About Me

test

Manusya Mriga Satwa Sewaka


Kamis, 27 Oktober 2016

PENGENDALIAN Babesia microti DENGAN OBAT ALAMI

Halo teman - teman...sudah lama sekali tidak mengisi blog ini. :D
Kali ini saya mau share sesuatu mengenai salah satu parasit darah yang cukup menjadi masalah dalam bidang veteriner.

Apakah itu? Yak, betul Babesia microti . Babesiosis ditularkan melalui gigitan caplak, tau sendiri kan bagaimana banyaknya caplak yang ditemukan dalam hewan-hewan yang kita piara?
nah, kebetulan juga saat ini sedang ngetrend isu-isu untuk kembali ke alam. 
Jadi dalam kesempatan ini saya mau berbagi sedikit informasi tentang pengendalian babesiosis menggunakan obat-obat alami.

check this out, beb!


Apa itu Babesiosis?

Babesiosis adalah penyakit parasit yang disebabkan oleh parasit protozoa Babesia sp. dan terdistribusi di dalam sirkulasi darah. Penyakit ini tersebar luas di seluruh dunia yang menyerang binatang liar dan ternak, terutama ternak sapi yang dipelihara di daerah tropis dan subtropis (Aiello dan Moses 2011). Babesiosis ditularkan melalui gigitan caplak (Boophilus sp.) disebut juga tick fever atau redwater (Lubis 2006).  Penyebarannya dari berbagai generasi parasit mulai dari telur, larva, nimfa hingga dewasa melalui perantara vektor caplak seperti Rhipicephalus microplus, Rhipicephalus annulataus, Rhipichepalus decoloratus, Rhipichepalus geigyi, dan Rhipichepalus evertsi dari berbagai stadium (Bock et al. 2004). 
Morbiditas dan mortalitas akibat kejadian babesiosis pada ternak bervariasi dan dipengaruhi oleh perawatan yang telah dilakukan, adanya paparan spesies sebelumnya/strain parasit, dan status vaksinasi yang berlaku di suatu daerah. Penyakit babesiosis yang ditularkan oleh berbagai caplak dapat menyebabkan mortalitas 5-10% meskipun ternak telah diobati. Adapun jika tidak dilakukan pengobatan, mortalitas 80-90% akan terjadi pada sapi dewasa dan 10-15% pada ternak muda umur satu sampai dua tahun. Infeksi yang disebabkan oleh Babesia bovis, Babesia bigemina,dan Anaplasma marginale juga sangat berpotensi menyebar pada sapi saat ekspor ke negara Asia bagian timur dan selatan yang endemik Babesiosis. Infeksi parasit ini dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang besar berupa pertumbuhan terhambat, penurunan berat badan, penurunan daya kerja, dan reproduksi, termasuk biaya pembelian desinfektan serta vaksin.
Kasus babesiosis juga dilaporkan menyerang pada manusia sehingga penyakit ini tergolong zoonosis. Salah satu spesies Babesia yang menjadi masalah dan menimbulkan banyak kerugian bagi kesehatan manusia ialah Babesia microti (Hunfeld et al. 2008). Hildebrandt et al. (2007) menyatakan bahwa infeksi B. microti  telah dikonfirmasi terjadi di Taiwan, Jepang, Eropa, dan Amerika. Kasus B. microti ini seringkali dikaitkan dengan keberadaan rodensia di lingkungan dimana rute infeksi yang paling umum ialah karena gigitan dari Ixodes scapularis dan juga melalui transfusi darah (Joseph et al. 2012). Infeksi B. microti anak-anak dan dewasa memiliki frekuensi yang sama, namun gejala klinis yang muncul lebih banyak ditemui pada usia dewasa. Kasus babesiosis pada manusia yang tersebar diseluruh dunia menyebabkan dampak yang besar bagi kesehatan masyarakat. Banyak upaya pengendalian yang telah dilakukan salah satunya melalui pemberian antiparasit sintetis, namun seringkali pemberian dalam jangka waktu panjang dan terus-menerus menyebabkan terjadinya resisten terhadap antiparasit tersebut. Keadaan demikian menjadi alasan banyak ahli untuk berupaya menemukan antiparasit lain yang berasal dari tanaman herbal/alami. Oleh karena itu diperlukan berbagai informasi terbaru terkait upaya untuk pengendalian penyakit ini terutama menggunakan bahan-bahan alami.



Etiologi
Filum : Sporozoa (Apicomplexa)
Kelas : Sporozoea
Subkelas : Coccidia
Superordo : Eucoccidea
Ordo : Haemosporidia
Subordo : Aconoidina
Famili : Piroplasmidae
Genus : Babesia (Bock et al. 2004)
Sejauh ini dilaporkan terdapat lebih dari 100 spesies Babesia didunia tetapi yang berkaitan erat dengan dunia kesehatan hewan dan manusia antara lain B. microti di Amerika Serikat, B. Divergens, dan B. bovis di Eropa. Beberapa spesies Babesia, hanya ditemukan pada hewan-hewan yang lain seperti B. mayor menginfeksi sapi, B. equi pada kuda, dan B. canis pada anjing, B. felis pada tikus, dan B. microti pada binatang mengerat (rodent), serta pada binatang menyusui kecil dan jenis kera (Lubis 2006).


Morfologi
Morfologi Babesia sp. sangat khas, yaitu berbentuk seperti buah pir (the pear shaped form) yang berada di dalam butir sel darah merah (intraerythrocytic) inang yang terinfeksi (Aiello dan Moses 2011). Secara umum, merozoit didalam eritrosit berbentuk bermacam-macam (bulat, oval, piriform atau tidak teratur), bentuk piriform secara khas berpasangan dengan sudut lancip, dengan pewarnaan giemsa, plasma parasit terlihat biru dan intinya berwarna merah. Babesia sp. berkembang secara aseksual di dalam eritrosit dengan pembelahan ganda atau skizogoni, dan seksual di dalam tubuh caplak (Oka 2010).

Gambar 1  Perbandingan bentuk Babesia sp. dalam eritrosit manusia: a) B. divergens, b) B. venatorum, c) B. divergens-like, Kentucky, d) B. microti, e) B. duncani, f) KO1, Korea. 
Siklus Hidup

Secara umum ada 3 tahap reproduksi yaitu (i) Gametogoni/gamogony (formasi dan fusi gamet di dalam usus caplak), (ii) Sporogoni (reproduksi aseksual dalam kelenjar ludah), (iii) Merogoni (reproduksi aseksual pada inang vertebrata) (Homer et al. 2000). Siklus hidup Babesia sp. terdiri dari fase aseksual dan fase seksual, fase tersebut menentukan cara infeksi parasit tersebut menginfeksi inangnya. Pada fase aseksual, Babesia sp. mengalami stadium merogoni yang terjadi di dalam sel darah merah inang. Stadium merogoni diawali ketika caplak berbagai tingkatan stadium yang mengandung sporozoit menginfeksi inang melalui saliva akibat gigitan caplak. Sporozoit yang telah masuk ke dalam tubuh inang kemudian akan melakukan penetrasi secara mekanik ke dalam pembuluh darah. Dalam pembuluh darah sporozoit akan masuk ke dalam eritrosit dan berubah menjadi tropozoit, selanjutnya mengalami pembelahan biner (bereplikasi ganda) menjadi merozoit (Bock et al. 2004). Akibat pembelahan yang terus menerus menyebabkan desakan mekanis sehingga terjadi ruptur eritrosit yang mengeluarkan merozoit dan mencari eritrosit baru kemudian akan terjadi penetrasi. Siklus ini akan terus berlanjut sampai infeksi yang terjadi tidak terkontrol sehingga inang mati. 
Ketika caplak menghisap darah inang yang mengandung parasit, sebagian merozoit akan rusak di dalam saluran pencernaan dan sebagian merozoit lain mengalami perubahan menjadi fase gametosit. Fase inilah yang akan berperan dalam reproduksi seksual. Fase seksual dimulai ketika fase pre-gametosit berubah menjadi fase gametosit. Perubahan fase tersebut terjadi pada tubuh caplak yang menghisap darah inang yang terinfeksi (stadium gametogoni). Dalam tubuh caplak gametosit akan menghasilkan mikrogamet dan makrogamet yang nantinya akan berfusi menjadi zigot, atau dikenal sebagai fase seksual. Selanjutnya zigot mengalami perkembangan menjadi ookinet atau vermiculus (Uilenberg 2006). Selanjutnya ookinet akan mengalami diferensiasi menjadi kinet dan akan masuk ke dalam kelenjar saliva caplak. Patogenesis dari penyakit ini biasanya berjalan kronis, akan tetapi pada fase akut bisa menimbulkan anemia, hemoglobinuria, ikterus, splenomegali, hingga demam (Taylor et al. 2007). Waktu yang diperlukan Babesia sp.dari mulai menginfeksi sampai terlihat diperedaran darah adalah 7-10 hari (Schuster 2002). 
Pada tahun 1957 terjadi kasus pertama Babesiosis pada manusia yaitu pada peternak sapi di Yugoslovakia. Kasus pertama yang dilaporkan di Amerika yaitu di Massachussettes tahun 1969 ditemukan infeksi Babesia microti pada manusia di kepulauan Nantucket (Massachusetts, Amerika Serikat). Kejadian Babesiosis di Amerika sesuai dengan tempat penyebaran caplak (tick) yaitu arthropoda pengisap darah yang endemis di daerah tersebut, serta di sebelah selatan Connecticutt, juga pernah dilaporkan dari Wisconsin dan Minnessota. Caplak biasanya menghisap darah rusa, manusia atau hewan lain, caplak ini menularkan parasit Babesia selanjutnya akan memasuki butir eritrosit (intraerythrocytic protozoa) seperti parasit malaria (Lubis 2006). Adapun siklus hidup Babesia dijelaskan melalui gambar 2 berikut.







Gambar 2  Siklus hidup Babesia microti yang terdiri dari merogoni, gametogoni/gamogony, dan sporogoni
 (Hunfeld et al. 2008)




Pencegahan dan Kontrol Penyakit

Kontrol terhadap babesiosis yang selama ini telah dilakukan ialah melalui kombinasi antara kontrol terhadap penyakit dan juga pada vektor caplak. Kontrol terhadap caplak dilakukan dengan spray dan dipping yang banyak dilakukan di area endemik. Akarisida yang digunakan seperti komponen pyrethoids, amitraz, dan beberapa organophosphate. Dipping yang dilakukan pada area terinfeksi berat, pada periodik 4-6 minggu sekali. 
Selain metode spray dan dipping, pemberian vaksin untuk mencegah babesiosis juga dapat digunakan dan efektifitasnya cukup tinggi. Vaksinasi menggunakan parasit hidup yang dilemahkan berhasil dilakukan pada beberapa negara seperti Argentina, Brazil, Israel, Afrika Selatan, dan Uruguay. Selain itu, berbagai obat telah digunakan untuk mengobati babesiosis di masa lalu, tetapi hanya diminazene aceturate dan imidocarb dipropionat yang masih umum digunakan. Untuk mengobati ternak, diminazene diberikan secara IM dengan dosis 3-5 mg / kg BB. Untuk pengobatan, imidocarb diberikan SC dengan dosis 1,3 mg / kg BB. Pada dosis 3,0 mg / kg BB, imidocarb memberikan perlindungan dari Babesiosis untuk 4 minggu dan juga akan menghilangkan B. bovis dan B. bigemina dari hewan pembawa. Long-acting tetrasiklin (20 mg / kg BB) dapat mengurangi keparahan babesiosis jika pengobatan dimulai sebelum atau segera setelah infeksi. Terapi suportif disarankan, terutama pada ternak piaraan diberikan penggunaan obat anti-Inflamasi, antioksidan, dan kortikosteroid (Aiello dan Moses  2011). 
Pada manusia, babesiosis yang umumnya disebabkan oleh Babesia microti muncul sebagai infeksi dengan gejala klinis yang mirip dengan malaria. Infeksi ini biasanya sembuh secara spontan atau setelah pemberian azitromisin ditambah atovaquone atau klindamisin yang ditambah kina selama 7-10 hari. Namun demikian, Wormser et al. (2010) menyatakan bahwa B. microti dapat menjadi resisten terhadap azitromisin-atovaquone selama masa pengobatan yang diberikan dalam kombinasi dan jumlah yang besar terutama pada pasien dengan kasus  immunocompromised. Oleh karena itu para ahli kesehatan berupaya mencari alternatif pengobatan dari sumber alami untuk mencegah terjadinya resistensi Babesia.


Pengendalian Babesiosis dengan Obat Alami

Babesia diklasifikasikan sebagai parasit apicomplexan yang ditransmisikan oleh caplak ixodida dan infeksi pada inang menyebabkan terjadinya lisis pada eritrosit yang berakibat pada terjadinya kondisi anemia, hyperbilirubinuria, hemoglobinuria, dan kemungkinan besar terjadinya kegagalan multiorgan. Gejala klinis yang dihasilkan oleh infeksi Babesia microti pada manusia hampir secara umum mirip dengan gejala yang dihasilkan oleh penyakit malaria yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum. Kesamaan dari dua penyakit ini terletak pada aktivitas patogenik dari kedua protozoa (Plasmodium falciparum dan Babesia microti) yang menyebabkan lisis eritrosit dan menyebabkan kondisi anemia. Berdasarkan kesamaan ini, banyak peneliti memperkirakan bahwa komponen antibabesia dapat diisolasi dari ekstrak tumbuhan yang juga digunakan untuk mengobati malaria. 
Pada umumnya, sebagian besar tanaman di Indonesia secara tradisional sering digunakan sebagai agen antiparasit, misalnya pada kasus parasit plasmodium penyebab malaria (Elfahmi et al. 2008). Ekstrak metanol yang dibuat dari kulit batang Alstonia scholaris, A. macrophylla, dan A. glaucescense telah dinilai memiliki aktivitas antiplasmodial dan dapat menjadi alternatif untuk melawan resisten yang telah terjadi pada strain K1. Seperti halnya Plasmodium falciparum, parasit Babesia sp. juga hidup dan berkembangbiak dalam eritrosit manusia. Ekstrak tumbuhan tersebut mengandung alkaloid indol aktif yang berbeda dengan klorokuin, namun ternyata memiliki afinitas signifikan yang tinggi sebagai antiprotozoa. Adapun bentuk Alstonia scholaris dan A. macrophylla dapat dilihat pada gambar 3 berikut.

   
Gambar 3  A). Alstonia scholaris dan B) A. macrophylla (Khyade et al.  2014)

Selain itu, ekstrak 1,2-Dihidroksi-6,8-dimetoksi-santon yang diisolasi dari Andrographis paniculata atau yang dikenal sebagai tanaman Sambiloto telah diuji terhadap parasit intraseluler. Pengujian in vivo dari ekstrak tanaman ini menyebabkan terjadinya penurunan (62%) parasitemia setelah diaplikasikan pada tikus Swiss Albino yang diinduksi parasit intraseluler. Tanaman A. paniculata diketahui mengandung lebih dari 20 jenis diterpenes, lactones, dan lebih dari 10 jenis flavonoid (Chao dan Lin 2010). Flavonoid banyak ditemukan pada bagian akar dan juga dapat diisolasi dari bagian daun. Akbar (2011) menyatakan bahwa ekstak metanol dari tanaman ini secara signifikan dapat menghambat parasit darah sebanyak 50% pada inhibitory concentration (IC50) sebesar 7.2 µg/mL. Empat kandungan lain yaitu xanthones – 1,8-dihydroxy-3,7-dimethoxyxanthone, 4,8-dihydroxy-2,7-dimethoxyxanthone, 1,2-dihydroxy-6,8- dimethoxyxanthone, dan 3,7,8-trimethoxy-1- hydroxy-xanthone yang diisolasi dari bagian akar  juga menunjukkan aktivitas antiprotozoa. Adapun tanaman Andrographis paniculata dapat dilihat pada gambar 4 berikut.

 Gambar 4  Tanaman Andrographis paniculata atau Sambiloto 

Tanaman obat lain yang sering digunakan untuk mengobati kasus Babesiosis yaitu Swietenia macrophylla atau yang dikenal dengan nama Mahoni di Indonesia. Kandungan flavonoid, alkaloid, tannin, dan triterpenoid merupakan sumber yang banyak ditemukan pada tanaman obat seperti S. macrophylla yang terutama banyak mengandung triterpenoid dan limonoid beserta turunannya dari hasil ekstraksi buahnya. Limonoid yang berasal dari tetracyclic triterpen mirip dengan euphol (H-20b) dengan serangkaian perubahan pada rantai oksidatif pada furan cincin-b yang diganti oleh hilangnya empat atom karbon, bersama dengan beberapa penyusun ulang molekul. Selain kemampuan sebagai antibabesia, tanaman ini juga memiliki kemampuan sebagai antioksidan, antimikroba, antiinflammasi, anti-HIV, antiulcer, antifungal dan antidiare (Eid et al. 2013). Adapun gambaran tanaman  Swietenia macrophylla dapat dilihat pada gambar 5 berikut.


Gambar 5 Pohon Swietenia macrophylla (Krisnawati et al.  2011) 

Ekstrak kulit dari Carica papaya dan Citrus sinensis juga menunjukkan aktivitas antiparasit intraseluler pada pengujian in vitro. Selain itu, banyak screening test terhadap ekstrak tumbuhan yang secara tradisional telah digunakan untuk pengobatan malaria di Jawa memilliki aktivitas antimalaria dan antibabesia yang tinggi. Tumbuhan tersebut termasuk Achillea millefolium (Daun Seribu), Baeckea frutenscens (Ujung Atap), Brucea javanica (Buah Makasar), Curcuma xanthorrhiza (Temulawak), Strychnos lucida, dan Phyllantus niruri (Meniran) (Murnigsih et al. 2005). 

 SIMPULAN

Infeksi Babesia microti pada manusia melalui gigitan caplak dan transfusi darah merupakan penyebab terjadinya kasus babesiosis pada berbagai wilayah di dunia. Berbagai upaya telah dilakukan sebagai upaya pengendalian antara lain dengan kombinasi antara kontrol penyakit menggunakan obat-obatan dan kontrol pada vektor caplak. Namun demikian, banyak antiparasit yang digunakan selama menyebabkan terjadinya resistensi sehingga tidak efektif dalam penanggulangan infeksi. Oleh karena itu mulai dikembangkan antiprotozoa alami yang berasal dari tumbuhan. Berbagai penelitian menunjukkan terdapat banyak tumbuhan yang memiliki aktivitas antiprotozoa dan berpotensi untuk lebih dikembangkan sehingga dapat digunakan dalam upaya pengendalian infeksi Babesia microti.


DAFTAR PUSTAKA

Aiello SE, Moses MA. 2011. Babesiosis. Di dalam: Jorgensen WK, editor. The Merk Veterinary Manual.Ed ke-10. [Internet]. [diunduh pada 5 Januari 2016]. Tersedia pada: http://www.merckmanuals.com/vet/circulatory_system/blood_parasites/babesiosis.html.
Akbar S. 2011. Andrographis paniculata: A Review of Pharmacological Activities and Clinical Effects. Alternative Med. Rev. 16(1):66-77.
Bock R, Jackson L, De Vos A, Jorge W. 2004. Babesiosis or cattle. Parasitol. 124:247-269.
Chao W, Lin B. 2010. Review Isolation and identification of bioactive compounds in Andrographis paniculata (Chuanxinlian). Chinese Med. 5:1-15.
Eid AMM, Elmarzugi NA, El-Enshasy HA. 2013. A Review on The Phytopharmacological Effect of Swietenia Macrophylla. Int. J. Phar. Pharmac. Sci. 5(3):47-53.
Elfahmi KR, Bos R, Kayser O, Woerdenbag HJ, Quax WJ. 2008. Jamu: The Indonesian traditional herbal medicine. Dalam Phytochemical and biosynthetic studies of lignans: With a focus on Indonesian medicinal plants. (pp. 13-34).
Hildebrandt A, Hunfeld KP, Baier M, Krumbholz A, Sachse S, Lorenzen T, Kiehntopf M, Fricke  HJ, Straube E. 2007. First confirmed autochthonous case of human Babesia microti infection in Europe. Eur. J. Clin. Microbiol. Infect. Dis. 26:595–601.
Homer MJ, Delfin IA, Telford III SR, Krause PJ, Persing DH. 2000. Babesiosis. Clin. Microbiol. Rev. 13(3):45.
Hunfeld KP, Hildebrandt A, Gray JS. 2008. Babesiosis: Recent insights into an ancient disease. Int. J. Parasit.  38:1219–1237.
Joseph JT, Purtill K, Wong SJ, Munoz J, Teal A, Madison-Antenucci S, Horowitz HW, Aguero-Rosenfeld ME,  Moore JM, Abramowsky C, Wormser GP. 2012. Vertical Transmission of Babesia microti, United States. Emerg. Infect.Dis.8(8):1318-1321.
Khyade MS, Kasote DM, Vaikos NP. 2014. Alstonia scholaris (L.) R. Br. and Alstonia macrophylla Wall. ex G. Don: A comparative review on traditional uses, phytochemistry and pharmacology. J Eth. 153(1):1–18.
Krisnawati H, Kallio M, Kanninen M. 2011. Swietenia macrophylla King Ecology, silviculture and productivity. Bogor (ID): CIFOR.
Lubis FY. 2006. Babesiosis (Piroplasmosis). Cermin Dunia Kedokteran 152:27-29.
Murnigsih T, Subeki, Matsuura H, Takahashi K, Yamasaki M, Yamato O, Maede Y, Katakura K, Suzuki M, Kobayashi S, Chairul,Yoshihara T. 2005. Evaluation of the inhibitory activities of the extracts of Indonesian traditional medicinal plants against Plasmodium falciparum and Babesia gibsoni. J. Vet. Med. Sci. 67(8):829-31.
Oka IBM. 2010. Ilmu Penyakit Parasitik Protozoa. Bali (ID): Udayana press.
Schuster FL. 2002. Cultivation of Babesia and Babesia-Like Blood Parasites: Agents of an Emerging Zoonotic Disease. Clin. Microbiol. Rev. 15(3):365-373.
Taylor MA, Coop RL, Wall RL. 2007. Veterinary Parasitology. 3th Edition. Hongkong (HG): Graphicraft Limited.
Uilenberg G. 2006. Babesia Historical Overview. Vet. Parasit. 138:2‒10.
Wormser GP,  Prasad A, Neuhaus E, Joshi S, Nowakowski J, Nelson J, Mittleman A,  Aguero-Rosenfeld M, Topal J, Krause PJ. 2010. Emergence of Resistance to Azithromycin-Atovaquone in Immunocompromised Patients with Babesia microti Infection. Clin. Infect. Dis. 50(3):381-386.



1 komentar:

  1. Iron Stitch Stitch Stitch Stitch Stitch | Titanium Arts
    Iron Stitch titanium 4000 Stitch samsung titanium watch Stitch titanium body armor Stitch Stitch Stitch Stitch Stitch Stitch Stitch Stitch Stitch Stitch citizen titanium dive watch Stitch Stitch Stitch Stitch Stitch Stitch Stitch Stitch Stitch titanium easy flux 125 amp welder Stitch Stitch Stitch Stitch Stitch

    BalasHapus