Halo pembaca blog saya sekalian,
kali ini saya ingin membahas suatu tema mengenai peternakan ayam yang seringkali dialami oleh masyarakat di beberapa wilayah terutama yang berada diluar kota.
Beberapa kali pengalaman saya saat berkunjung ke daerah-daerah ketika koasistensi dulu, sering saya amati adanya peternakan unggas yang terletak di tengah-tengah pemukiman. Barangkali karena masih skala kecil jadi belum terlalu menjadi masalah bagi warga sekitar.
Nah, kali ini saya akan membahas dampak adanya peternakan unggas yang terletak di wilayah pemukiman warga dari sudut pandang kesehatan masyarakat veteriner.
Selamat membaca... :)
PENDAHULUAN
Bidang
ilmu kesehatan masyarakat semakin mengalami perkembangan seiring berjalannya
waktu. Kepentingan ilmu kesehatan masyarakat salah satunya terkait dengan upaya
untuk melawan gangguan dan bahaya kesehatan karena kondisi lingkungan yang
buruk. Oleh karena itu, pencemaran pada
lingkungan yang menyebabkan gangguan kesehatan menjadi ruang lingkup
ilmu kesehatan masyarakat. Lingkungan merupakan salah satu faktor eksternal
penting yang dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat, salah satu bagian dari
lingkungan yang terdekat dengan manusia ialah rumah. Rumah memegang peranan
penting dalam kehidupan manusia, yaitu sebagai tempat berlindung dan tempat
dimana manusia melakukan sebagian besar aktivitas dan rutinitas hidupnya.
Kondisi rumah dapat mempengaruhi perkembangan fisik dan mental penghuninya,
sehingga kondisi rumah dan lingkungannya yang sehat akan memberikan lingkungan
yang nyaman bagi penghuninya (Fitriani 2007).
Kesehatan dan sanitasi lingkungan
merupakan bagian dari ilmu kesehatan masyarakat yang menitikberatkan pada usaha
preventif melalui perbaikan faktor lingkungan agar manusia terhindar dari
berbagai penyakit dan gangguan kesehatan. Kesehatan lingkungan adalah
karakteristik dari kondisi lingkungan yang dapat mempengaruhi derajat
kesehatan. Upaya sanitasi lingkungan dilakukan melalui pengawasan lingkungan
fisik, biologis, dan sosial ekonomi yang mempengaruhi kesehatan manusia, dimana
lingkungan yang berguna akan ditingkatkan dan diperbanyak, sedangkan yang
merugikan diperbaiki atau dihilangkan. Lingkungan dengan sanitasi yang buruk
akan berdampak negatif terhadap kesehatan manusia. Lingkungan yang tidak bersih
merupakan sumber utama dari penyebaran penyakit. Oleh karena itu untuk
menghindari resiko munculnya berbagai penyakit akibat kondisi lingkungan yang
buruk, maka lingkungan harus selalu terjaga sanitasinya, khususnya rumah dan
lingkungan sekitar (Prasetyanto 2011).
Peternakan merupakan salah satu
sektor penting dalam memenuhi kebutuhan manusia akan pangan, tak terkecuali
pada usaha peternakan unggas. Kebutuhan
masyarakat akan protein hewani khususnya daging unggas terus meningkat.
Kebutuhan daging ayam masyarakat Indonesia pada tahun 2012 adalah 1.9 triliun
ekor dan diprediksi meningkat menjadi 2.2 triliun ekor pada tahun 2013
(Sugiyono 2012). Hal tersebut mengakibatkan peternakan unggas dijalankan begitu
ekstensif sehingga semakin mendekati pemukiman masyarakat dan seringkali
menimbulkan konflik dengan masyarakat akibat dampak negatif yang ditimbulkan
seperti penularan penyakit, pencemaran lingkungan (tanah, air, dan udara), bau
tidak sedap, dan lain lain.
Penularan
penyakit dari peternakan ke masyarakat sekitar menjadi perhatian luas karena
kemunculan banyak penyakit zoonotik baru. Penyakit zoonotik didefinisikan
oleh World Health Organization (WHO) sebagai penyakit-penyakit yang ditularkan
secara alamiah antara hewan dan manusia (Shakespeare 2009). Hampir 75 persen penyakit pada hewan merupakan
zoonosis dan sekitar 75 persen penyakit infeksius baru yang muncul (emerging infectious diseases/EID) pada
manusia adalah zoonosis (Wolfe et al.
2005). Hal tersebut menunjukkan peternakan dapat
menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat sekitar jika tidak dikelola secara
baik.
TINJAUAN
PUSTAKA
Pemukiman
Masyarakat Ideal
Pemukiman masyarakat ideal yang diharapkan
adalah berupa rumah yang mampu menjamin kesehatan penghuni dan kehidupan
keluarganya secara layak. Enjang
(2000) mendefinisikan rumah sehat sebagai rumah yang memenuhi kebutuhan
fisiologis dan psikologis manusia, terhindar dari penyakit menular, dan
terhindar dari kecelakaan. Hal tersebut sejalan dengan kriteria rumah sehat
menurut American
Public Health Association (APHA),
yaitu:
a. Memenuhi kebutuhan dasar fisik
1. Mempertahankan temperatur lingkungan
yang kondusif untuk beraktivitas dalam rumah.
2. Memperoleh sinar matahari yang cukup
dan menghindari lingkungan rumah yang lembab karena dapat menjadi media yang
baik bagi agen penyakit.
3. Memiliki ventilasi yang baik sehingga
pertukaran udara terjadi dengan lancar.
4. Adanya lapangan terbuka untuk berolah
raga, rekreasi dan tempat anak-anak bermain.
b. Memenuhi kebutuhan dasar psikologis.
1. Ketentuan-ketentuan tentang privacy yang cukup bagi setiap individu
2. Kebebasan dan kesempatan berinteraksi
antar penghuni dan lingkungan sekitar
3.
Fasilitas–fasilitas
yang memungkinkan pelaksanaan pekerjaan-pekerjaan tanpa menyebabkan kelelahan
fisik dan mental.
c. Melindungi
dari penyakit
1. Penyediaan air yang sehat bagi setiap
rumah.
2. Ketentuan tentang perlindungan air
minum dari pencemaran.
3. Ketentuan tentang fasilitas pembuangan
kotoran dan limbah untuk mengurangi bahaya penyebaran penyakit.
4. Menghindarkan adanya rodensia yang bisa
menularkan penyakit.
5.
Letak
rumah tidak berdekatan dengan pabrik atau peternakan yang dapat menjadi sumber
pencemaran dan penyakit menular.
d. Melindungi
dari kecelakaan
1. Membuat konstruksi rumah yang kokoh
untuk menghindari bangunan ambruk.
2. Menghindari bahaya kebakaran.
3.
Menghindarkan
bahaya-bahaya lalu lintas kendaraan.
Parameter-parameter tersebut juga
sejalan dengan aturan Rumah Sehat di Indonesia yang diatur dalam Kepmenkes
Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan. Parameter
yang diatur Kepmenkes tersebut adalah bahan bangunan, komponen dan penataan
ruang, pencahayaan, kualitas udara dan ventilasi. Kualitas udara yang
disyaratkan adalah suhu udara 18-30oC, kelembaban udara 40-70 %,
kadar gas SO2 kurang dari 0,10 ppm/24 jam, konsentrasi gas CO tidak
melebihi 100 ppm/8 jam, dan konsentrasi gas formaldehid tidak melebihi 120 mg/m3.
Peternakan Unggas
Indonesia
sebagai negara pertanian tidak lepas dari sektor peternakan. Peternakan dalam
hal ini dibagi menjadi dua jenis yaitu peternakan skala besar dan skala kecil.
Pada peternakan skala besar untuk pengawasan kesehatan ternak seringkali
dilakukan dan dibimbing oleh dinas peternakan. Hal demikian berbeda dengan
peternakan skala kecil yang belum begitu jelas pengawasan kesehatan ternaknya,
namun seiring meningkatnya berbagai wabah penyakit unggas yang bersifat
zoonosis maka peternakan skala kecil ini menjadi sangat penting dan perlu
perhatian lebih. Peternakan skala kecil termasuk peternakan tradisional di
Indonesia sangat banyak karena banyak dibangun untuk menunjang kebutuhan pangan
dan ekonomi keluarga tersebut (Yusdja et
al. 2012).
Gambar
1 Sistem perunggasan di Indonesia
(Yusdja et al. 2004 dalam Yatmiko 2008).
Tata cara budidaya ayam baik pedaging, petelur, maupun
bukan ras (buras) telah diatur pemerintah melalui Kepmentan No 420/Kpts/OT.210/7/2001, 424/Kpts/OT.210/7/2001, dan
425/Kpts/OT.210/7/2001 tentang Pedoman Budidaya Ternak (Good Farming Practices) Ayam Bukan Ras (buras), pedaging, dan
petelur yang baik. Berikut adalah syarat-syarat
yang harus diperhatikan dalam membangun peternakan unggas:
a. Penyiapan lokasi
Lokasi
tempat pemeliharaan diupayakan agar tidak terlalu dekat dengan bangunan rumah
dan memiliki sirkulasi udara yang baik serta mendapatkan pencahayaan matahari
secara maksimal, sehingga kondisi lokasi dapat terpelihara dalam kondisi
kering. Penataan letak bangunan kandang dan bukan kandang didalam lokasi usaha
peternakan ayam hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. jarak antara tiap-tiap
kandang minimal 1 kali lebar kandang dihitung dari tepi atap kandang
2. jarak terdekat antara
kandang dengan bangunan lain bukan kandang minimal 25 m;
3. bangunan-bangunan kandang,
kandang isolasi, dan bangunan lainnya harus ditata supaya aliran air, saluran
pembuangan limbah, udara, dan penghantar lain tidak menimbulkan pencemaran
penyakit.
b.
Pembuatan kandang.
Pemeliharaan
unggas di pemukiman harus dilakukan secara intensif atau semi-intensif,
sehingga keberadaan kandang menjadi suatu hal yang mutlak. Ternak unggas harus
dikandangkan dan tidak dibenarkan berkeliaran bebas dan kandang unggas harus
terpisah dari rumah. Pada prinsipnya penggunaan kandang harus disesuaikan
dengan tujuan pemeliharaan dan dipastikan ayam tidak berkeliaraan. Kandang
dapat dibuat disekitar lokasi pekarangan rumah bagian belakang yang masih
memungkinkan untuk lokasi bangunan kandang. Disamping itu juga dapat dibangun
kandang koloni pada lokasi yang jauh dari perumahan yang dapat menampung ternak
dari beberapa anggota masyarakat. Sebelum unggas dimasukan kedalam kandang,
dilakukan penyemprotan dan desinfeksi terhadap kandang dan lokasi sekitarnya.
c. Manajemen pemeliharaan.
Untuk meminimalkan kemungkinan
munculnya berbagai macam penyakit maka pemeliharaan unggas dipemukiman harus
dilakukan secara tertib dan memenuhi persyaratan teknis minimal, sehingga
tatacara pemeliharaan yang baik dapat diaplikasikan terutama menyangkut masalah
biosekuriti, higiene, sanitasi dan pencemaran lingkungan. Dalam upaya
pencegahan pencemaran lingkungan, diperlukan perhatian khusus terhadap beberapa
hal berikut :
a.
Mencegah timbulnya erosi serta membantu penghijauan di areal
peternakan.
b.
Menghindari timbulnya erosi dan gangguan lain yang berasal
dari peternakan yang dapat mengganggu lingkungan berupa bau busuk, suara
bising, serangga, tikus serta pencemaran air sungai/ air tanah (sumur).
c.
Setiap usaha peternakan unggas agar membuat unit
pengolahan limbah peternakan (padat, cair dan gas) yang sesuai dengan kapasitas
produksi limbah yang dihasilkan.
d. Setiap usaha peternakan unggas memiliki tempat pembuangan kotoran dan
penguburan bangkai.
Usaha
peternakan ayam sering dijadikan sebagai sumber penyebab utama yang ikut
mencemari lingkungan. Oleh karena itu, agar peternakan ayam tersebut menjadi
suatu usaha yang berwawasan lingkungan dan efisien, maka tatalaksana
pemeliharaan, perkandangan, dan penanganan limbahnya harus selalu diperhatikan.
Limbah Usaha Peternakan Ayam
Usaha peternakan ayam menghasilkan limbah berupa feses yang menyebabkan pencemaran udara berupa bau yang mengganggu dan berpotensi berbahaya bagi kesehatan serta air buangan yang dapat mencemari lingkungan. Air buangan yang dimaksud berasal dari cucian tempat pakan, tempat minum ayam, dan lain-lain. Jumlah air buangan ini sedikit dan biasanya langsung terserap ke dalam tanah sehingga tidak berpengaruh besar terhadap lingkungan sekitar. Air buangan mempunyai nilai pH netral (±7), kandungan senyawa organik rendah yang ditunjukkan dengan nilai Bio Oxygen Demand (BOD) 15,32-68,8 dan Chemical Oxygen Demand (COD) 35,12-92,12 (Rachmawati 2000).
Ada dua model pemeliharan ayam,
yaitu pada pemeliharaan ayam petelur biasanya menggunakan sistem baterai, yakni
ayam dipelihara dalam kandang-kandang terpisah dan ditempatkan agak tinggi dari
permukaan tanah, dengan dasar kandang berlubang-lubang sehingga feses akan jatuh dan bertumpuk di bawah
kandang. Sebaliknya, pada pemeliharaan ayam pedaging biasanya menggunakan
sistem litter, yakni ayam-ayam dipelihara dalam kandang dengan batas yang
disekat-sekat dan lantai kandang adalah berupa tanah atau beton yang dilapisi
dengan sekam sehingga feses ayam akan bercampur dengan sekam tersebut dan
secara periodik diangkat.
Rataan produksi buangan segar
(feses) ternak ayam petelur adalah 0,06 kg/hari/ekor dengan kandungan bahan
kering 26 persen, sedangkan ayam pedaging menghasilkan 0,1 kg/hari/ekor dengan
kandungan bahan kering 25 persen. Feses ayam terdiri dari sisa pakan dan serat
selulosa yang tidak tercerna. Feses ayam mengandung protein (nitrogen),
karbohidrat, lemak, dan senyawa organik lainnya. Komposisi feses ayam sangat
bervariasi bergantung pada jenis ayam, umur, keadaan individu ayam, dan makanan
(Prasetyanto 2011).
Sumber pencemaran usaha peternakan
ayam berasal dari feses ayam yang berkaitan dengan unsur nitrogen dan sulfida
yang terkandung dalam feses tersebut, yang pada saat penumpukan feses atau
penyimpanan terjadi proses dekomposisi oleh mikroorganisme membentuk gas
amonia, nitrat, dan nitrit serta gas sulfida. Gas-gas tersebutlah yang dapat
menyebabkan bau (NRC 2003). Kandungan gas amonia yang tinggi dalam feses juga
menunjukkan kemungkinan kurang sempurnanya proses pencernaan atau protein yang
berlebihan dalam pakan ternak, sehingga tidak semua nitrogen diabsorbsi sebagai
asam amino, tetapi dikeluarkan sebagai amonia dalam feses.
Feses ayam sudah sejak lama
dimanfaatkan sebagai pupuk di bidang pertanian. Pengalaman empiris membuktikan
bahwa feses ternak sangat cocok dan baik untuk kesuburan tanah pertanian. Oleh
karena itu perlu dilakukan upaya penanganan feses ternak dengan baik dan
optimal agar tidak menyebabkan bau yang menyengat, dan masih tetap dapat
dimanfaatkan sebagai pupuk.
Dampak Peternakan Unggas
Banyaknya
usaha peternakan ayam yang berada di lingkungan masyarakat dirasakan mulai
mengganggu warga, terutama peternakan ayam yang lokasinya dekat dengan
pemukiman penduduk. Masyarakat banyak mengeluhkan dampak buruk dari kegiatan
usaha peternakan ayam ras karena masih banyak peternak yang mengabaikan
penanganan limbah dari usahanya. Limbah peternakan ayam ras berupa feses, sisa
pakan, air dari pembersihan ternak menimbulkan pencemaran lingkungan masyarakat
di sekitar lokasi peternakan tersebut.
Seperti disebutkan
sebelumnya, dampak dari usaha peternakan unggas terhadap lingkungan sekitar
terutama adalah berupa bau yang dikeluarkan selama proses dekomposisi kotoran unggas.
Bau tersebut berasal dari kandungan gas amonia yang tinggi dan gas hidrogen
sulfida (H2S),
dimetil sulfida, karbon disulfida, dan merkaptan. Senyawa yang menimbulkan bau
ini dapat mudah terbentuk dalam kondisi anaerob seperti tumpukan kotoran yang
masih basah. Senyawa tersebut dapat tercium dengan mudah walau dalam
konsentrasi yang sangat kecil. Untuk H2S, kadar 0,47 mg/l atau dalam
konsentrasi part per million (ppm) di udara merupakan batas konsentrasi yang
masih dapat tercium bau, sedangkan untuk dimetil sulfida konsentrasi 1,0 ppm di
udara mulai tercium bau busuk. Untuk amonia, kadar terendah yang dapat
terdeteksi baunya adalah 5 ppm. Akan tetapi, kepekaan seseorang terhadap bau
ini sangat tidak mutlak, terlebih lagi bau yang disebabkan oleh campuran gas.
Pada konsentrasi amonia yang lebih tinggi di udara dapat menyebabkan iritasi
mata dan gangguan saluran pernapasan pada manusia dan hewan itu sendiri (Praja
2006).
Selain berdampak negatif terhadap
kesehatan manusia yang tinggal di lingkungan sekitar peternakan, bau kotoran
juga berpengaruh terhadap ternak dan dapat menyebabkan produktivitas ternak
menurun. Pengelolaan lingkungan peternakan yang kurang baik dapat menyebabkan
kerugian ekonomi bagi peternak itu sendiri, karena gas-gas tersebut dapat
menyebabkan produktivitas ayam menurun, sedangkan biaya kesehatan akan semakin
meningkat, yang menyebabkan keuntungan peternak menipis. Biaya kesehatan
meningkat karena ayam-ayam tersebut menurun imunitasnya terhadap
penyakit-penyakit yang sering timbul akibat polusi udara oleh amonia, seperti
penyakit cronic respiratory disease (CRD), yaitu penyakit saluran pernapasan
menahun, dan ayam lebih peka terhadap virus Newcastle disease (ND) yang
menyebabkan ayam mudah terkena penyakit ND (Rachmawati 2000).
Walaupun dampak yang ditimbulkan
akibat dari cemaran bau busuk belum dirasakan dalam jangka waktu pendek, namun
dalam jangka panjang dapat menyebabkan munculnya berbagai penyakit sehingga
berakibat menurunnya produktivitas masyarakat. Banyaknya lalat di lingkungan
sekitar peternakan juga merupakan dampak negatif lain dari keberadaan usaha
peternakan ayam. Kebiasaan lalat yang suka mencari tempat-tempat yang berbau
busuk menyebabkan kandang ayam banyak dihinggapi lalat untuk berkembang biak.
Lalat sendiri diketahui merupakan vektor dari berbagai penyakit, sehingga dapat
menjadi satu ancaman yang perlu diperhatikan secara serius.
PEMBAHASAN
Banyaknya usaha peternakan unggas
yang berada di lingkungan masyarakat dirasakan mulai mengganggu warga sekitar
peternakan, karena masih banyak peternak yang belum memiliki kepedulian
terhadap manajemen pengolahan produk buangan dari peternakannya. Limbah
peternakan unggas berupa feses, sisa pakan, dan air yang berasal dari
pembersihan ternak seringkali menimbulkan pencemaran lingkungan masyarakat di
sekitar lokasi peternakan tersebut dan pada akhirnya mengganggu kesehatan
masyarakat sekitar. Sumber pencemaran dari usaha peternakan ayam berasal dari
kotoran ayam yang berkaitan dengan unsur nitrogen dan sulfida yang terkandung
dalam kotoran tersebut, yang pada saat penumpukan kotoran atau penyimpanan
terjadi proses dekomposisi oleh mikroorganisme membentuk gas amonia, nitrat,
dan nitrit serta gas sulfida. Gas-gas tersebut yang menyebabkan bau (NRC 2003).
Pencemaran udara diartikan
sebagai keadaan atmosfer, dimana satu atau lebih bahan-bahan polusi yang jumlah
dan konsentrasinya dapat membahayakan kesehatan mahluk hidup, merusak properti
dan mengurangi kenyamanan di udara (Salim 2002). Pencemaran udara dapat
dibedakan menjadi dua yaitu pencemaran udara bebas dan pencemaran udara di
dalam ruangan (indoor air pollution).
Bahan atau zat yang dapat mencemari udara dapat berbentuk gas dan partikel
(Sunu 2001). Menurut Soedomo (2001), berdasarkan ciri fisik, bahan pencemar
dapat berupa partikel (debu, aerosol, timah hitam), gas (CO, NOx, SOx, H2S) dan
energi (suhu udara dan kebisingan) sedangkan menurut kejadian atau terbentuknya
ada pencemar primer (yang diemisikan langsung oleh sumber) dan pencemar
sekunder (yang terbentuk karena reaksi di udara antara berbagai zat).
Peternakan unggas dapat menyebabkan pencemaran udara, yaitu melalui:
1.
Hidrogen
Sulfida (H2S) dan Nitrogen
Dioksida (NO2)
Penyebab terbesar timbulnya bau
dari peternakan berasal dari berbagai komponen yang meliputi H2S dan
NH3 (NRC 2003). Hidrogen sulfida dibentuk
dari reduksi bakteri sulfat dan dekomposisi kandungan sulfur organik pada
kotoran dalam kondisi anaerob. Gas H2S merupakan gas yang lebih
ringan dari pada udara, mudah larut dalam air dan mempunyai bau seperti telur
busuk (Casey et al. 2006). Gas tersebut toksik bagi manusia dan
hewan serta dapat meningkatkan kerentanan penyakit dan dapat mengganggu
efisiensi aktivitas para pekerja yang berada di sekitar peternakan karena bau
yg ditimbulkan (Martin et al. 2004). Senyawa yang menimbulkan bau ini
dapat mudah terbentuk dalam kondisi anaerob seperti tumpukan kotoran yang masih
basah. Gas ini tidak berwarna dan dapat dideteksi pada konsentrasi yang sangat
rendah yaitu 0,002 ppm (Soemirat 2002). Gas H2S banyak ditemukan di
dataran rendah yang tertutup dan memiliki ventilasi yang buruk. Gas H2S
pada konsentrasi yang rendah dapat menyebabkan iritasi mata, batuk, sesak
nafas, iritasi hidung, dan tenggorokan. Gas H2S pada konsentrasi
yang tinggi dapat menyebabkan pusing, mual, muntah, pingsan, koma bahkan
kematian (OSHA 2005). Gas H2S yang dihasilkan dari proses penguraian
zat makanan sisa pencernaan dilakukan oleh mikroba perombak protein. Gas
tersebut toksik bagi manusia dan hewan serta dapat meningkatkan kerentanan
penyakit dan dapat mengganggu efisiensi aktivitas para pekerja yang berada di
sekitar peternakan karena bau yg ditimbulkan (Martin et al. 2004).
Selain gas H2S yang dihasilkan, kotoran ayam juga diyakini dapat
menyebabkan emisi NO secara langsung (NRC 2003). Nitrogen monoksida (NO) dapat
mengalami oksidasi menjadi NO2 (Pohan 2002). Sehingga secara tidak
langsung kotoran ayam dapat menghasilkan emisi gas NO2 melalui
proses denitrifikasi.
2.
Debu
Kandungan debu di peternakan unggas pada umumnya meliputi
partikel tanah, sisa pakan, rambut dan bulu, kotoran kering, bakteri, dan
jamur. Kandungan debu di peternakan unggas umumnya berasal dari pakan sedangkan
kandungan partikel tanah tersebut menentukan konsentrasi debu. Menurut Leeson
dan Summers (2000), rataan kadar debu pada peternakan unggas dewasa sekitar 2-5
mg/m3 (2.000-5.000 μg/m3), dimana pada kadar tersebut berkontribusi pada
masalah pernafasan pada peternakan dan sekitarnya. Menurut Prasetyanto (2011),
kondisi lingkungan (suhu udara, kelembaban udara, arah dan kecepatan angin, dan
ketinggian lokasi), kondisi kandang (bahan atap, sistem kandang) dan kondisi sekitar
kandang (areal pertanian, keberadaan tanaman di sekitar kandang) dapat
mempengaruhi kadar H2S, NO2, dan debu di sekitar
peternakan yang merupakan suatu ancaman serius bagi kesehatan manusia. Efek
debu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan tergantung dari solubility,
komposisi kimia debu, konsentrasi debu, dan ukuran partikel debu. Akibat yang
dapat ditimbulkan oleh debu antara lain gangguan kenyamanan pada pernafasan,
peradangan saluran pernafasan, alergi, meningkatkan sekresi cairan di hidung,
nafas menjadi berat, serta penurunan kapasitas ventilasi paru. Gejala yang
terjadi pada pekerja biasanya meliputi gangguan restriktif paru antara lain
cepat lelah, sesak nafas pada waktu bekerja ringan, dan berkurangnya kapasitas
kerja.
Dalam kasus pencemaran lingkungan oleh peternakan ayam, yang
menjadi pemicu permasalahan sebenarnya akibat dari pemukiman yang terus
berkembang. Pada awal pembangunan, peternakan ayam didirikan jauh dari
pemukiman penduduk namun lama kelamaan di sekitar areal peternakan tersebut
menjadi pemukiman. Hal tersebut terjadi karena perkembangan dan rencana tata
ruang yang seringkali tidak konsisten. Keberadaan peternakan ayam di
sekitar masyarakat pada dasarnya dapat membawa dampak positif yaitu
meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat sekitar, namun dapat pula bernilai
negatif yaitu justru menimbulkan resiko yang merugikan masyarakat karena adanya
limbah peternakan. Meskipun peternakan ayam memiliki dampak negatif bagi
masyarakat sekitar, peternakan ayam terbukti telah membawa manfaat ekonomi yang
sangat besar seperti menyediakan banyak lapangan pekerjaan dan meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kondisi demikian mengakibatkan pilihan untuk
menutup suatu peternakan dirasa bukanlah merupakan suatu keputusan yang paling
tepat karena dengan demikian akan menghilangkan sumber penghasilan masyarakat
yang bergantung pada peternakan ayam tersebut, namun apabila tetap dibiarkan
akan menimbulkan protes dari masyarakat sekitar yang merasa terganggu. Oleh
karena itu, langkah yang paling bijaksana adalah dengan berusaha mengolah
limbah-limbah dari peternakan ayam yang semula berbahaya dan merugikan
masyarakat menjadi tidak berbahaya dan justru menguntungkan masyarakat.
Adapun
beberapa upaya yang dapat dilakukan ialah melalui pengelolaan yang dilakukan
dengan menambahkan suatu senyawa pada kotoran unggas yang dapat mengurangi bau
yang ditimbulkan. Berikut adalah contoh senyawa dan perlakuan yang dapat
digunakan untuk mengurangi bau yang ditimbulkan dari kotoran ayam:
1.
Pemberian Zeolit
dan Klorin
Menurut
Rachmawati (2000), zeolit dapat digunakan untuk mengurangi pencemaran gas
amonia dan H2S
pada kotoran ayam. Zeolit mempunyai struktur berongga dengan ukuran pori
tertentu yang dapat berisi air atau ion yang dapat dipertukarkan dengan ion-ion
lain tanpa merusak stuktur zeolit dan dapat menyerap air, molekul lain, dan gas
CO2 dan H2S secara reversible. Penggunaan
zeolit dapat pula dikombinasi dengan penambahan klorin pada kotoran sehingga
dapat semakin mengurangi konsentrasi gas pencemar. Sifat klorin yang bersifat
antiseptik dapat membunuh mikrorganisme yang terdapat dalam feses.
2.
Pemberian Kapur
Selain
zeolit, senyawa lain yang bisa digunakan adalah kapur. Pada peternakan ayam,
kapur dapat digunakan untuk membersihkan lantai kandang, mengeringkan, dan
mengurangi bau dari kotoran ayam. Penggunaan kapur pada kotoran ayam selain
mengurangi cemaran amonia ke udara, juga menghasilkan pupuk dengan kandungan
nitrogen tinggi, karena tidak banyak nitrogen yang hilang sebagai amonia.
Kehilangan nitrogen pada kotoran merupakan kerugian bagi para peternak, karena
menurunkan kualitas pupuk.
3.
Pemberian
Probiotik
Selain
penggunaan senyawa, mikroba juga dapat digunakan untuk mengurangi pembentukan
gas amonia dari feses yaitu menggunakan probiotik starbio yang ditambahkan pada
pakan ayam. Mikroba ini bersifat proteolitik, sellulitik, dan lignolitik. Penggunaan
mikroba pengurai limbah atau effective
microorganism (EM4) juga dapat menurunkan kadar gas amonia dan H2S.
Usaha
lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak negatif dari peternakan ayam
adalah dengan memanfaatkan kotoran ayam sebagai biogas sehingga diharapkan
dapat menimalisasi penumpukan amonia di kandang.
Biogas adalah gas yang dihasilkan oleh aktifitas anaerobik atau fermentasi dari
bahan-bahan organik salah satunya adalah kotoran ayam. Kandungan utama dalam
biogas adalah metana dan karbon dioksida. Metana dalam biogas dapat
menghasilkan energi yang lebih besar dengan emisi karbon dioksida yang lebih
sedikit.
Selain
upaya-upaya tersebut, pada dasarnya upaya yang terbaik untuk menciptakan
lingkungan pemukiman yang sehat adalah dengan memperhatikan jarak pembangunan
peternakan dengan wilayah pemukiman masyarakat sesuai peraturan yang dibuat
oleh pemerintah. Dalam program Indonesia Sehat 2010, perilaku yang diharapkan
adalah perilaku yang proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan,
mencegah risiko terjadinya penyakit, melindungi diri dari ancaman penyakit dan
berpartisipasi aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat (Fitriani 2011). Dengan
perilaku masyarakat yang demikian, diharapkan tercipta suatu lingkungan
pemukiman yang kondusif bagi terwujudnya keadaan sehat yaitu lingkungan yang
bebas dari polusi, tersedianya air bersih bebas pencemaran, dan sanitasi
lingkungan yang memadai.
SIMPULAN
Pembangunan
peternakan unggas disekitar lingkungan pemukiman memiliki dampak yang
membahayakan terhadap kesehatan masyarakat disekitar peternakan, terutama
peternakan kecil yang seringkali berada sangat dekat dengan rumah warga. Hal
ini disebabkan oleh limbah peternakan yang dihasilkan yang seringkali tidak
diolah dan dapat mencemari lingkungan, serta efek lain yang ditimbulkan seperti
bau dan kemunculan lalat.
Terdapat
beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak negatif dari
keberadaan peternakan disekitar wilayah pemukiman, namun upaya terbaik adalah
dengan selalu memperhatikan jarak pembangunan peternakan dengan wilayah
pemukiman masyarakat sesuai peraturan pemerintah agar tidak memberikan
mengganggu kesehatan masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Casey KD, Bicudo JR, Schimidt DR,
Singh A, Gay SW, Gates RS, Jacobson LD, Haff SJ. 2006. Air quality and emission from livestock and poultry
production waste management system in animal agriculture and the environment.
National Centre for Manure and Animal Waste Management White Paper. Pp 1-40.
Entjang.
2000. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti.
Fitriani A. 2007. Rumah Sederhana Sehat [skripsi].
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia.
Fitriani
S. 2011. Promosi Kesehatan. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
[Kepmenkes]
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
[Kepmentan] Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 420/Kpts/Ot.210/7/2001 tentang Pedoman
Budidaya Ternak Ayam Buras yang Baik (Good Farming Practice). Jakarta:
Kementrian Pertanian.
[Kepmentan] Keputusan Menteri
Pertanian Nomor: 424/Kpts/Ot.210/7/2001
tentang Pedoman Budidaya Ternak Ayam Pedaging yang Baik (Good Farming
Practice) Jakarta: Kementrian Pertanian.
[Kepmentan] Keputusan Menteri
Pertanian Nomor: 425/Kpts/OT.210/7/2001
tentang Pedoman Budidaya Ternak Ayam Petelur yang Baik (Good Farming
Practice). Jakarta: Kementrian Pertanian.
Leeson
S, Summers JD. 2000. Commercial Poultry
Nutrition 3rd Ed. Canada: University Books.
Martin
RW, JR Mihelcic, & JC Crittenden. 2004. Design and performance
characterization strategy using modeling for biofiltration control of odorous
hydrogen sulfide. J. Air Waste Manage.
Assoc. 54: 834.
[NRC]
National Research Council. 2003. Air Emmision from Animal Feeding Operation.
Washington DC : National Academy Press.
[OSHA]
Occupational Safety and Health Administration. 2005. OSHA Fact Sheet. U.S.
Department of Labour. www.osha.gov. [10 November 2014].
Pohan N. 2002. Pencemaran Udara
dan Hujan Asam [Laporan Penelitian]. Medan : Program Studi Tehnik Kimia
Universitas Sumatera Utara.
Praja M.
2006. Gas Penyebab Emisi Udara.
Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
Prasetyanto N. 2011. Kadar H2S, NO2, dan
Debu Pada Peternakan Ayam Broiler dengan Kondisi Lingkungan yang Berbeda di
Kabupaten Bogor, Jawa Barat [Skripsi]. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Rachmawati
S. 2000. Upaya Pengelolaan Lingkungan Usaha Peternakan Ayam. J wartazoa vol. 9 No. 2 Th. 2000.
Salim E. 2002. Green Company.
Jakarta: PT. Astra
Internasional Tbk.
Shakespeare
M. 2009.
Zoonoses. London: Pharmaceutical Pr.
Soedomo, M. 2001. Pencemaran
Udara (Kumpulan Karya Ilmiah). Bandung: Penerbit Institut Teknologi Bandung
Press.
Soemirat
JS. 2002. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: UGM Press.
Sugiyono. 2013. 2013 ini, Konsumsi Daging Ayam Bakal Naik
15.79%. www.livestockreview.com/2013/02/2013-ini-konsumsi-daging-ayam-bakal-naik-15-79/ [9 November 2014].
Sunu P. 2001. Melindungi
Lingkungan dengan Menerapkan ISO 14001. Jakarta: PT. Grasindo.
Wolfe ND, Daszak P, Kilpatrick
AM, Burke DS. 2005. Bushmeat hunting,
deforestation, and prediction of zoonotic disease emergence. J Emerg Infect Dis 11 (12):1822-1827.
Yatmiko A. 2008. Kondisi Biosekuriti Peternakan Unggas Sektor
4 di Kabupaten Cianjur [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Yusdja Y, Basuno E, Ilham N.
Alternatif Kebijakan dan Strategi: Pengendalian Wabah AI pada Usaha. Peternakan
Ayam Skala Kecil di Indonesia.
http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/Semnas_250209_6 [1 November 2014].
Nah seperti itulah sedikit penjelasan dari saya yang saya peroleh dari berbagai literatur. Ternyata untuk membuat suatu hunian yang nyaman dan baik untuk kesehatan masyarakat juga banyak peraturan yang harus diindahkan ya,,,.
Semoga bermanfaat :)
Salam,
Dohe Cilik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar