Halo pembaca yang setia,
Keamanan
pangan merupakan salah satu hal penting dalam kesehatan masyarakat terutama
berkaitan dengan produk pangan asal hewan.
TAPI.............
Tahukah Anda, bahwa masalah
keamanan pangan sebenarnya dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi sejak peternakan
sampai tiba di meja makan (from farm to table)
serta pada hal-hal yang berkaitan dengan alur pengolahan produk??
Kali ini saya akan bahas sedikit mengenai produk hewan yang seringkali kita konsumsi, yaitu susu.
Susu segar merupakan bahan pangan yang sangat tinggi
gizinya, bukan saja bagi manusia dan hewan, tetapi juga mikroorganisme
(Rasolofo et al. 2011). Penanganan yang baik diperlukan untuk
memperoleh susu segar yang aman dikonsumsi. Program peningkatan produksi susu
dan produk olahannya harus sejalan dengan peningkatan mutu dan keamanan pangan.
Salah satu
faktor penting yang mendukung terciptanya keamanan pangan adalah kondisi
sanitasi dan higiene pengolahan pangan. Secara alami mikroorganisme
dapat ditemukan dalam susu, tetapi jumlah mikroorganisme akan bertambah seiring
dengan adanya kontaminasi dari tangan dan baju pemerah, kandang, peralatan
dalam proses pemerahan susu, dan penyakit tertentu pada hewan (Jorgensen et
al. 2005). Jumlah mikroorganisme dapat meningkat mencapai 100 kali lipat
atau lebih dari jumlah mikroorganisme awal saat susu disimpan pada suhu 25 ºC
dalam waktu yang lama. Peningkatan jumlah mikroorganisme tersebut kurang dari 1000
sel per ml pada susu yang berasal dari ambing yang sehat (Chye et al. 2004).
Kontaminasi bakteri dimulai saat pemerahan dan dapat berkembang menjadi dua
kali lipat setiap setengah jam pada suhu 25 ºC dan pH 6.0-6.5 (Millogo et al.
2010).
Susu
merupakan bahan pangan yang mudah rusak dan mudah terkontaminasi bakteri
sehingga dapat menyebabkan susu menjadi tidak dapat diolah lebih lanjut atau
bahkan tidak layak lagi dikonsumsi oleh manusia (Jay et al. 2005).
Kualitas susu ditentukan oleh beberapa faktor salah satunya ialah faktor kebersihan
lingkungan yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi
kualitas produk yang dihasilkan. Kualitas susu merupakan hal yang sangat
penting dalam rangka penyediaan susu dan hasil olahannya yang sehat untuk
konsumen. Dalam upaya menjamin kesehatan konsumen untuk mendapatkan susu
berkualitas baik, maka diperlukan standar yang mengatur syarat–syarat, tata
cara pengawasan dan pemeriksaan kualitas susu produksi dalam negeri. Sampai
saat ini di Indonesia menggunakan Standar Nasional Indonesia No. 01–3141–2011,
tentang Susu Segar. Dalam standar tersebut, persyaratan jumlah total bakteri
dalam susu segar maksimun 106 cfu/ml.
Penanganan
susu yang tidak baik dapat mengakibatkan susu akan lebih cepat rusak. Namun, kontaminasi
mikroorganisme pembusuk seperti Alcalines
faecalis dalam susu seringkali tidak diperhitungkan oleh konsumen karena
tidak banyak menimbulkan kasus yang fatal. Padahal, keberadaan bakteri Alcalines faecalis di dalam susu
menunjukkan telah terjadi kontaminasi karena perlakuan sanitasi yang tidak baik
selama persiapan produk maupun pengolahan karena bakteri ini pada umumnya dapat
ditemukan dalam permukaan tanah dan air serta dapat pula diisolasi dari urin,
feses, dan darah (Kavuncuoglu et al. 2010).
Baiklah, sebelum lanjut ke pembahasan, ada baiknya kita pahami hal-hal mendasar tentang susu.
Karakteristik Susu
Menurut Badan Standarisasi Nasional (2011) tentang
Susu Segar, definisi susu segar (raw milk) adalah cairan yang berasal
dari ambing sapi sehat dan bersih, yang diperoleh dengan cara pemerahan yang
benar, yang kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan
belum mendapat perlakuan apapun kecuali pendinginan. Susu
merupakan produk pangan bernutrisi tinggi sehingga sangat baik untuk kesehatan manusia dan hewan. Susu sering dimanfaatkan sebagai media pertumbuhan
mikroorganisme baik bersifat pembusuk maupun patogen karena kandungan
nutrisinya (Hill et al. 2012).
Menurut Walstra
et al. (2006), susu sapi mengandung
air sebanyak 87.1%, laktosa 4.6%, lemak 4%, protein 3.3%, mineral 0.7%, kalsium
210 mg, dan energi sebanyak 117 kkal. Laktosa merupakan karbohidrat utama yang
terdapat pada susu yang terdiri dari glukosa dan galaktosa. Kandungan terbesar
kedua yaitu lemak. Kandungan lemak pada susu sangat bergantung pada faktor
hewan dan faktor makanan. Faktor hewan yang mempengaruhi kandungan lemak pada
susu antara lain genetik, periode laktasi, fermentasi di rumen, dan keberadaan
infeksi pada ternak. Protein susu terdiri dari 80% kasein. Protein lain yang
terdapat pada susu adalah serum protein yang terdiri dari α-lactalbumin,
β-lactoglobulin, serum albumin, immunoglobulin, dan enzim (Claeys et al. 2013). Mineral yang terkandung
pada susu antara lain K, Na, Ca, Mg, Cl, dan phospat. Sedangkan vitamin yang
terkandung pada susu antara lain A, B1, B2, B3, B5, B6, B12, C, D, dan E. Susu
memiliki aw 0.99 dengan pH berkisar 6.4 hingga 6.6. Nilai
aw, pH, dan
kandungan nutrisi yang banyak pada susu menyebabkan susu menjadi media yang baik
untuk pertumbuhan bakteri.
Pencemaran Susu
Pencemaran
pada susu dapat terjadi akibat adanya agen kimia, fisik, dan biologis yang
dapat merugikan dan membahayakan konsumen. Salah satu kontaminasi biologis
adalah keberadaan mikroorganisme pencemar. Keberadaan mikroorganisme pencemar baik bersifat
pembusuk maupun patogen pada susu dapat mengakibatkan kerusakan susu,
menimbulkan penyakit (terutama penyakit saluran pencernaan) bahkan keracunan
bagi manusia (Oliver
et al. 2005). Bakteri pembusuk mengakibatkan penuruan
kualitas susu dan memperpendek daya simpan, sedangkan bakteri patogen
mengakibatkan gangguan kesehatan bagi konsumen akibat mengonsumsi susu.
Mutu mikrobiologik susu ditentukan oleh jumlah dan
jenis mikroorganisme yang ada dalam susu, yang secara langsung akan
mempengaruhi daya simpan dan kelayakan produk untuk dikonsumsi (Handayani &
Purwanti 2010). Mikroorganisme tersebut juga dapat menyebabkan penurunan masa
kadaluarsa produk olahan susu. Jumlah dan jenis mikroorganisme dipengaruhi oleh
faktor-faktor seperti lingkungan tempat pengolahan pangan asal hewan terutama
susu, kondisi sanitasi dan kondisi pengemasan serta penyimpanan pangan asal
hewan. Rofi’i (2009) menyatakan bahwa kemampuan mikroorganisme pencemar untuk
tumbuh dan melakukan aktivitas enzimatis dipengaruhi oleh suhu dan lama
penyimpanan susu.
Karakteristik
Bakteri Alcaligenes faecalis
sebagai Bakteri Pembusuk pada Susu
Pembusukan
pada susu dapat terjadi karena adanya proses pemecahan dari laktosa, senyawa
protein, asam lemak (jenuh), dan hidrolisis trigliserida. Susu yang mengalami
perlakuan pendinginan sesaat setelah pemerahan kemudian disimpan selama
beberapa hari maka proses pembusukan akan didominasi oleh bakteri Gram-negatif
berbentuk batang dan bersifat psikotropik, seperti Alcaligenes sp., Pseudomonas
sp., Flavobacterium spp., serta
beberapa jenis coliform. Adanya bakteri psikotropik dalam jumlah
besar dapat menyebabkan timbulnya berbagai macam bau dan kerusakan fisik pangan
(Dilbaghi &
Sharma 2007).
Alcaligenes sp. seringkali menjadi bakteri kontaminan pada pasca-pasteurisasi
sehingga dapat menyebabkan pembusukan pada susu pasteurisasi. Alcaligenes sp. merupakan spesies
bersifat laktosa-negatif yang akan memetabolisme senyawa protein sehingga dapat
mengubah rasa normal susu menjadi terasa pahit (Cempírková 2002). Tanda-tanda
pembusukan susu antara lain adanya perubahan rasa susu menjadi asam, susu
menggumpal, terbentuknya gas, terbentuknya lendir, adanya perubahan rasa
menjadi tengik, tumbuhnya kapang pada produk olahan susu. Bakteri Alcaligenes sp. merupakan bakteri
pembusuk namun dapat menjadi patogen dalam keadaan tertentu. Meskipun genus Alcaligenes
terdiri dari banyak spesies, namun kasus pencemaran
pada susu sering disebabkan oleh spesies Alcaligenes faecalis.
Alcaligenes faecalis merupakan bakteri Gram-negatif bersifat aerob dan
merupakan bakteri berbentuk batang tak berpigmen. Karakteristik ini
membedakannya dengan pseudomonas. Spesies ini bersifat motil dengan satu atau
lebih flagela. Bakteri dari famili Achromobacter ini tidak berkapsul, tidak membentuk spora,
dan tumbuh dengan lambat (Kavuncuoglu et al. 2010). Bakteri Alcaligenes faecalis
dapat umum ditemukan di lingkungan yaitu pada tanah dan air, serta dapat pula
ditemukan pada saluran pencernaan. Selain itu, bakteri ini dapat ditemukan pada
sampel dari darah, urin, dan feses (Latt et al. 2013).
Menurut Mordi et al. (2013), bakteri Alcaligenes faecalis bersifat oksidase, sitrat, dan katalase
positif dan mampu menurunkan urea dan memproduksi amonia yang meningkatkan pH
lingkungan. Alcaligenes sp. memiliki
enzim lipolitik, seperti lipase, yang menghidrolisis
trigliserida menjadi asam lemak dan gliserol. Pemecahan asam lemak bebas ini
akan menyebabkan perubahan rasa/tengik. Beberapa Alcaligenes sp. juga dapat menyebabkan kekentalan (sliminess) karena memproduksi
polisakarida yang kental.
Gambar 1 Alcaligenes faecalis memiliki pinggiran irregular, perlekatan, kental, sudut
elevasi yang datar (Pathak & Bhatnagar 2011).
Sumber
Kontaminasi Alcaligenes faecalis
Sejak
dimulainya reformasi teknologi pada penyimpanan susu yaitu berupa proses
pendinginan dan penyimpanan dingin pada susu segar, kualitas mikrobiologis susu
menjadi lebih baik. Pengasaman susu mentah yang disebabkan oleh bakteri asam
laktat terutama dan bakteri mesofilik mulai berkurang. Namun waktu penyimpanan susu
segar yang diperpanjang pada suhu rendah (2-6 ° C) memiliki pengaruh signifikan
terhadap munculnya populasi mikroba lain. Susu segar yang dahulu didominasi
oleh pencemaran Gram-positif mesofilik dan bakteri aerobik digantikan oleh
Gram-negatif dan bakteri Gram-positif psikotropik. Dominasi bakteri psikotropik
lebih jelas ditemukan saat susu diolah dalam kondisi kebersihan yang buruk.
Mikroorganisme
psikotropik seperti Alcaligenes faecalis memiliki peran besar dalam
kontaminasi susu segar, karena bakteri ini mampu berkembang biak tidak hanya di
moderat (25-30˚C), tetapi juga pada suhu rendah (7-10˚C). Hal demikian
menjelaskan mengapa proses pendinginan pada susu tidak dapat mencegah
perkembangan mikroorganisme ini. Keberadaan bakteri Alcaligenes faecalis yang umum ditemukan di
lingkungan tanah dan air sehingga pencemaran dapat terjadi melalui air yang
digunakan untuk pembersihan dan sanitasi peralatan pemerahan, perkakas rumah
tanggas dan juga tempat tidur, serta kulit binatang (Olga & Mariia 2011). Hal demikian
menggambarkan bahwa kemungkinan pencemaran Alcaligenes faecalis
pada susu dapat terjadi berkaitan erat dengan kondisi sanitasi kandang,
peralatan kandang, lingkungan sekitar kandang, serta terutama higine personal
pekerja kandang saat proses perlakuan susu.
PEMBAHASAN
Kualitas
akhir susu dipengaruhi oleh jumlah mikroorganisme awal, kondisi pengolahan, dan
pencemaran yang terjadi setelah pengolahan. Kualitas susu
merupakan hal yang sangat penting dalam rangka penyediaan susu dan hasil
olahannya yang sehat untuk konsumen. Mikroorganisme pencemar susu umumnya
dapat dengan mudah ditemukan pada tanah, air, dan udara. Selain berpengaruh
pada kualitas susu,
pencemaran oleh mikroorganisme juga merupakan bahaya bagi keamanan pangan
terkait dengan kesehatan masyarakat. Hal ini dikarenakan keberadaan
mikroorganisme pencemar baik bersifat pembusuk maupun patogen pada susu dapat
mengakibatkan kerusakan susu, dan dapat menimbulkan penyakit terutama berkaitan
dengan saluran pencernaan bahkan dapat mengakibatkan keracunan bagi manusia
yang mengkonsumsinya.
Mutu
mikrobiologik susu ditentukan oleh jumlah dan jenis mikroorganisme yang ada
dalam susu, yang secara langsung akan mempengaruhi daya simpan dan kelayakan
produk untuk dikonsumsi. Bakteri
Alcaligenes faecalis merupakan bakteri pencemar susu yang
bersifat psikotropik
yang mampu hidup dan berkembang tidak hanya pada suhu moderat (25-30˚C), tetapi
juga pada suhu rendah (7-10˚C). Oleh karena itu, bakteri ini dapat menjadi
ancaman terbesar pada produk susu terutama susu dalam pengemasan pada kondisi
dingin yang memiliki masa penyimpanan panjang serta susu pasteurisasi yang
umumnya hanya membutuhkan sedikit atau bahkan tidak membutuhkan pemanasan
kembali sebelum dikonsumsi. Menurut Hutagaol (2013), proses
pasteurisasi cukup efektif untuk mengurangi jumlah mikroorganisme pada susu.
Namun demikian, risiko pencemaran pada susu tidak berhenti pada proses ini. Keberadaan
bakteri Alcaligenes faecalis pada susu justru seringkali
disebabkan oleh pencemaran pasca perlakuan pasteurisasi, karena pasca pasteurisasi
susu akan disimpan dalam kondisi rantai dingin padahal proses
pendinginan pada susu tidak dapat mencegah perkembangan mikroorganisme ini
(Samaržija et al. 2012). Pada
industri susu dalam skala besar, apabila bakteri ini mencemari cold storage dimana susu disimpan dalam
volume besar maka akan sangat merugikan apabila susu menjadi rusak.
Kasus
pencemaran susu oleh bakteri Alcaligenes faecalis belum banyak dilaporkan, terutama di Indonesia.
Padahal pencemaran produk susu oleh bakteri ini dapat merusak susu dan
mengurangi mutu dan kualitas susu sehingga berkaitan dengan nilai ekonomi dari
penjualan susu. Pada beberapa kasus, bakteri Alcaligenes sp. bahkan dapat menjadi patogen bagi masyarakat. Kim et al. (2008) menyatakan bahwa strain
dari Alcaligenes sp. menyebabkan
infeksi pembuluh darah pada penderita
immunocompromised. Kavuncuoglu et al.
(2010) menyatakan bahwa bakteri Alcaligenes faecalis menjadi penyebab
dari peritonitis dan penyakit lain seperti meningitis, peritonitis, enteric
fever, appendicitis, cystitis, chronic suppurative otitis media, abscesses,
arthritis, pneumonitis, dan endocarditis namun jarang terjadi.
Cleto
et al. (2012) dalam penelitiannya
menyatakan bahwa bakteri Alcaligenes sp. menempati urutan kelima dari bakteri pencemar
yang ditemukan pada peralatan processing susu setelah Pseudomonas spp. (37%); Staphylococcus (20%); Serratia
spp. (16%), dan Stenotrophomonas
sp. (15%). Kemungkinan lain pencemaran Alcaligenes sp. juga terjadi dalam saluran
pengolahan susu yang terkontaminasi oleh hewan atau pakan hewan. Selain itu
dapat pula ditemukan pada tanki pengumpulan susu yang selalu berada pada suhu
4ºC.
Olga dan Mariia
(2011) dalam penelitiannya menyatakan bahwa bakteri psikotropik memiliki
proporsi besar dari susu yang diperoleh dari perlakuan tradisional. Alcaligenes
sp. ditemukan sebanyak 25,50 % dari total bakteri dengan sifat
psikotropik. Bakteri pasikotropik dapat menyebabkan kualitas susu menjadi buruk
apabila jumlah bakteri ini 100 × 103 sel/cm3. Buruknya
kualitas susu segar akan berpengaruh pada pengolahan selanjutnya yaitu keju dan
susu kemasan.
Vasut dan Robeci (2009) menyatakan bahwa bakteri dengan sifat psikotropik
memiliki kemampuan untuk memproduksi dan memecahkan lipase serta menghidrolisis
lemak. Konsekuensi dari aktivitas lipolitik dari bakteri ini mneyebabkan
perubahan pada organoleptik susu. Sifat inilahyang juga dimiliki oleh Alcaligenes faecalis. Alcaligenes
sp. memiliki enzim lipolitik, seperti lipase, yang menghidrolisis trigliserida menjadi asam
lemak dan gliserol. Pemecahan asam lemak bebas ini akan menyebabkan perubahan
rasa/tengik. Beberapa Alcaligenes
sp. juga dapat menyebabkan kekentalan (sliminess)
karena memproduksi polisakarida yang kental. Selain itu, bakteri ini
memproduksi amonia sehingga mempengaruhi susu menjadi berbau busuk dan
kemampuannya meningkatkan pH sehingga susu menjadi asam. Hal ini menurunkan
cita rasa susu serta kualitas susu secara keseluruhan. Kondisi ini diperburuk
dengan kemampuan Alcaligenes faecalis
dapat bertahan pada setiap musim dimana bakteri lain tidak toleran terhadap
perubahan musim (Prakashveni & Jagadeesan 2012).
Pada
umumnya, bakteri Alcaligenes faecalis dapat
ditemukan di lingkungan yaitu pada tanah dan air, serta dapat pula ditemukan
pada saluran pencernaan. Dengan demikian, apabila bakteri ini dapat ditemukan
pada susu mengindikasikan bahwa higiene dan sanitasi selama proses perlakuan
dan pengolahan susu tidak terlaksana dengan baik. Kondisi ini sekaligus
menggambarkan kemungkinan pencemaran Alcaligenes faecalis pada susu dapat
terjadi berkaitan erat dengan kondisi sanitasi kandang, peralatan kandang,
lingkungan sekitar kandang, serta terutama higine personal pekerja kandang saat
proses perlakuan susu. Hal ini didukung oleh Samaržija et al. (2012) bahwa sumber
pencemaran dari bakteri psikotropik berasal dari air
buangan peralatan pemerahan susu, saluran air, ambing dan puting yang kotor dan
tidak bersihnya permukaan dari peralatan dan perlengkapan pengolahan susu
dimulai dari penerimaan, transportasi hingga penyimpanan.
Tindakan pencegahan dan pengendalian
terhadap pencemaran dari Alcaligenes faecalis dapat dilakukan dengan melihat
berbagai aspek kemungkinan pencemaran terjadi yaitu dimulai dari aspek peternakan,
pekerja yang menangani susu, serta pengolahan yang dilakukan pada susu untuk
mengurangi kontaminasi. Penerapan higiene dan sanitasi juga merupakan bagian
yang sangat penting untuk diterapkan pada personal pekerja, saat proses, maupun
pada peralatan. Sanitasi lingkungan pengolahan susu ikut memegang peranan penting
karena kemampuan bakteri ini untuk bertahan
di lingkungan air dan tanah.
Aturan
utama yaitu menghindari paparan air pada produk susu. Seringkali di peternakan
para peternak hanya membersihkan wadah penampung susu dengan air sementara
tidak diketahui bagaimana status mikrobiologi dari air yang digunakan sehingga
justru menjadi sumber pencemaran. Air
yang digunakan untuk pemerahan sebaiknya air yang telah mendapatkan perlakuan
untuk mengeliminasi bakteri patogen yang terdapat pada air tersebut. Tindakan
klorinisasi air dapat dilakukan untuk mencegah kontaminasi.
Selain itu, upaya yang paling penting dapat
dilakukan yaitu melalui proses pasteurisasi. Pasteurisasi dapat dilakukan
dengan pemanasan 63°C selama
30 menit atau 72°C selama 15 detik. Tindakan
pasteurisasi pada susu harus dilakukan dengan sempurna untuk menjamin
mikroorganisme yang terdapat pada susu tersebut benar-benar mati. Proses
pasteurisasi yang tidak sempurna justru berisiko terhadap tetap bertahannya
bakteri-bakteri pembusuk pada susu. Namun harus dipastikan bahwa setelah itu
susu dikemas dalam kemasan steril dan selalu dipantau agar tidak mengalami
pencemaran kembali.
Seperti
dijelaskan diawal, bahwa Alcaligenes faecalis dapat ditemukan pada saluran pencernaan sehingga bakteri ini
dapat ditemukan pada feses sapi. Kontaminasi bakteri Alcaligenes faecalis dapat terjadi
akibat kontaminasi dari feses sapi. Oleh karena itu sangat diperlukan tindakan
higiene selama proses pemerahan untuk mengurangi kontaminasi feses selama
pemerahan. Tindakan ini dapat dilakukan dengan membersihkan ternak terlebih
dahulu sebelum pemerahan dilakukan. Selain itu desinfeksi puting juga dapat
dilakukan untuk mengurangi kontaminasi selama pemerahan.
Peralatan pemerahan juga merupakan
salah satu sumber pencemaran. Oleh karena itu diperlukan tindakan desinfeksi pada
peralatan sebelum pemerahan dilakukan untuk mempertahankan higiene peralatan.
Penerapan tindakan higienis selama produksi, pemprosesan, dan penyimpanan
memegang peranan penting untuk mencegah kontaminnasi. Penerapan sanitasi yang
ketat di peternakan, tempat pemprosesan, dan penyimpanan turut berperan
mengurangi risiko pencemaran Alcaligenes
faecalis.
Pencegahan dan pengendalian pencemara Alcaligenes faecalis
memerlukan tindakan monitoring dan surveilans rutin. Hal ini disebabkan oleh
kerugian yang mungkin muncul akibat kerusakan pada susu sehingga menurunkan
kualitas dan nilai ekonomi penjualan susu. Meskipun bakteri ini belum menjadi
fokus utama pada sejumlah perusahaan besar, namun tindakan ini diperlukan untuk
mengetahui sejauh mana kemungkinan pencemaran oleh bakteri pembusuk pada susu
dapat terjadi sehingga dapat meminimalkan risiko yang terjadi.
SIMPULAN
Alcaligenes
faecalissecara
alami terdapat di lingkungan yaitu pada air dan tanah serta dapat ditemukan
pada saluran pencernaan serta feses dan urin. Bakteri ini juga dan memiliki
kemampuan untuk hidup dan berkembang biak ini mampu berkembang biak tidak hanya
pada moderat, tetapi juga pada suhu. Bakteri ini dapat mengkontaminasi susu
berkaitan dengan pencemaran akibat pelaksanaan higiene sanitasi dari pekerja
dan peralatan pemerahan susu yang kurang baik.
Oleh
karena itu sangat penting untuk meningkatkan pengetahuan peternak dan
pihak-pihak terkait dengan proses pengolahan pasca pemerahan susu mengenai upaya-upaya keamanan pangan
serta pencemaran bakteri pembusuk yang mungkin terjadi saat pengolahan,
pengemasan, transportasi, penyimpanan produk susu. Selain itu dengan menerapkan
tindakan higiene produksi, higiene peralatan, higiene personal, dan sanitasi
kandang. Monitoring dan surveilans secara rutin juga dibutuhkan untuk mencegah
pencemaran bakteri pembusuk yang menurukan kualitas susu.
DAFTAR
PUSTAKA
[BSN]
Badan Standarisasi Nasional. 2011. Susu Segar. Jakarta: Badan
Standardisasi Nasional.
Cempírková R. 2002.
Psychrotrophic vs. Total
Bacterial Counts in Bulk Milk Samples. Vet. Med. – Czech, 47, 2002
(8): 227–233.
Chye FY,
Abdullah A, Ayob MK. 2004. Bacteriological quality and safety of raw milk in
Malaysia. Food Microbiol 131: 30-39.
Cleto S,
Matos S, Kluskens L, Vieira MJ. 2012.
Characterization of Contaminants from a Sanitized Milk Processing Plant. LoS ONE 7(6): e40189.
Dilbaghi N,
Sharma S. 2007. Food spoilage, food
infections and intoxications caused by microorganisms and methods for their
detection. International
Journal of Food. Microbiology (8):
121–132.
Handayani KS, Purwanti M. 2010. Kesehatan ambing dan
higiene pemerahan di peternakan sapi perah Desa Pasir Buncir, Kecamatan
Caringin. J Penyuluh Per 5(1):47–54.
Hill B,
Smythe B, Lindsay D, Shepherd J. 2012. Microbiology of raw milk in New Zealand.
Int J Food Microbiol.
157(2):305-8.
Hutagaol FVA. 2013.
Kualitas Mikrobiologis Susu
Sebelum dan Sesudah Pasteurisasi [Skripsi]. Bogor : Fakultas Kedokteran
Hewan Institut Pertanian Bogor.
Jørgensen
HJ, Mørk T, Rørvik LM. 2005. The occurrence of Staphylococcus aureus on
a farm with small scale production of raw milk cheese. Journal of Dairy
Science 88:3810-3817.
Kavuncuoglu
F, Unal A, Oguzhan N, Tokgoz B, Oymak O, Utas C. 2010. First Reported Case of
Alcaligenes faecalis Peritonitis. Peritoneal Dialysis International, Vol. 30,
pp. 112–121.
Kim MJ, Bancroft E, Lehnkering E, Donlan RM, Mascola
L. 2008. Alcaligenes xylosoxidans Bloodstream Infections in Outpatient Oncology
Office. Emerging
Infectious Diseases Vol. 14, No. 7, July 2008.
Latt ZK, Yu SS, Lynn TM.
2013. Enhancement of Cellulolytic Nitrogen Fixing Activity
of Alcaligenes sp. by MNNG Mutagenesis. International
Journal of Innovation and Applied Studies Vol. 3 No. 4 Aug.
2013, pp. 979-986.\
Millogo
V, Sjaunja S, Ouédraogo GA, Agenäs S. 2010. Raw milk hygiene at farms,
processing units and local markets in Burkino Faso. Food Control 21:
1070–1074.
Mordi RM, Yusuf EO, Onemu
SO, Igeleke CL, Odjadjare EE. 2013. The Prevalence Of Alcaligenes Faecalis in
Bacteremia, Meningitis and Wound Sepsis in a Tertiary Health Care Institutions
in Western Part of Nigeria. The
International Journal of Biotechnology 2013:2(7):123-129.
Olga
Y, Mariia G. 2011. Contamination of Bulk Milk by Psychrotrophic
Microorganisms’ During Milking and Milk Processing . web.nubip.edu.ua/index.php/ebql/article/.../pdf. [Diakses pada 11
November 2014].
Oliver SP, Jayarao BM, Almeida RA. 2005. Foodborne
pathogens in milk and dairy farm environtment: food safety and public health
implications. Foodborne Pathogens and Disease 2:115-129.
Jay JM, Loessner MJ, Golden DA. 2005. Modern Food
Microbiol. Ed. Ke-7. California (US): Business Media Inc.
Pathak
H, Bhatnagar K. 2011. Alcaligenes-The
4T Engine Oil Degrader. J Bioremed
Biodegrad 2011, 2:4.
Rasolofo EA, St-Gelais D, Lapointe G, Roy D. 2011.
Molecular analysis of bacterial population structure and dynamics during cold
storage of untreated and treated milk. International Journal of Food
Microbiology 28:465-471.
Samaržija D,
Zamberlin S, Pogačić T. 2012. Psychrotrophic
bacteria and milk quality, Mljekarstvo 62 (2), 77-95 (2012).
[SNI] Standar
Nasional Indonesia. 2011. N0. SNI 01–3141–2011. Susu Segar. Jakarta :
Badan Standarisasi Nasional.
Prakashveni R, Jagadeesan
M. 2012. Isolation identification and distribution of bacteria in Dairy
Effluent. Adv. Appl. Sci. Res.,
2012, 3(3):1316-1318.
Rofi’i K. 2009. Hubungan Antara Jumlah Total Bakteri
dan Angka Katalase Terhadap Daya Tahan Susu [Skripsi]. Bogor : Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
VASUT RG, ROBECI MD. 2009. Food Contamination with
Psyhcrophilic Bacteria. Lucrări
Stiinłifice Medicină Veterinară VOL. XLII (2), 2009.
Walstra P, Wouters
JTM, Geurts TJ. 2006. Dairy Science and
Technology. Edisi ke-2. London: Taylor & Francis Group.
Demikianlah sedikit pembahasann mengenai salah satu bakteri yang sering menjd agen pembusuk bagi susu yang sering kita konsumsi.
Jadi, sebaiknya segera tutup rapat ataupun habiskan susu yang Anda beli atau konsumsi agar tdk tercemar oleh bakteri pembusuk.
Semoga bermanfaat :)