saat ini wabah penyakit bawaan makanan terbesar dikaitkan
dengan parasit ini. Mereka terjadi selama akhir 1990-an di Amerika Utara, dan
banyak dikaitkan dengan konsumsi raspberry segar yang diimpor dari Guatemala.
Tidak seperti Cryptosporidium dan Giardia, penularan orang
ke orang
Cyclospora tidak mungkin karena
masa diperlukan untuk sporulasi dari ookista di luar inang (Dawson
2005).
Reservoir C. cayetanensis belum
diidentifikasi pada hewan. Sangat mungkin bahwa transmisi
paling
signifikan dapat terjadi pada limbah atau kontaminasi oleh limbah buangan manusia dapat mempengaruhi
manusia atau mencemari tanaman. Cyclosporiasis telah terjadi sebagai penyakit yang ditularkan melalui air serta penyakit
bawaan makanan (Dawson 2005).
d. Toksoplasmosis
Toksoplasmosis disebabkan oleh
parasit obligat intraselular yaitu Toxoplasma
gondii. Parasit ini merupakan golongan protozoa yang hidup bebas di alam,
pertama kali ditemukan pada limfa dan hati hewan pengerat (rodensia) Ctenodactyles gondii (gundi) di Sahara
Afrika Utara (Saridewi 2008).
Toksoplasmosis memiliki masa
inkubasi 10-23 hari bila penularan melalui daging yang kurang matang dan 5-20
hari memalui ookista pada feses kucing. Penularan juga dapat melalui
transplasentan wanita hamil ke anaknya. Transmisi dapat terjadi memalui cara
berikut ini: a) transmisi transplasental dari wanita hamil yang terinfeksi
kepada janin yang dikandungnya (toksoplasmosis congenital), b) konsumsi daging
mentah atau kurang matang yang mengandung kista jaringan atau takizoit, c)
konsumsi air, susu, sayuran atau buahan yang terkontaminasi ookista, atau
menelan ookista yang berasal dari tanah, d) infeksi di laboratorium akibat
bekerja dengan hewan percobaan yang terinfeksi dengan Toxoplasma gondii, melalui jarum suntik, alat laboratorium lain
yang terkontaminasi dengan Toxoplasma
gondii, serta dapat terinfeksi pada saat melakukan autopsy hewan
terinfeksi, e) transfuse darah atau transplantasi organ dari donor yang
menderita toksolasmosis laten (Saridewi 2008).
Daging merupakan rute penularan yang
banyak dilaporkan. Babi, kambing, dan domba merupakan ternak yang sangat
penting sebagai sumber penularan T.
gondii. Selain ternak tersebut, sapi, unggas dan hewan buruan juga berperan
sebagai sumber penularan (Saridewi 2008).
PEMBAHASAN
Akhir-akhir ini masalah keamanan
pangan menjadi salah satu isu yang menarik perhatian dunia. Foodborne zoonosis disease menjadi
permasalahan utama yang mendapat perhatian tinggi terutama karena kaitannya
terhadap keamanan pangan. Keberadaan parasit pada produk pangan asal hewan tidak hanya dapat merugikan industri peternakan dan perikanan secara umum, tetapi juga membahayakan
kesehatan manusia sebagai konsumennya. Menurut
Torgerson et al. (2014), foodborne zoonosis disease menimbulkan morbiditas dan mortalitas tinggi pada populasi manusia.
Foodborne disease seringkali dipandang sebagai
penyakit yang ringan dan dapat sembuh dengan sendirinya terutama foodborne parasitic disease dimana
biasanya penyakit jarang yang bersifat akut. Meskipun terkadang memang benar
demikian, namun pada banyak kasus konsekuensi kesehatan yang terjadi justru dapat
menjadi serius dan bahkan dapat mengakibatkan kematian. Persepsi yang salah ini
sebagian terjadi karena kurangnya perhatian yang diberikan terhadap masalah
tersebut. Konsekuensi kesehatan akibat foodborne
disease bervariasi menurut patogen penyebabnya, tahapan dan lamanya
pengobatan, juga dengan usia dan faktor lain yang berkaitan dengan daya tahan
dan kerentanan seseorang. Pada kebanyakan kasus, pasien dengan fungsi kekebalan
yang baik akan sembuh dalam beberapa hari atau beberapa minggu. Namun, pada
kasus lain, khususnya di kalangan kelompok masyarakat yang rentan (seperti
lansia, bayi, anak kecil, ibu hamil dan orang yang mengalami malnutrisi serta
gangguan kekebalan), beberapa penyakit bawaan makanan dapat berakibat fatal
terutama jika tidak tersedia pengobatan yang memadai.
Penyakit
yang disebabkan oleh foodborne parasite terjadi
akibat mengkonsumsi daging/ikan mentah atau hidangan asal hewan
yang tidak dimasak atau diproses dengan baik sehingga tidak membunuh parasit
yang terkandung di dalamnya. Selain itu, perlakuan
terhadap kebersihan produk hewan atau produk pangan asal hewan yang tidak baik
sehingga memungkinkan adanya vektor yang dapat menjadi pembawa parasit
mencemari makanan. Oleh karena itu salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah
dengan memperhatikan proses pengolahan pascapanen. Hal ini sangat penting
karena proses pengolahan pascapanen adalah titik kritis utama untuk mendapatkan
pangan yang aman dan layak konsumsi.
Terdapat beberapa cara yang dapat
dilakukan untuk pengendalian dan pencegahan bahaya dalam pangan terkait foodborne parasitic disease yaitu dengan
menerapkan praktik higienis mulai dari pertanian/peternakan/perikanan sampai
meja makan, melalui penerapan Good
Agriculture Parctices (GAP)/Good
Farming Practices (GFP), Good
Slaughtering Practices, Good
slaughtering practices, Good
distribution Parctices, Good Manufacturing Practices (GMP) serta dengan menerapkan
sistem jaminan mutu pada perusahaan atau industry pengolahan pangan, seperti Hazard Analysis Critical Control Point
(HACCP), GMP, NKV, ISO dll.
Penerapan sistem rantai dingin
terhadap bahan baku pangan asal hewan, pemenuhan persyaratan alat transportasi
dan bangunan serta penerapan higiene personal juga sangat perlu untuk dilakukan.
Untuk setiap bahan pangan asal hewan haruslah berasal dari hewan atau ternak
yang sehat (diawasi oleh petugas kesehatan hewan), pemeriksaan postmortem, selalu menerapkan rantai
dingin dalam setiap proses pengolahan, menggunakan peralatan yang terjaga sanitasi
dan kebersihannya (terbuat dari bahan yang tidak mencemari bahan makanan
seperti stainless stell), menggunakan air yang memenuhi syarat air minum,
menggunakan kemasan yang bersih, higienis, dan tidak terbuat dari bahan yang
dapat mencemari bahan pangan, memisahkan antara daging dengan jeroan,
memisahkan antara bahan pangan segar dengan bahan pangan lain yang sudah matang
(sudah dimasak). Penerapan Cold Chain
System (sistem rantai dingin), selama produksi pangan, penyimpanan dan
transportasi/ distribusi pangan asal hewan mutlak dilakukan (harus selalu
disimpan dalam suhu <4 °C), hal ini bertujuan untuk mencegah dan menghambat
pertumbuhan mikroorganisme pada bahan pangan/ makanan serta mencegah pencemaran
dari vektor penyakit.
Pada kasus foodborne
disease sangat penting untuk memperhatikan peran lalat dalam memindahkan
agen penyakit dari tempat yang kotor ke makanan. Penyebaran agen penyakit dapat
berlangsung cepat dan luas karena lalat rumah dapat terbang sampai jarak 20 mil.
Lalat rumah bahkan dapat terbang lebih dari 32 km. Potensi M. domestica yang tinggi sebagai vektor penyakit juga dipengaruhi
oleh kemampuan bereproduksi lalat rumah yang sangat hebat, oleh sebab itu
sering terjadi ledakan. Setelah lima bulan perkawinan akan dihasilkan 191.010.015.000.000.000.000.000
ekor lalat dewasa baru. Pemindahan agen penyakit secara mekanis oleh lalat
perlu diperhatikan karena lalat memiliki perilaku defekasi dan regurgitasi.
Kekentalan feses meningkatkan efisiensi dari bulu lalat dalam membawa ookista
dan partikel lain. Mekanisme pemindahan agen penyakit, biologi dan ekologi
lalat mengindikasikan bahwa lalat berpotensi tinggi untuk menyebarkan C. parvum dan G. lamblia. Lalat memiliki peran penting pada kesehatan manusia.
Wabah foodborne disease yang terjadi
selalu dihubungkan dengan meningkatnya populasi lalat (Santi 2001).
Selain itu,
upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah penularan foodborne parasitic disease
ialah dengan memperhatikan higiene personal. Adapun upaya yang dapat dilakukan
untuk mencegah penularan dari parasit protozoa (Giardia sp., Cryptosporidium sp., Cyclospora sp., Toxoplasma sp.) yaitu:
1. Cuci
tangan dengan air bersih dan sabun sebelum memegang/mengolah makanan, setelah dari kamar mandi, dan
setelah menyentuh/menangani hewan.
2. Memastikan
individu terinfeksi mencuci tangan mereka sesering mungkin terutama setelah
dari kamar mandi dan saat menangani makanan untuk mengurangi penyebaran
infeksi.
3. Minum
air hanya dari air matang minimal telah mendidih selama 1 menit untuk membunuh
parasit.
4. Jangan
menelan air saat berenang (protozoa banyak ditularkan melalui air kolam) dan jangan
berenang di kolam jika dalam suatu komunitas tersebut diketahui tertular
giardiasis, cyclosporiasis, atau cryptosporidiosis.
5. Selalu
memastikan makanan yang dimasak telah matang sempurna sampai bagian internal.
6. Tidak
meminum susu mentah atau daging mentah tanpa perlakuan apapun (minimal
pasteurisasi susu).
7. Cuci
dengan bersih kemudian kupas serta memasak buah-buahan mentah dan sayuran
sebelum makan.
8. Terutama
bagi ibu hamil, sangat penting memeriksakan kesehatan tubuh dan imunitas tubuh
untuk menhindari terinfeksi protozoa khususnya toksopasmosis.
9. Penularan
toksoplasmosis terkait hygiene sanitasi didapur oleh karena itu sangat penting
untuk selalu cuci tangan, talenan, dan peralatan lainnya secara menyeluruh
dengan air panas, air sabun setelah menangani daging mentah.
10. Apabila memelihara kucing, upayakan
selalu membersihkan kotoran kucing setiap hari karena kucing kotoran lebih dari
satu hari dapat mengandung parasit dewasa.
11. Cuci tangan secara menyeluruh dengan air
hangat dan sabun setelah menangani kucing, membersihkan tempat kotoran kucing,
terutama sebelum menangani atau makan makanan (USDA
2015).
Adapun upaya
yang dapat dilakukan untuk mencegah penularan dari parasit helminth juga tidak
jauh berbeda dengan pencegahan untuk protozoa. Khusus untuk produk pangan asal
ikan, menurut
peraturan yang berlaku di Eropa (EC Regulation 2004), semua bagian dari produk
ikan sebaiknya dibekukan dengan suhu minimal -20°C tidak kurang dari 24 jam
untuk ikan yang akan dikonsumsi mentah atau setengah matang, atau untuk produk
asal ikan yang mengalami proses pengasapan (suhu internal <60°C). Perlakuan
ini juga harus dilakukan pada produk yang hanya mengalami pengasinan atau
penggaraman atau produk dengan perlakuan tertentu yang diperkirakan tidak dapat
membunuh larva. Sementara di Amerika Serikat, peraturan dari Food and Drug Administration mewajibkan
bahwa ikan dan produk laut yang akan dikonsumsi mentah atau setengah matang
harus mengalami blast frozen sampai suhu -35°C atau lebih rendah selama 15 jam,
atau dapat pula dengan pembekuan pada suhu -20°C atau lebih rendah selama 7
hari.
Larva parasit
sensitif pada garam hanya pada kondisi tertentu. Diperkirakan bahwa penyimpanan
ikan dalam larutan garam dengan 6.3% garam dan 3.7% acetic acid merupakan kemampuan bertahan maksimal bagi larva. Pada
produksi industri biasanya diberi perlakuan penggaraman kering dengan total
waktu yang dibutuhkan untuk membunuh parasit ialah selama 20 hari. Selain
penggaraman, upaya yang dapat dilakukan adalah dengan pemanasan. Beberapa
penelitian menemukan bahwa pemanasan minimal 60°C selama 1 menit dapat membunuh
berbagai larva dalam produk ikan. Upaya lain adalah dengan tekanan hidrostatik
yang dapat membunuh larva. yaitu dengan pemberian 200 MPa selama10 menit pada
suhu 0°C sampai 15°C, atau 140 MPa selama 60 menit pada 0°C sampai 15°C). Larva
parasit juga dapat
dibunuh dengan pemberian iradiasi dosis lebih tinggi dari 6 sampai10 kGy.
Pengasapan panas pada suhu 70°C sampai 80°C selama 3-8 jam juga diyakini dapat
membunuh larva (Pozio 2013).
Insiden dari fishborne
parasite dapat
dikurangi bahkan dieliminasi apabila konsumsi terhadap produk-produk tersebut
dihindari. Namun pada aplikasinya target ini sangat sulit dicapai karena semakin
banyaknya konsumen yang tertarik untuk mengkonsumsi berbagai macam hidangan
ikan tradisional yang menyajikan ikan segar atau ikan yang hanya melalui proses
pengolahan sederhana. Metode sederhana untuk mengontrol fishborne parasitic disease dapat melalui proses
identifikasi dan pengobatan individu yang sakit, kampanye edukasi terhadap
konsumen, dan pemberian medikasi preventif secara massal. Walaupun hasil yang
didapat cukup sukses pada beberapa negara seperti Jepang dan Korea, namun metode
ini secara umum tidak mencapai target yang diharapkan
pada banyak negara terlihat dari tingkat kejadian penyakit yang tidak
menurun secara signifikan. Salah satu penyebabnya antara lain terjadinya
reinfeksi akibat konsumsi produk berisiko. Oleh karena itu terdapat upaya untuk
memproduksi ikan yang bebas dari parasit sehingga dapat
disajikan dalam bentuk mentah maupun melalui proses sederhana salah satunya
dengan budidaya akuakultur (Santos dan Howgate 2011).
Selain itu,
upaya untuk penangulangan vektor lalat meliputi tindakan
penyehatan lingkungan dengan menghilangkan tempat-tempat pembiakan
lalat, melindungi makanan dari
kontaminasi oleh lalat serta membasmi larva
lalat dan lalat dewasa. Tindakan-tindakan
penyehatan lingkungan harus bertujuan melenyapkan semua tempat-tempat pembiakan
lalat yang ada dan yang potensial, disamping
usaha mencegah transmisi penyakit. Tindakan-tindakan yang perlu diambil
meliputi:
1). Melenyapkan atau memperbaiki semua kakus-kakus serta menutupi semua kakus yang memungkinkan lalat langsung
berkotak dengan feses manusia.
2). Sampah rumah tangga harus dibuang dalam tempat sampah yang
tertutup sehingga mengurangi kesempatan menjadi sarang
lalat.
3). Industri
atau peternakan
yang memiliki produk limbah dengan kemungkinan tinggi menarik lalat harus
segera diberikan perlakuan misalnya dengan penimbunan atau pengolahan tinja.
4). Rumput
dan tumbuhan-tumbuhan liar merupakan tempat perlindungan lalat bahkan dapat menjadi tempat pembiakan lalat. Karena
itu rumput harus dipotong pendek dan tumbuhan-tumbuhan liar dicabut dan dibuang
dari pekarangan-pekarangan dan lapangan-lapangan terbuka.
Tindakan pembasmian
larva lalat dapat dilakukan dengan memberi perlakuan pada feses hewan
ternak seperti setiap hari diangkat dari kandang lalu
segera dijemur diatas lapangan terbuka atau ditimbun
dalam tempat-tempat yang tertutup rapat sehingga lalat tidak
masuk sehingga
tidak memungkinkan lalat berkembang biak didalamnya. Keadaan kering akan
mematikan larva dan bahanbahan organik yang kering tidak disukai lalat sebagai
tempat bertelur. Timbunan kotoran hewan bisa disemprot dengan diazinon dan
malathion (sebagai emulsi) atau insektisida.
c). Pembasmian lalat dewasa.
Untuk membasmi lalat dewasa bisa dilakukan penyemprotan udara : 1). dalam rumah:
penyemprotan dengan 0,1% pyrethrum dengan synergizing agents. 2). diluar rumah
: fogging dengan suspensi atau larutan dari 5% DDT, 2% lindane atau 5%
malathion. Tetapi lalat bisa menjadi resisten terhadap insektisida. Disamping
penyemprotan udara (space spraying) bisa juga dilakukan. 3). Residual spraying
dengan organophosphorus insecticides seperti : Diazinon 1%, Dibrom 1%,
Dimethoote, malathion 5%, ronnel 1%, DDVP dan bayer L 13/59 (Santi 2001).
SIMPULAN
Foodborne
disease yang
disebabkan oleh parasit baik protozoa maupun cacing banyak
ditularkan melalui produk pangan asal hewan.
Keberadaan parasit dalam produk pangan yang dikonsumsi oleh manusia sangat
membahayakan kesehatan manusia karena dapat menyebabkan gangguan kesehatan
seperti gangguan pencernaan baik dalam bentuk ringan dan berat sampai
menimbulkan alergi dan shock anafilaksis. Terdapat berbagai macam upaya pencegahan
dan kontrol terhadap foodborne
parasitic disease yaitu dengan memperhatikan proses pengolahan pascapanen dari
bahan pangan yang akan dikonsumsi serta menerapkan sistem kontrol vektor
penyebar penyakit yang dapat berhasil apabila terjalin kerjasama dari berbagai
pihak.
DAFTAR PUSTAKA
Anshary
H. 2011. Identifikasi Molekuler dengan Teknik PCR-RFLP Larva Parasit Anisakis spp
(Nematoda: Anisakidae) pada Ikan Tongkol (Auxis thazard) dan Kembung
(Rastrelliger kanagurta) dari Perairan Makassar. J. Fish. Sci. XIII (2):70-77.
Audicana
MT, Kennedy MW. 2008. Anisakis simplex: from obscure infectious worm to inducer
of immune hypersensitivity. Clinical
Microb. Rev. 21(2): 360-379.
Cleaveland
S, Laurenson MK, Taylor LH. (2001). Diseases of humans and their domestic
mammals: pathogen characteristics, host range and the risk of emergency. Philos Trans roy Soc Lond biol Sci. 356:991-999.
Dawson
D. 2005. Foodborne Protozoan Parasites. Elsevier: Int. J. of Food Microbiol. 103: 207-227.
[EC]
European Commission. 2004. Regulation (EC) No. 853/2004 of the European
Parliament and of the Council of 29 April 2004 laying down specific hygiene
rules on the hygiene of foodstuffs. Off.
J. Eur. Union 139: 55–95.
Eom
KS, Joen HK, Kong Y, Hwang UW, Yang Y, Li X. 2002. Identification of Taenia
asiantica in China:Molecular, Morphological and Epidemiological Analysis of
Luzhai Isolates. J. Parasitol. 88:
758-764.
Ito
A, Wandra T, Yamasaki H, Nakao M, Sako Y, Nakaya K, Margono SS, Suroso T, Gauci
C, Dightowlers MW. 2004. Cysticercosis/Taeniasis in Asia and the Pasific. Vector Borne Zoonotic Dis. 4: 95-107.
Lymbery
AJ, Cheah FY. 2007. Anisakid nematodes and anisakiasis. Dalam: Murrell KD,
Fried B. Food-borne Parasitic Zoonoses:
Fish And Plant-Borne Parasites. New York : Springer Science.
Murdiati
TB, Sendow I. 2006. Zoonosisyang ditularkan melalui pangan. Wartazoa 16(1): 14−20.
Murrell
KD. 2013. Zoonotic Foodborne Parasites and Their Surveilance. Rev. sci. tech. Off. Int. Epiz. 32(2):
559-569.
Nicholas
R, Smith H. 2003. Parasite, cryptosporidium, giardia and cyclospora as
foodborne pathogens. p. 453−478. In C.W. Blackburn and P.J. Macclure (Eds.). Food-borne Pathogens: Hazards, risk analysis
and control. England: Woodhead
Publishing in Food Science and Technology.
Pozio
E. 2013. Integrating animal health surveillance and food safety: the example of
Anisakis. Rev. sci. tech. Off. int. Epiz.
32(2):487-496.
Santi
DN. 2001. Manajemen Pengendalian Lalat.
[Diunduh 11 Desember 2015]. Tersedia pada: http://library.usu.ac.id/download/fk/fk-Devi.pdf
Santos
CAML, Howgate P. 2011. Fishborne zoonotic parasites and aquaculture: A review. Aquaculture 318:253–261.
Saridewi
R. 2008. Emerging Parasit pada Daging. Bul. BPMSPH 2008.
Soejodono
RR. 2004. Zoonosis. Bogor (ID):
Laboratorium Kesmavet. Departemen Penyakit Hewan dan Kesmavet. Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Suharsono.
2002. Zoonosis Penyakit Menular dari
Hewan ke Manusia. Yogyakarta (ID): Kanisius.
Torgerson
PR, de Silva NR, Fèvre EM, Kasuga F, Rokni MB, Zhou
XN, Sripa B, Gargouri N, Willingham AL, Stein C. 2014. The
global burden of foodborne parasitic diseases: an update. Trends Parasitol. 30(1):20-6.
[USDA]
United States Department of Agriculture Food Safety and Inspection Service.
2015. Parasites and Foodborne Illness. [Diunduh 12 Desember 2015]. Tersedia
pada: http://www.fsis.usda.gov/wps/portal/fsis/topics/food-safety-education/get-answers/food-safety-fact-sheets/foodborne-illness-and-disease/parasites-and-foodborne-illness/
Widodo
AY. 2008. Strategi menghadapi abad zoonosis. [Diunduh 10 Desember 2015].
Tersedia pada: (http://id.wikepedia.org/wki/zoonosis).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar