About Me

test

Manusya Mriga Satwa Sewaka


Kamis, 25 Mei 2017

KEBERADAAN Alcaligenes faecalis SEBAGAI BAKTERI PEMBUSUK PADA PRODUK SUSU





Halo pembaca yang setia, 
Keamanan pangan merupakan salah satu hal penting dalam kesehatan masyarakat terutama berkaitan dengan produk pangan asal hewan. 
TAPI.............
Tahukah Anda, bahwa masalah keamanan pangan sebenarnya dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi sejak peternakan sampai tiba di meja makan (from farm to table) serta pada hal-hal yang berkaitan dengan alur pengolahan produk??

Kali ini saya akan bahas sedikit mengenai produk hewan yang seringkali kita konsumsi, yaitu susu.
Susu segar merupakan bahan pangan yang sangat tinggi gizinya, bukan saja bagi manusia dan hewan, tetapi juga mikroorganisme (Rasolofo et al. 2011). Penanganan yang baik diperlukan untuk memperoleh susu segar yang aman dikonsumsi. Program peningkatan produksi susu dan produk olahannya harus sejalan dengan peningkatan mutu dan keamanan pangan.

Salah satu faktor penting yang mendukung terciptanya keamanan pangan adalah kondisi sanitasi dan higiene pengolahan pangan. Secara alami mikroorganisme dapat ditemukan dalam susu, tetapi jumlah mikroorganisme akan bertambah seiring dengan adanya kontaminasi dari tangan dan baju pemerah, kandang, peralatan dalam proses pemerahan susu, dan penyakit tertentu pada hewan (Jorgensen et al. 2005). Jumlah mikroorganisme dapat meningkat mencapai 100 kali lipat atau lebih dari jumlah mikroorganisme awal saat susu disimpan pada suhu 25 ºC dalam waktu yang lama. Peningkatan jumlah mikroorganisme tersebut kurang dari 1000 sel per ml pada susu yang berasal dari ambing yang sehat (Chye et al. 2004). Kontaminasi bakteri dimulai saat pemerahan dan dapat berkembang menjadi dua kali lipat setiap setengah jam pada suhu 25 ºC dan pH 6.0-6.5 (Millogo et al. 2010).
Susu merupakan bahan pangan yang mudah rusak dan mudah terkontaminasi bakteri sehingga dapat menyebabkan susu menjadi tidak dapat diolah lebih lanjut atau bahkan tidak layak lagi dikonsumsi oleh manusia (Jay et al. 2005). Kualitas susu ditentukan oleh beberapa faktor salah satunya ialah faktor kebersihan lingkungan yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi kualitas produk yang dihasilkan. Kualitas susu merupakan hal yang sangat penting dalam rangka penyediaan susu dan hasil olahannya yang sehat untuk konsumen. Dalam upaya menjamin kesehatan konsumen untuk mendapatkan susu berkualitas baik, maka diperlukan standar yang mengatur syarat–syarat, tata cara pengawasan dan pemeriksaan kualitas susu produksi dalam negeri. Sampai saat ini di Indonesia menggunakan Standar Nasional Indonesia No. 01–3141–2011, tentang Susu Segar. Dalam standar tersebut, persyaratan jumlah total bakteri dalam susu segar maksimun 106 cfu/ml.
Penanganan susu yang tidak baik dapat mengakibatkan susu akan lebih cepat rusak. Namun, kontaminasi mikroorganisme pembusuk seperti Alcalines faecalis dalam susu seringkali tidak diperhitungkan oleh konsumen karena tidak banyak menimbulkan kasus yang fatal. Padahal, keberadaan bakteri Alcalines faecalis di dalam susu menunjukkan telah terjadi kontaminasi karena perlakuan sanitasi yang tidak baik selama persiapan produk maupun pengolahan karena bakteri ini pada umumnya dapat ditemukan dalam permukaan tanah dan air serta dapat pula diisolasi dari urin, feses, dan darah (Kavuncuoglu et al. 2010).

 Baiklah, sebelum lanjut ke pembahasan, ada baiknya kita pahami hal-hal mendasar tentang susu.

Karakteristik Susu


Menurut Badan Standarisasi Nasional (2011) tentang Susu Segar, definisi susu segar (raw milk) adalah cairan yang berasal dari ambing sapi sehat dan bersih, yang diperoleh dengan cara pemerahan yang benar, yang kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan belum mendapat perlakuan apapun kecuali pendinginan. Susu merupakan produk pangan bernutrisi tinggi sehingga sangat baik untuk kesehatan manusia dan hewan. Susu sering dimanfaatkan sebagai media pertumbuhan mikroorganisme baik bersifat pembusuk maupun patogen karena kandungan nutrisinya (Hill et al. 2012).
Menurut Walstra et al. (2006), susu sapi mengandung air sebanyak 87.1%, laktosa 4.6%, lemak 4%, protein 3.3%, mineral 0.7%, kalsium 210 mg, dan energi sebanyak 117 kkal. Laktosa merupakan karbohidrat utama yang terdapat pada susu yang terdiri dari glukosa dan galaktosa. Kandungan terbesar kedua yaitu lemak. Kandungan lemak pada susu sangat bergantung pada faktor hewan dan faktor makanan. Faktor hewan yang mempengaruhi kandungan lemak pada susu antara lain genetik, periode laktasi, fermentasi di rumen, dan keberadaan infeksi pada ternak. Protein susu terdiri dari 80% kasein. Protein lain yang terdapat pada susu adalah serum protein yang terdiri dari α-lactalbumin, β-lactoglobulin, serum albumin, immunoglobulin, dan enzim (Claeys et al. 2013). Mineral yang terkandung pada susu antara lain K, Na, Ca, Mg, Cl, dan phospat. Sedangkan vitamin yang terkandung pada susu antara lain A, B1, B2, B3, B5, B6, B12, C, D, dan E. Susu memiliki aw 0.99 dengan pH berkisar 6.4 hingga 6.6. Nilai  aw, pH, dan kandungan nutrisi yang banyak pada susu menyebabkan susu menjadi media yang baik untuk pertumbuhan bakteri.


Pencemaran Susu

Pencemaran pada susu dapat terjadi akibat adanya agen kimia, fisik, dan biologis yang dapat merugikan dan membahayakan konsumen. Salah satu kontaminasi biologis adalah keberadaan mikroorganisme pencemar. Keberadaan mikroorganisme pencemar baik bersifat pembusuk maupun patogen pada susu dapat mengakibatkan kerusakan susu, menimbulkan penyakit (terutama penyakit saluran pencernaan) bahkan keracunan bagi manusia (Oliver et al. 2005).  Bakteri pembusuk mengakibatkan penuruan kualitas susu dan memperpendek daya simpan, sedangkan bakteri patogen mengakibatkan gangguan kesehatan bagi konsumen akibat mengonsumsi susu.
Mutu mikrobiologik susu ditentukan oleh jumlah dan jenis mikroorganisme yang ada dalam susu, yang secara langsung akan mempengaruhi daya simpan dan kelayakan produk untuk dikonsumsi (Handayani & Purwanti 2010). Mikroorganisme tersebut juga dapat menyebabkan penurunan masa kadaluarsa produk olahan susu. Jumlah dan jenis mikroorganisme dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti lingkungan tempat pengolahan pangan asal hewan terutama susu, kondisi sanitasi dan kondisi pengemasan serta penyimpanan pangan asal hewan. Rofi’i (2009) menyatakan bahwa kemampuan mikroorganisme pencemar untuk tumbuh dan melakukan aktivitas enzimatis dipengaruhi oleh suhu dan lama penyimpanan susu.


Karakteristik Bakteri Alcaligenes faecalis sebagai Bakteri Pembusuk pada Susu

Pembusukan pada susu dapat terjadi karena adanya proses pemecahan dari laktosa, senyawa protein, asam lemak (jenuh), dan hidrolisis trigliserida. Susu yang mengalami perlakuan pendinginan sesaat setelah pemerahan kemudian disimpan selama beberapa hari maka proses pembusukan akan didominasi oleh bakteri Gram-negatif berbentuk batang dan bersifat psikotropik, seperti Alcaligenes sp., Pseudomonas sp., Flavobacterium spp., serta beberapa jenis coliform. Adanya bakteri psikotropik dalam jumlah besar dapat menyebabkan timbulnya berbagai macam bau dan kerusakan fisik pangan (Dilbaghi  & Sharma 2007).
Alcaligenes sp. seringkali menjadi bakteri kontaminan pada pasca-pasteurisasi sehingga dapat menyebabkan pembusukan pada susu pasteurisasi. Alcaligenes sp. merupakan spesies bersifat laktosa-negatif yang akan memetabolisme senyawa protein sehingga dapat mengubah rasa normal susu menjadi terasa pahit (Cempírková 2002). Tanda-tanda pembusukan susu antara lain adanya perubahan rasa susu menjadi asam, susu menggumpal, terbentuknya gas, terbentuknya lendir, adanya perubahan rasa menjadi tengik, tumbuhnya kapang pada produk olahan susu. Bakteri Alcaligenes sp. merupakan bakteri pembusuk namun dapat menjadi patogen dalam keadaan tertentu.  Meskipun genus Alcaligenes terdiri dari banyak spesies, namun kasus pencemaran pada susu sering disebabkan oleh spesies Alcaligenes faecalis.
Alcaligenes faecalis merupakan bakteri Gram-negatif bersifat aerob dan merupakan bakteri berbentuk batang tak berpigmen. Karakteristik ini membedakannya dengan pseudomonas. Spesies ini bersifat motil dengan satu atau lebih flagela. Bakteri dari famili Achromobacter ini tidak berkapsul, tidak membentuk spora, dan tumbuh dengan lambat (Kavuncuoglu et al. 2010).  Bakteri Alcaligenes faecalis dapat umum ditemukan di lingkungan yaitu pada tanah dan air, serta dapat pula ditemukan pada saluran pencernaan. Selain itu, bakteri ini dapat ditemukan pada sampel dari darah, urin, dan feses (Latt et al. 2013).
Menurut Mordi et al. (2013), bakteri  Alcaligenes faecalis  bersifat oksidase, sitrat, dan katalase positif dan mampu menurunkan urea dan memproduksi amonia yang meningkatkan pH lingkungan. Alcaligenes sp. memiliki enzim lipolitik, seperti lipase, yang  menghidrolisis trigliserida menjadi asam lemak dan gliserol. Pemecahan asam lemak bebas ini akan menyebabkan perubahan rasa/tengik.  Beberapa Alcaligenes sp. juga dapat menyebabkan kekentalan (sliminess) karena memproduksi polisakarida yang kental.



Gambar 1  Alcaligenes faecalis  memiliki pinggiran irregular, perlekatan, kental, sudut elevasi yang datar (Pathak & Bhatnagar 2011).


Sumber Kontaminasi Alcaligenes faecalis

Sejak dimulainya reformasi teknologi pada penyimpanan susu yaitu berupa proses pendinginan dan penyimpanan dingin pada susu segar, kualitas mikrobiologis susu menjadi lebih baik. Pengasaman susu mentah yang disebabkan oleh bakteri asam laktat terutama dan bakteri mesofilik mulai berkurang. Namun waktu penyimpanan susu segar yang diperpanjang pada suhu rendah (2-6 ° C) memiliki pengaruh signifikan terhadap munculnya populasi mikroba lain. Susu segar yang dahulu didominasi oleh pencemaran Gram-positif mesofilik dan bakteri aerobik digantikan oleh Gram-negatif dan bakteri Gram-positif psikotropik. Dominasi bakteri psikotropik lebih jelas ditemukan saat susu diolah dalam kondisi kebersihan yang buruk.
Mikroorganisme psikotropik seperti Alcaligenes faecalis memiliki peran besar dalam kontaminasi susu segar, karena bakteri ini mampu berkembang biak tidak hanya di moderat (25-30˚C), tetapi juga pada suhu rendah (7-10˚C). Hal demikian menjelaskan mengapa proses pendinginan pada susu tidak dapat mencegah perkembangan mikroorganisme ini. Keberadaan bakteri Alcaligenes faecalis yang umum ditemukan di lingkungan tanah dan air sehingga pencemaran dapat terjadi melalui air yang digunakan untuk pembersihan dan sanitasi peralatan pemerahan, perkakas rumah tanggas dan juga tempat tidur, serta kulit binatang (Olga & Mariia 2011). Hal demikian menggambarkan bahwa kemungkinan pencemaran Alcaligenes faecalis pada susu dapat terjadi berkaitan erat dengan kondisi sanitasi kandang, peralatan kandang, lingkungan sekitar kandang, serta terutama higine personal pekerja kandang saat proses perlakuan susu.



PEMBAHASAN

Kualitas akhir susu dipengaruhi oleh jumlah mikroorganisme awal, kondisi pengolahan, dan pencemaran yang terjadi setelah pengolahan. Kualitas susu merupakan hal yang sangat penting dalam rangka penyediaan susu dan hasil olahannya yang sehat untuk konsumen. Mikroorganisme pencemar susu umumnya dapat dengan mudah ditemukan pada tanah, air, dan udara. Selain berpengaruh pada kualitas susu, pencemaran oleh mikroorganisme juga merupakan bahaya bagi keamanan pangan terkait dengan kesehatan masyarakat. Hal ini dikarenakan keberadaan mikroorganisme pencemar baik bersifat pembusuk maupun patogen pada susu dapat mengakibatkan kerusakan susu, dan dapat menimbulkan penyakit terutama berkaitan dengan saluran pencernaan bahkan dapat mengakibatkan keracunan bagi manusia yang mengkonsumsinya.
Mutu mikrobiologik susu ditentukan oleh jumlah dan jenis mikroorganisme yang ada dalam susu, yang secara langsung akan mempengaruhi daya simpan dan kelayakan produk untuk dikonsumsi. Bakteri Alcaligenes faecalis merupakan bakteri pencemar susu yang bersifat psikotropik yang mampu hidup dan berkembang tidak hanya pada suhu moderat (25-30˚C), tetapi juga pada suhu rendah (7-10˚C). Oleh karena itu, bakteri ini dapat menjadi ancaman terbesar pada produk susu terutama susu dalam pengemasan pada kondisi dingin yang memiliki masa penyimpanan panjang serta susu pasteurisasi yang umumnya hanya membutuhkan sedikit atau bahkan tidak membutuhkan pemanasan kembali sebelum dikonsumsi. Menurut Hutagaol (2013), proses pasteurisasi cukup efektif untuk mengurangi jumlah mikroorganisme pada susu. Namun demikian, risiko pencemaran pada susu tidak berhenti pada proses ini. Keberadaan bakteri Alcaligenes faecalis pada susu justru seringkali disebabkan oleh pencemaran pasca perlakuan pasteurisasi, karena pasca pasteurisasi susu akan disimpan dalam kondisi rantai dingin padahal proses pendinginan pada susu tidak dapat mencegah perkembangan mikroorganisme ini (Samaržija et al. 2012). Pada industri susu dalam skala besar, apabila bakteri ini mencemari cold storage dimana susu disimpan dalam volume besar maka akan sangat merugikan apabila susu menjadi rusak.
Kasus pencemaran susu oleh bakteri Alcaligenes faecalis belum banyak dilaporkan, terutama di Indonesia. Padahal pencemaran produk susu oleh bakteri ini dapat merusak susu dan mengurangi mutu dan kualitas susu sehingga berkaitan dengan nilai ekonomi dari penjualan susu. Pada beberapa kasus, bakteri Alcaligenes sp. bahkan dapat menjadi patogen bagi masyarakat. Kim et al. (2008) menyatakan bahwa strain dari Alcaligenes sp. menyebabkan infeksi pembuluh darah pada penderita immunocompromised. Kavuncuoglu et al. (2010) menyatakan bahwa bakteri Alcaligenes faecalis menjadi penyebab dari peritonitis dan penyakit lain seperti meningitis, peritonitis, enteric fever, appendicitis, cystitis, chronic suppurative otitis media, abscesses, arthritis, pneumonitis, dan endocarditis namun jarang terjadi.
Cleto et al. (2012) dalam penelitiannya menyatakan bahwa bakteri Alcaligenes sp. menempati urutan kelima dari bakteri pencemar yang ditemukan pada peralatan processing susu setelah Pseudomonas spp. (37%); Staphylococcus (20%); Serratia spp. (16%), dan Stenotrophomonas sp. (15%). Kemungkinan lain pencemaran Alcaligenes sp. juga terjadi dalam saluran pengolahan susu yang terkontaminasi oleh hewan atau pakan hewan. Selain itu dapat pula ditemukan pada tanki pengumpulan susu yang selalu berada pada suhu 4ºC.
 Olga dan Mariia (2011) dalam penelitiannya menyatakan bahwa bakteri psikotropik memiliki proporsi besar dari susu yang diperoleh dari perlakuan tradisional. Alcaligenes sp. ditemukan sebanyak 25,50 % dari total bakteri dengan sifat psikotropik. Bakteri pasikotropik dapat menyebabkan kualitas susu menjadi buruk apabila jumlah bakteri ini 100 × 103 sel/cm3. Buruknya kualitas susu segar akan berpengaruh pada pengolahan selanjutnya yaitu keju dan susu kemasan.
Vasut dan Robeci (2009) menyatakan bahwa bakteri dengan sifat psikotropik memiliki kemampuan untuk memproduksi dan memecahkan lipase serta menghidrolisis lemak. Konsekuensi dari aktivitas lipolitik dari bakteri ini mneyebabkan perubahan pada organoleptik susu. Sifat inilahyang  juga dimiliki oleh Alcaligenes faecalis. Alcaligenes sp. memiliki enzim lipolitik, seperti lipase, yang  menghidrolisis trigliserida menjadi asam lemak dan gliserol. Pemecahan asam lemak bebas ini akan menyebabkan perubahan rasa/tengik.  Beberapa Alcaligenes sp. juga dapat menyebabkan kekentalan (sliminess) karena memproduksi polisakarida yang kental. Selain itu, bakteri ini memproduksi amonia sehingga mempengaruhi susu menjadi berbau busuk dan kemampuannya meningkatkan pH sehingga susu menjadi asam. Hal ini menurunkan cita rasa susu serta kualitas susu secara keseluruhan. Kondisi ini diperburuk dengan kemampuan Alcaligenes faecalis dapat bertahan pada setiap musim dimana bakteri lain tidak toleran terhadap perubahan musim (Prakashveni &  Jagadeesan 2012).
Pada umumnya, bakteri Alcaligenes faecalis dapat ditemukan di lingkungan yaitu pada tanah dan air, serta dapat pula ditemukan pada saluran pencernaan. Dengan demikian, apabila bakteri ini dapat ditemukan pada susu mengindikasikan bahwa higiene dan sanitasi selama proses perlakuan dan pengolahan susu tidak terlaksana dengan baik. Kondisi ini sekaligus menggambarkan kemungkinan pencemaran Alcaligenes faecalis pada susu dapat terjadi berkaitan erat dengan kondisi sanitasi kandang, peralatan kandang, lingkungan sekitar kandang, serta terutama higine personal pekerja kandang saat proses perlakuan susu. Hal ini didukung oleh Samaržija et al. (2012) bahwa sumber pencemaran dari bakteri psikotropik berasal dari air buangan peralatan pemerahan susu, saluran air, ambing dan puting yang kotor dan tidak bersihnya permukaan dari peralatan dan perlengkapan pengolahan susu dimulai dari penerimaan, transportasi hingga penyimpanan.
Tindakan pencegahan dan pengendalian terhadap pencemaran dari Alcaligenes faecalis dapat dilakukan dengan melihat berbagai aspek kemungkinan pencemaran terjadi yaitu dimulai dari aspek peternakan, pekerja yang menangani susu, serta pengolahan yang dilakukan pada susu untuk mengurangi kontaminasi. Penerapan higiene dan sanitasi juga merupakan bagian yang sangat penting untuk diterapkan pada personal pekerja, saat proses, maupun pada peralatan. Sanitasi lingkungan pengolahan susu ikut memegang peranan penting karena kemampuan bakteri ini untuk bertahan di lingkungan air dan tanah.
Aturan utama yaitu menghindari paparan air pada produk susu. Seringkali di peternakan para peternak hanya membersihkan wadah penampung susu dengan air sementara tidak diketahui bagaimana status mikrobiologi dari air yang digunakan sehingga justru menjadi sumber pencemaran. Air yang digunakan untuk pemerahan sebaiknya air yang telah mendapatkan perlakuan untuk mengeliminasi bakteri patogen yang terdapat pada air tersebut. Tindakan klorinisasi air dapat dilakukan untuk mencegah kontaminasi.
 Selain itu, upaya yang paling penting dapat dilakukan yaitu melalui proses pasteurisasi. Pasteurisasi dapat dilakukan dengan pemanasan 63°C selama 30 menit atau 72°C selama 15 detik. Tindakan pasteurisasi pada susu harus dilakukan dengan sempurna untuk menjamin mikroorganisme yang terdapat pada susu tersebut benar-benar mati. Proses pasteurisasi yang tidak sempurna justru berisiko terhadap tetap bertahannya bakteri-bakteri pembusuk pada susu. Namun harus dipastikan bahwa setelah itu susu dikemas dalam kemasan steril dan selalu dipantau agar tidak mengalami pencemaran kembali.  
Seperti dijelaskan diawal, bahwa Alcaligenes faecalis dapat ditemukan pada saluran pencernaan sehingga bakteri ini dapat ditemukan pada feses sapi. Kontaminasi bakteri Alcaligenes faecalis  dapat terjadi akibat kontaminasi dari feses sapi. Oleh karena itu sangat diperlukan tindakan higiene selama proses pemerahan untuk mengurangi kontaminasi feses selama pemerahan. Tindakan ini dapat dilakukan dengan membersihkan ternak terlebih dahulu sebelum pemerahan dilakukan. Selain itu desinfeksi puting juga dapat dilakukan untuk mengurangi kontaminasi selama pemerahan.
Peralatan pemerahan juga merupakan salah satu sumber pencemaran. Oleh karena itu diperlukan tindakan desinfeksi pada peralatan sebelum pemerahan dilakukan untuk mempertahankan higiene peralatan. Penerapan tindakan higienis selama produksi, pemprosesan, dan penyimpanan memegang peranan penting untuk mencegah kontaminnasi. Penerapan sanitasi yang ketat di peternakan, tempat pemprosesan, dan penyimpanan turut berperan mengurangi risiko pencemaran  Alcaligenes faecalis.
Pencegahan dan pengendalian pencemara Alcaligenes faecalis memerlukan tindakan monitoring dan surveilans rutin. Hal ini disebabkan oleh kerugian yang mungkin muncul akibat kerusakan pada susu sehingga menurunkan kualitas dan nilai ekonomi penjualan susu. Meskipun bakteri ini belum menjadi fokus utama pada sejumlah perusahaan besar, namun tindakan ini diperlukan untuk mengetahui sejauh mana kemungkinan pencemaran oleh bakteri pembusuk pada susu dapat terjadi sehingga dapat meminimalkan risiko yang terjadi.



SIMPULAN

Alcaligenes faecalissecara alami terdapat di lingkungan yaitu pada air dan tanah serta dapat ditemukan pada saluran pencernaan serta feses dan urin. Bakteri ini juga dan memiliki kemampuan untuk hidup dan berkembang biak ini mampu berkembang biak tidak hanya pada moderat, tetapi juga pada suhu. Bakteri ini dapat mengkontaminasi susu berkaitan dengan pencemaran akibat pelaksanaan higiene sanitasi dari pekerja dan peralatan pemerahan susu yang kurang baik.
Oleh karena itu sangat penting untuk meningkatkan pengetahuan peternak dan pihak-pihak terkait dengan proses pengolahan pasca pemerahan susu mengenai upaya-upaya keamanan pangan serta pencemaran bakteri pembusuk yang mungkin terjadi saat pengolahan, pengemasan, transportasi, penyimpanan produk susu. Selain itu dengan menerapkan tindakan higiene produksi, higiene peralatan, higiene personal, dan sanitasi kandang. Monitoring dan surveilans secara rutin juga dibutuhkan untuk mencegah pencemaran bakteri pembusuk yang menurukan kualitas susu.



DAFTAR PUSTAKA

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2011. Susu Segar. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
Cempírková R. 2002.  Psychrotrophic vs. Total Bacterial Counts in Bulk Milk Samples. Vet. Med. – Czech, 47, 2002 (8): 227–233.
Chye FY, Abdullah A, Ayob MK. 2004. Bacteriological quality and safety of raw milk in Malaysia. Food Microbiol 131: 30-39.
Cleto S, Matos S,  Kluskens L, Vieira MJ. 2012. Characterization of Contaminants from a Sanitized Milk Processing Plant. LoS ONE 7(6): e40189.
Dilbaghi  N, Sharma S. 2007.  Food spoilage, food infections and intoxications caused by microorganisms and methods for their detection. International Journal of Food. Microbiology (8): 121–132.
Handayani KS, Purwanti M. 2010. Kesehatan ambing dan higiene pemerahan di peternakan sapi perah Desa Pasir Buncir, Kecamatan Caringin. J Penyuluh Per 5(1):47–54.
Hill B, Smythe B, Lindsay D, Shepherd J. 2012. Microbiology of raw milk in New Zealand. Int J Food Microbiol. 157(2):305-8.
Hutagaol FVA. 2013.  Kualitas Mikrobiologis Susu Sebelum dan Sesudah Pasteurisasi [Skripsi]. Bogor : Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Jørgensen HJ, Mørk T, Rørvik LM. 2005. The occurrence of Staphylococcus aureus on a farm with small scale production of raw milk cheese. Journal of Dairy Science 88:3810-3817.
Kavuncuoglu F, Unal A, Oguzhan N, Tokgoz B, Oymak O, Utas C. 2010. First Reported Case of Alcaligenes faecalis Peritonitis. Peritoneal Dialysis International, Vol. 30, pp. 112–121.
Kim MJ, Bancroft E, Lehnkering E, Donlan RM, Mascola L. 2008. Alcaligenes xylosoxidans Bloodstream Infections in Outpatient Oncology Office. Emerging Infectious Diseases Vol. 14, No. 7, July 2008.
Latt ZK, Yu SS, Lynn TM. 2013. Enhancement of Cellulolytic Nitrogen Fixing Activity of Alcaligenes sp. by MNNG Mutagenesis. International Journal of Innovation and Applied Studies Vol. 3 No. 4 Aug. 2013, pp. 979-986.\
Millogo V, Sjaunja S, Ouédraogo GA, Agenäs S. 2010. Raw milk hygiene at farms, processing units and local markets in Burkino Faso. Food Control 21: 1070–1074.
Mordi RM, Yusuf EO, Onemu SO, Igeleke CL, Odjadjare EE. 2013. The Prevalence Of Alcaligenes Faecalis in Bacteremia, Meningitis and Wound Sepsis in a Tertiary Health Care Institutions in Western Part of Nigeria. The International Journal of Biotechnology 2013:2(7):123-129.
Olga Y, Mariia G. 2011.  Contamination of Bulk Milk by Psychrotrophic Microorganisms’ During Milking and Milk Processing . web.nubip.edu.ua/index.php/ebql/article/.../pdf. [Diakses pada 11 November 2014].
Oliver SP, Jayarao BM, Almeida RA. 2005. Foodborne pathogens in milk and dairy farm environtment: food safety and public health implications. Foodborne Pathogens and Disease 2:115-129.
Jay JM, Loessner MJ, Golden DA. 2005. Modern Food Microbiol. Ed. Ke-7. California (US): Business Media Inc.
Pathak H, Bhatnagar K. 2011. Alcaligenes-The 4T Engine Oil Degrader. J Bioremed Biodegrad 2011, 2:4.
Rasolofo EA, St-Gelais D, Lapointe G, Roy D. 2011. Molecular analysis of bacterial population structure and dynamics during cold storage of untreated and treated milk. International Journal of Food Microbiology 28:465-471.
Samaržija D,   Zamberlin S,  Pogačić T. 2012. Psychrotrophic bacteria and milk quality, Mljekarstvo 62 (2), 77-95 (2012).
 [SNI] Standar Nasional Indonesia. 2011. N0. SNI 01–3141–2011. Susu Segar. Jakarta : Badan Standarisasi Nasional.
Prakashveni R, Jagadeesan M. 2012. Isolation identification and distribution of bacteria in Dairy Effluent. Adv. Appl. Sci. Res., 2012, 3(3):1316-1318.
Rofi’i K. 2009. Hubungan Antara Jumlah Total Bakteri dan Angka Katalase Terhadap Daya Tahan Susu [Skripsi]. Bogor : Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
VASUT RG, ROBECI MD. 2009. Food Contamination with Psyhcrophilic Bacteria. Lucrări Stiinłifice Medicină Veterinară VOL. XLII (2), 2009.
Walstra P, Wouters JTM, Geurts TJ. 2006. Dairy Science and Technology. Edisi ke-2. London: Taylor & Francis Group.


Demikianlah sedikit pembahasann mengenai salah satu bakteri yang sering menjd agen pembusuk bagi susu yang sering kita konsumsi.
Jadi, sebaiknya segera tutup rapat ataupun habiskan susu yang Anda beli atau konsumsi agar tdk tercemar oleh bakteri pembusuk.

Semoga bermanfaat :)


Selasa, 23 Mei 2017

DAMPAK KEBERADAAN PETERNAKAN UNGGAS DISEKITAR RUMAH TERHADAP KESEHATAN MASYARAKAT

Halo pembaca blog saya sekalian,
kali ini saya ingin membahas suatu tema mengenai peternakan ayam yang seringkali dialami oleh masyarakat di beberapa wilayah terutama yang berada diluar kota.

Beberapa kali pengalaman saya saat berkunjung ke daerah-daerah ketika koasistensi dulu, sering saya amati adanya peternakan unggas yang terletak di tengah-tengah pemukiman. Barangkali karena masih skala kecil jadi belum terlalu menjadi masalah bagi warga sekitar.

Nah, kali ini saya akan membahas dampak adanya peternakan unggas yang terletak di wilayah pemukiman warga dari sudut pandang kesehatan masyarakat veteriner. 
Selamat membaca... :)


PENDAHULUAN


Bidang ilmu kesehatan masyarakat semakin mengalami perkembangan seiring berjalannya waktu. Kepentingan ilmu kesehatan masyarakat salah satunya terkait dengan upaya untuk melawan gangguan dan bahaya kesehatan karena kondisi lingkungan yang buruk. Oleh karena itu, pencemaran pada lingkungan yang menyebabkan gangguan kesehatan menjadi ruang lingkup ilmu kesehatan masyarakat. Lingkungan merupakan salah satu faktor eksternal penting yang dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat, salah satu bagian dari lingkungan yang terdekat dengan manusia ialah rumah. Rumah memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, yaitu sebagai tempat berlindung dan tempat dimana manusia melakukan sebagian besar aktivitas dan rutinitas hidupnya. Kondisi rumah dapat mempengaruhi perkembangan fisik dan mental penghuninya, sehingga kondisi rumah dan lingkungannya yang sehat akan memberikan lingkungan yang nyaman bagi penghuninya (Fitriani 2007).
            Kesehatan dan sanitasi lingkungan merupakan bagian dari ilmu kesehatan masyarakat yang menitikberatkan pada usaha preventif melalui perbaikan faktor lingkungan agar manusia terhindar dari berbagai penyakit dan gangguan kesehatan. Kesehatan lingkungan adalah karakteristik dari kondisi lingkungan yang dapat mempengaruhi derajat kesehatan. Upaya sanitasi lingkungan dilakukan melalui pengawasan lingkungan fisik, biologis, dan sosial ekonomi yang mempengaruhi kesehatan manusia, dimana lingkungan yang berguna akan ditingkatkan dan diperbanyak, sedangkan yang merugikan diperbaiki atau dihilangkan. Lingkungan dengan sanitasi yang buruk akan berdampak negatif terhadap kesehatan manusia. Lingkungan yang tidak bersih merupakan sumber utama dari penyebaran penyakit. Oleh karena itu untuk menghindari resiko munculnya berbagai penyakit akibat kondisi lingkungan yang buruk, maka lingkungan harus selalu terjaga sanitasinya, khususnya rumah dan lingkungan sekitar (Prasetyanto 2011).
            Peternakan merupakan salah satu sektor penting dalam memenuhi kebutuhan manusia akan pangan, tak terkecuali pada usaha peternakan unggas. Kebutuhan masyarakat akan protein hewani khususnya daging unggas terus meningkat. Kebutuhan daging ayam masyarakat Indonesia pada tahun 2012 adalah 1.9 triliun ekor dan diprediksi meningkat menjadi 2.2 triliun ekor pada tahun 2013 (Sugiyono 2012). Hal tersebut mengakibatkan peternakan unggas dijalankan begitu ekstensif sehingga semakin mendekati pemukiman masyarakat dan seringkali menimbulkan konflik dengan masyarakat akibat dampak negatif yang ditimbulkan seperti penularan penyakit, pencemaran lingkungan (tanah, air, dan udara), bau tidak sedap, dan lain lain.
            Penularan penyakit dari peternakan ke masyarakat sekitar menjadi perhatian luas karena kemunculan banyak penyakit zoonotik baru. Penyakit zoonotik didefinisikan oleh World Health Organization (WHO) sebagai penyakit-penyakit yang ditularkan secara alamiah antara hewan dan manusia (Shakespeare 2009). Hampir 75 persen penyakit pada hewan merupakan zoonosis dan sekitar 75 persen penyakit infeksius baru yang muncul (emerging infectious diseases/EID) pada manusia adalah zoonosis (Wolfe et al. 2005). Hal tersebut menunjukkan peternakan dapat menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat sekitar jika tidak dikelola secara baik.

  
TINJAUAN PUSTAKA


Pemukiman Masyarakat Ideal

 Pemukiman masyarakat ideal yang diharapkan adalah berupa rumah yang mampu menjamin kesehatan penghuni dan kehidupan keluarganya secara layak. Enjang (2000) mendefinisikan rumah sehat sebagai rumah yang memenuhi kebutuhan fisiologis dan psikologis manusia, terhindar dari penyakit menular, dan terhindar dari kecelakaan. Hal tersebut sejalan dengan kriteria rumah sehat menurut American Public Health Association (APHA), yaitu:
a.  Memenuhi kebutuhan dasar fisik
1.    Mempertahankan temperatur lingkungan yang kondusif untuk beraktivitas dalam rumah.
2.    Memperoleh sinar matahari yang cukup dan menghindari lingkungan rumah yang lembab karena dapat menjadi media yang baik bagi agen penyakit.
3.    Memiliki ventilasi yang baik sehingga pertukaran udara terjadi dengan lancar.
4.    Adanya lapangan terbuka untuk berolah raga, rekreasi dan tempat anak-anak bermain.
b.  Memenuhi kebutuhan dasar psikologis.
1.    Ketentuan-ketentuan tentang privacy yang cukup bagi setiap individu
2.    Kebebasan dan kesempatan berinteraksi antar penghuni dan lingkungan sekitar
3.    Fasilitas–fasilitas yang memungkinkan pelaksanaan pekerjaan-pekerjaan tanpa menyebabkan kelelahan fisik dan mental.
c.  Melindungi dari penyakit
1.    Penyediaan air yang sehat bagi setiap rumah.
2.    Ketentuan tentang perlindungan air minum dari pencemaran.
3.    Ketentuan tentang fasilitas pembuangan kotoran dan limbah untuk mengurangi bahaya penyebaran penyakit.
4.    Menghindarkan adanya rodensia yang bisa menularkan penyakit.
5.    Letak rumah tidak berdekatan dengan pabrik atau peternakan yang dapat menjadi sumber pencemaran dan penyakit menular.
d.  Melindungi dari kecelakaan
1.    Membuat konstruksi rumah yang kokoh untuk menghindari bangunan ambruk.
2.    Menghindari bahaya kebakaran.
3.    Menghindarkan bahaya-bahaya lalu lintas kendaraan.
Parameter-parameter tersebut juga sejalan dengan aturan Rumah Sehat di Indonesia yang diatur dalam Kepmenkes Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan. Parameter yang diatur Kepmenkes tersebut adalah bahan bangunan, komponen dan penataan ruang, pencahayaan, kualitas udara dan ventilasi. Kualitas udara yang disyaratkan adalah suhu udara 18-30oC, kelembaban udara 40-70 %, kadar gas SO2 kurang dari 0,10 ppm/24 jam, konsentrasi gas CO tidak melebihi 100 ppm/8 jam, dan konsentrasi gas formaldehid tidak melebihi 120 mg/m3.


Peternakan Unggas
Indonesia sebagai negara pertanian tidak lepas dari sektor peternakan. Peternakan dalam hal ini dibagi menjadi dua jenis yaitu peternakan skala besar dan skala kecil. Pada peternakan skala besar untuk pengawasan kesehatan ternak seringkali dilakukan dan dibimbing oleh dinas peternakan. Hal demikian berbeda dengan peternakan skala kecil yang belum begitu jelas pengawasan kesehatan ternaknya, namun seiring meningkatnya berbagai wabah penyakit unggas yang bersifat zoonosis maka peternakan skala kecil ini menjadi sangat penting dan perlu perhatian lebih. Peternakan skala kecil termasuk peternakan tradisional di Indonesia sangat banyak karena banyak dibangun untuk menunjang kebutuhan pangan dan ekonomi keluarga tersebut (Yusdja et al. 2012).


Gambar 1  Sistem perunggasan di Indonesia (Yusdja et al. 2004 dalam Yatmiko 2008).

Tata cara budidaya ayam baik pedaging, petelur, maupun bukan ras (buras) telah diatur pemerintah melalui Kepmentan No 420/Kpts/OT.210/7/2001, 424/Kpts/OT.210/7/2001, dan 425/Kpts/OT.210/7/2001 tentang Pedoman Budidaya Ternak (Good Farming Practices) Ayam Bukan Ras (buras), pedaging, dan petelur yang baik. Berikut adalah syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam membangun peternakan unggas:
a.       Penyiapan lokasi
Lokasi tempat pemeliharaan diupayakan agar tidak terlalu dekat dengan bangunan rumah dan memiliki sirkulasi udara yang baik serta mendapatkan pencahayaan matahari secara maksimal, sehingga kondisi lokasi dapat terpelihara dalam kondisi kering. Penataan letak bangunan kandang dan bukan kandang didalam lokasi usaha peternakan ayam hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1.  jarak antara tiap-tiap kandang minimal 1 kali lebar kandang dihitung dari tepi atap kandang
2.  jarak terdekat antara kandang dengan bangunan lain bukan kandang minimal 25 m;
3.  bangunan-bangunan kandang, kandang isolasi, dan bangunan lainnya harus ditata supaya aliran air, saluran pembuangan limbah, udara, dan penghantar lain tidak menimbulkan pencemaran penyakit.

b.      Pembuatan kandang.
            Pemeliharaan unggas di pemukiman harus dilakukan secara intensif atau semi-intensif, sehingga keberadaan kandang menjadi suatu hal yang mutlak. Ternak unggas harus dikandangkan dan tidak dibenarkan berkeliaran bebas dan kandang unggas harus terpisah dari rumah. Pada prinsipnya penggunaan kandang harus disesuaikan dengan tujuan pemeliharaan dan dipastikan ayam tidak berkeliaraan. Kandang dapat dibuat disekitar lokasi pekarangan rumah bagian belakang yang masih memungkinkan untuk lokasi bangunan kandang. Disamping itu juga dapat dibangun kandang koloni pada lokasi yang jauh dari perumahan yang dapat menampung ternak dari beberapa anggota masyarakat. Sebelum unggas dimasukan kedalam kandang, dilakukan penyemprotan dan desinfeksi terhadap kandang dan lokasi sekitarnya.
c.       Manajemen pemeliharaan.
            Untuk meminimalkan kemungkinan munculnya berbagai macam penyakit maka pemeliharaan unggas dipemukiman harus dilakukan secara tertib dan memenuhi persyaratan teknis minimal, sehingga tatacara pemeliharaan yang baik dapat diaplikasikan terutama menyangkut masalah biosekuriti, higiene, sanitasi dan pencemaran lingkungan. Dalam upaya pencegahan pencemaran lingkungan, diperlukan perhatian khusus terhadap beberapa hal berikut :
a.    Mencegah timbulnya erosi serta membantu penghijauan di areal peternakan.
b.    Menghindari timbulnya erosi dan gangguan lain yang berasal dari peternakan yang dapat mengganggu lingkungan berupa bau busuk, suara bising, serangga, tikus serta pencemaran air sungai/ air tanah (sumur).
c.    Setiap usaha peternakan unggas agar membuat unit pengolahan limbah peternakan (padat, cair dan gas) yang sesuai dengan kapasitas produksi limbah yang dihasilkan.
d.   Setiap usaha peternakan unggas memiliki tempat pembuangan kotoran dan penguburan bangkai.
Usaha peternakan ayam sering dijadikan sebagai sumber penyebab utama yang ikut mencemari lingkungan. Oleh karena itu, agar peternakan ayam tersebut menjadi suatu usaha yang berwawasan lingkungan dan efisien, maka tatalaksana pemeliharaan, perkandangan, dan penanganan limbahnya harus selalu diperhatikan.


Limbah Usaha Peternakan Ayam

            Usaha peternakan ayam menghasilkan limbah berupa feses yang menyebabkan pencemaran udara berupa bau yang mengganggu dan berpotensi berbahaya bagi kesehatan serta air buangan yang dapat mencemari lingkungan. Air buangan yang dimaksud berasal dari cucian tempat pakan, tempat minum ayam, dan lain-lain. Jumlah air buangan ini sedikit dan biasanya langsung terserap ke dalam tanah sehingga tidak berpengaruh besar terhadap lingkungan sekitar. Air buangan mempunyai nilai pH netral (±7), kandungan senyawa organik rendah yang ditunjukkan dengan nilai Bio Oxygen Demand (BOD) 15,32-68,8 dan Chemical Oxygen Demand (COD) 35,12-92,12  (Rachmawati 2000).
            Ada dua model pemeliharan ayam, yaitu pada pemeliharaan ayam petelur biasanya menggunakan sistem baterai, yakni ayam dipelihara dalam kandang-kandang terpisah dan ditempatkan agak tinggi dari permukaan tanah, dengan dasar kandang berlubang-lubang sehingga  feses akan jatuh dan bertumpuk di bawah kandang. Sebaliknya, pada pemeliharaan ayam pedaging biasanya menggunakan sistem litter, yakni ayam-ayam dipelihara dalam kandang dengan batas yang disekat-sekat dan lantai kandang adalah berupa tanah atau beton yang dilapisi dengan sekam sehingga feses ayam akan bercampur dengan sekam tersebut dan secara periodik diangkat.
Rataan produksi buangan segar (feses) ternak ayam petelur adalah 0,06 kg/hari/ekor dengan kandungan bahan kering 26 persen, sedangkan ayam pedaging menghasilkan 0,1 kg/hari/ekor dengan kandungan bahan kering 25 persen. Feses ayam terdiri dari sisa pakan dan serat selulosa yang tidak tercerna. Feses ayam mengandung protein (nitrogen), karbohidrat, lemak, dan senyawa organik lainnya. Komposisi feses ayam sangat bervariasi bergantung pada jenis ayam, umur, keadaan individu ayam, dan makanan (Prasetyanto 2011).
Sumber pencemaran usaha peternakan ayam berasal dari feses ayam yang berkaitan dengan unsur nitrogen dan sulfida yang terkandung dalam feses tersebut, yang pada saat penumpukan feses atau penyimpanan terjadi proses dekomposisi oleh mikroorganisme membentuk gas amonia, nitrat, dan nitrit serta gas sulfida. Gas-gas tersebutlah yang dapat menyebabkan bau (NRC 2003). Kandungan gas amonia yang tinggi dalam feses juga menunjukkan kemungkinan kurang sempurnanya proses pencernaan atau protein yang berlebihan dalam pakan ternak, sehingga tidak semua nitrogen diabsorbsi sebagai asam amino, tetapi dikeluarkan sebagai amonia dalam feses.
            Feses ayam sudah sejak lama dimanfaatkan sebagai pupuk di bidang pertanian. Pengalaman empiris membuktikan bahwa feses ternak sangat cocok dan baik untuk kesuburan tanah pertanian. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya penanganan feses ternak dengan baik dan optimal agar tidak menyebabkan bau yang menyengat, dan masih tetap dapat dimanfaatkan sebagai pupuk.


Dampak Peternakan Unggas

Banyaknya usaha peternakan ayam yang berada di lingkungan masyarakat dirasakan mulai mengganggu warga, terutama peternakan ayam yang lokasinya dekat dengan pemukiman penduduk. Masyarakat banyak mengeluhkan dampak buruk dari kegiatan usaha peternakan ayam ras karena masih banyak peternak yang mengabaikan penanganan limbah dari usahanya. Limbah peternakan ayam ras berupa feses, sisa pakan, air dari pembersihan ternak menimbulkan pencemaran lingkungan masyarakat di sekitar lokasi peternakan tersebut.         
Seperti disebutkan sebelumnya, dampak dari usaha peternakan unggas terhadap lingkungan sekitar terutama adalah berupa bau yang dikeluarkan selama proses dekomposisi kotoran unggas. Bau tersebut berasal dari kandungan gas amonia yang tinggi dan gas hidrogen sulfida (H2S), dimetil sulfida, karbon disulfida, dan merkaptan. Senyawa yang menimbulkan bau ini dapat mudah terbentuk dalam kondisi anaerob seperti tumpukan kotoran yang masih basah. Senyawa tersebut dapat tercium dengan mudah walau dalam konsentrasi yang sangat kecil. Untuk H2S, kadar 0,47 mg/l atau dalam konsentrasi part per million (ppm) di udara merupakan batas konsentrasi yang masih dapat tercium bau, sedangkan untuk dimetil sulfida konsentrasi 1,0 ppm di udara mulai tercium bau busuk. Untuk amonia, kadar terendah yang dapat terdeteksi baunya adalah 5 ppm. Akan tetapi, kepekaan seseorang terhadap bau ini sangat tidak mutlak, terlebih lagi bau yang disebabkan oleh campuran gas. Pada konsentrasi amonia yang lebih tinggi di udara dapat menyebabkan iritasi mata dan gangguan saluran pernapasan pada manusia dan hewan itu sendiri (Praja 2006).
            Selain berdampak negatif terhadap kesehatan manusia yang tinggal di lingkungan sekitar peternakan, bau kotoran juga berpengaruh terhadap ternak dan dapat menyebabkan produktivitas ternak menurun. Pengelolaan lingkungan peternakan yang kurang baik dapat menyebabkan kerugian ekonomi bagi peternak itu sendiri, karena gas-gas tersebut dapat menyebabkan produktivitas ayam menurun, sedangkan biaya kesehatan akan semakin meningkat, yang menyebabkan keuntungan peternak menipis. Biaya kesehatan meningkat karena ayam-ayam tersebut menurun imunitasnya terhadap penyakit-penyakit yang sering timbul akibat polusi udara oleh amonia, seperti penyakit cronic respiratory disease (CRD), yaitu penyakit saluran pernapasan menahun, dan ayam lebih peka terhadap virus Newcastle disease (ND) yang menyebabkan ayam mudah terkena penyakit ND (Rachmawati 2000).
            Walaupun dampak yang ditimbulkan akibat dari cemaran bau busuk belum dirasakan dalam jangka waktu pendek, namun dalam jangka panjang dapat menyebabkan munculnya berbagai penyakit sehingga berakibat menurunnya produktivitas masyarakat. Banyaknya lalat di lingkungan sekitar peternakan juga merupakan dampak negatif lain dari keberadaan usaha peternakan ayam. Kebiasaan lalat yang suka mencari tempat-tempat yang berbau busuk menyebabkan kandang ayam banyak dihinggapi lalat untuk berkembang biak. Lalat sendiri diketahui merupakan vektor dari berbagai penyakit, sehingga dapat menjadi satu ancaman yang perlu diperhatikan secara serius.



PEMBAHASAN

Banyaknya usaha peternakan unggas yang berada di lingkungan masyarakat dirasakan mulai mengganggu warga sekitar peternakan, karena masih banyak peternak yang belum memiliki kepedulian terhadap manajemen pengolahan produk buangan dari peternakannya. Limbah peternakan unggas berupa feses, sisa pakan, dan air yang berasal dari pembersihan ternak seringkali menimbulkan pencemaran lingkungan masyarakat di sekitar lokasi peternakan tersebut dan pada akhirnya mengganggu kesehatan masyarakat sekitar. Sumber pencemaran dari usaha peternakan ayam berasal dari kotoran ayam yang berkaitan dengan unsur nitrogen dan sulfida yang terkandung dalam kotoran tersebut, yang pada saat penumpukan kotoran atau penyimpanan terjadi proses dekomposisi oleh mikroorganisme membentuk gas amonia, nitrat, dan nitrit serta gas sulfida. Gas-gas tersebut yang menyebabkan bau (NRC 2003).
Pencemaran udara diartikan sebagai keadaan atmosfer, dimana satu atau lebih bahan-bahan polusi yang jumlah dan konsentrasinya dapat membahayakan kesehatan mahluk hidup, merusak properti dan mengurangi kenyamanan di udara (Salim 2002). Pencemaran udara dapat dibedakan menjadi dua yaitu pencemaran udara bebas dan pencemaran udara di dalam ruangan (indoor air pollution). Bahan atau zat yang dapat mencemari udara dapat berbentuk gas dan partikel (Sunu 2001). Menurut Soedomo (2001), berdasarkan ciri fisik, bahan pencemar dapat berupa partikel (debu, aerosol, timah hitam), gas (CO, NOx, SOx, H2S) dan energi (suhu udara dan kebisingan) sedangkan menurut kejadian atau terbentuknya ada pencemar primer (yang diemisikan langsung oleh sumber) dan pencemar sekunder (yang terbentuk karena reaksi di udara antara berbagai zat). Peternakan unggas dapat menyebabkan pencemaran udara, yaitu melalui:
1.    Hidrogen Sulfida (H2S) dan Nitrogen Dioksida (NO2)
Penyebab terbesar timbulnya bau dari peternakan berasal dari berbagai komponen yang meliputi H2S dan NH3 (NRC 2003). Hidrogen sulfida dibentuk dari reduksi bakteri sulfat dan dekomposisi kandungan sulfur organik pada kotoran dalam kondisi anaerob. Gas H2S merupakan gas yang lebih ringan dari pada udara, mudah larut dalam air dan mempunyai bau seperti telur busuk (Casey et al. 2006). Gas tersebut toksik bagi manusia dan hewan serta dapat meningkatkan kerentanan penyakit dan dapat mengganggu efisiensi aktivitas para pekerja yang berada di sekitar peternakan karena bau yg ditimbulkan (Martin et al. 2004). Senyawa yang menimbulkan bau ini dapat mudah terbentuk dalam kondisi anaerob seperti tumpukan kotoran yang masih basah. Gas ini tidak berwarna dan dapat dideteksi pada konsentrasi yang sangat rendah yaitu 0,002 ppm (Soemirat 2002). Gas H2S banyak ditemukan di dataran rendah yang tertutup dan memiliki ventilasi yang buruk. Gas H2S pada konsentrasi yang rendah dapat menyebabkan iritasi mata, batuk, sesak nafas, iritasi hidung, dan tenggorokan. Gas H2S pada konsentrasi yang tinggi dapat menyebabkan pusing, mual, muntah, pingsan, koma bahkan kematian (OSHA 2005). Gas H2S yang dihasilkan dari proses penguraian zat makanan sisa pencernaan dilakukan oleh mikroba perombak protein. Gas tersebut toksik bagi manusia dan hewan serta dapat meningkatkan kerentanan penyakit dan dapat mengganggu efisiensi aktivitas para pekerja yang berada di sekitar peternakan karena bau yg ditimbulkan (Martin et al. 2004). Selain gas H2S yang dihasilkan, kotoran ayam juga diyakini dapat menyebabkan emisi NO secara langsung (NRC 2003). Nitrogen monoksida (NO) dapat mengalami oksidasi menjadi NO2 (Pohan 2002). Sehingga secara tidak langsung kotoran ayam dapat menghasilkan emisi gas NO2 melalui proses denitrifikasi.
2.    Debu
Kandungan debu di peternakan unggas pada umumnya meliputi partikel tanah, sisa pakan, rambut dan bulu, kotoran kering, bakteri, dan jamur. Kandungan debu di peternakan unggas umumnya berasal dari pakan sedangkan kandungan partikel tanah tersebut menentukan konsentrasi debu. Menurut Leeson dan Summers (2000), rataan kadar debu pada peternakan unggas dewasa sekitar 2-5 mg/m3 (2.000-5.000 μg/m3), dimana pada kadar tersebut berkontribusi pada masalah pernafasan pada peternakan dan sekitarnya. Menurut Prasetyanto (2011), kondisi lingkungan (suhu udara, kelembaban udara, arah dan kecepatan angin, dan ketinggian lokasi), kondisi kandang (bahan atap, sistem kandang) dan kondisi sekitar kandang (areal pertanian, keberadaan tanaman di sekitar kandang) dapat mempengaruhi kadar H2S, NO2, dan debu di sekitar peternakan yang merupakan suatu ancaman serius bagi kesehatan manusia. Efek debu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan tergantung dari solubility, komposisi kimia debu, konsentrasi debu, dan ukuran partikel debu. Akibat yang dapat ditimbulkan oleh debu antara lain gangguan kenyamanan pada pernafasan, peradangan saluran pernafasan, alergi, meningkatkan sekresi cairan di hidung, nafas menjadi berat, serta penurunan kapasitas ventilasi paru. Gejala yang terjadi pada pekerja biasanya meliputi gangguan restriktif paru antara lain cepat lelah, sesak nafas pada waktu bekerja ringan, dan berkurangnya kapasitas kerja.
Dalam kasus pencemaran lingkungan oleh peternakan ayam, yang menjadi pemicu permasalahan sebenarnya akibat dari pemukiman yang terus berkembang. Pada awal pembangunan, peternakan ayam didirikan jauh dari pemukiman penduduk namun lama kelamaan di sekitar areal peternakan tersebut menjadi pemukiman. Hal tersebut terjadi karena perkembangan dan rencana tata ruang yang seringkali tidak konsisten. Keberadaan peternakan ayam di sekitar masyarakat pada dasarnya dapat membawa dampak positif yaitu meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat sekitar, namun dapat pula bernilai negatif yaitu justru menimbulkan resiko yang merugikan masyarakat karena adanya limbah peternakan. Meskipun peternakan ayam memiliki dampak negatif bagi masyarakat sekitar, peternakan ayam terbukti telah membawa manfaat ekonomi yang sangat besar seperti menyediakan banyak lapangan pekerjaan dan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kondisi demikian mengakibatkan pilihan untuk menutup suatu peternakan dirasa bukanlah merupakan suatu keputusan yang paling tepat karena dengan demikian akan menghilangkan sumber penghasilan masyarakat yang bergantung pada peternakan ayam tersebut, namun apabila tetap dibiarkan akan menimbulkan protes dari masyarakat sekitar yang merasa terganggu. Oleh karena itu, langkah yang paling bijaksana adalah dengan berusaha mengolah limbah-limbah dari peternakan ayam yang semula berbahaya dan merugikan masyarakat menjadi tidak berbahaya dan justru menguntungkan masyarakat.
Adapun beberapa upaya yang dapat dilakukan ialah melalui pengelolaan yang dilakukan dengan menambahkan suatu senyawa pada kotoran unggas yang dapat mengurangi bau yang ditimbulkan. Berikut adalah contoh senyawa dan perlakuan yang dapat digunakan untuk mengurangi bau yang ditimbulkan dari kotoran ayam:
1.    Pemberian Zeolit dan Klorin
Menurut Rachmawati (2000), zeolit dapat digunakan untuk mengurangi pencemaran gas amonia dan H2S pada kotoran ayam. Zeolit mempunyai struktur berongga dengan ukuran pori tertentu yang dapat berisi air atau ion yang dapat dipertukarkan dengan ion-ion lain tanpa merusak stuktur zeolit dan dapat menyerap air, molekul lain, dan gas CO2 dan H2S secara reversible. Penggunaan zeolit dapat pula dikombinasi dengan penambahan klorin pada kotoran sehingga dapat semakin mengurangi konsentrasi gas pencemar. Sifat klorin yang bersifat antiseptik dapat membunuh mikrorganisme yang terdapat dalam feses.
2.    Pemberian Kapur
Selain zeolit, senyawa lain yang bisa digunakan adalah kapur. Pada peternakan ayam, kapur dapat digunakan untuk membersihkan lantai kandang, mengeringkan, dan mengurangi bau dari kotoran ayam. Penggunaan kapur pada kotoran ayam selain mengurangi cemaran amonia ke udara, juga menghasilkan pupuk dengan kandungan nitrogen tinggi, karena tidak banyak nitrogen yang hilang sebagai amonia. Kehilangan nitrogen pada kotoran merupakan kerugian bagi para peternak, karena menurunkan kualitas pupuk.
3.    Pemberian Probiotik
Selain penggunaan senyawa, mikroba juga dapat digunakan untuk mengurangi pembentukan gas amonia dari feses yaitu menggunakan probiotik starbio yang ditambahkan pada pakan ayam. Mikroba ini bersifat proteolitik, sellulitik, dan lignolitik. Penggunaan mikroba pengurai limbah atau effective microorganism (EM4) juga dapat menurunkan kadar gas amonia dan H2S.
Usaha lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak negatif dari peternakan ayam adalah dengan memanfaatkan kotoran ayam sebagai biogas sehingga diharapkan dapat menimalisasi penumpukan amonia di kandang. Biogas adalah gas yang dihasilkan oleh aktifitas anaerobik atau fermentasi dari bahan-bahan organik salah satunya adalah kotoran ayam. Kandungan utama dalam biogas adalah metana dan karbon dioksida. Metana dalam biogas dapat menghasilkan energi yang lebih besar dengan emisi karbon dioksida yang lebih sedikit.
Selain upaya-upaya tersebut, pada dasarnya upaya yang terbaik untuk menciptakan lingkungan pemukiman yang sehat adalah dengan memperhatikan jarak pembangunan peternakan dengan wilayah pemukiman masyarakat sesuai peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Dalam program Indonesia Sehat 2010, perilaku yang diharapkan adalah perilaku yang proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah risiko terjadinya penyakit, melindungi diri dari ancaman penyakit dan berpartisipasi aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat (Fitriani 2011). Dengan perilaku masyarakat yang demikian, diharapkan tercipta suatu lingkungan pemukiman yang kondusif bagi terwujudnya keadaan sehat yaitu lingkungan yang bebas dari polusi, tersedianya air bersih bebas pencemaran, dan sanitasi lingkungan yang memadai.




SIMPULAN

Pembangunan peternakan unggas disekitar lingkungan pemukiman memiliki dampak yang membahayakan terhadap kesehatan masyarakat disekitar peternakan, terutama peternakan kecil yang seringkali berada sangat dekat dengan rumah warga. Hal ini disebabkan oleh limbah peternakan yang dihasilkan yang seringkali tidak diolah dan dapat mencemari lingkungan, serta efek lain yang ditimbulkan seperti bau dan kemunculan lalat.
Terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak negatif dari keberadaan peternakan disekitar wilayah pemukiman, namun upaya terbaik adalah dengan selalu memperhatikan jarak pembangunan peternakan dengan wilayah pemukiman masyarakat sesuai peraturan pemerintah agar tidak memberikan mengganggu kesehatan masyarakat.



DAFTAR PUSTAKA

Casey KD, Bicudo JR, Schimidt DR, Singh A, Gay SW, Gates RS, Jacobson LD, Haff SJ. 2006. Air quality and emission from livestock and poultry production waste management system in animal agriculture and the environment. National Centre for Manure and Animal Waste Management White Paper. Pp 1-40.
Entjang. 2000. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Fitriani A. 2007. Rumah Sederhana Sehat [skripsi]. Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia.
Fitriani S. 2011. Promosi Kesehatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
[Kepmenkes] Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
 [Kepmentan] Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 420/Kpts/Ot.210/7/2001 tentang Pedoman Budidaya Ternak Ayam Buras yang Baik (Good Farming Practice). Jakarta: Kementrian Pertanian.
[Kepmentan] Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 424/Kpts/Ot.210/7/2001 tentang Pedoman Budidaya Ternak Ayam Pedaging yang Baik (Good Farming Practice) Jakarta: Kementrian Pertanian.
[Kepmentan] Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 425/Kpts/OT.210/7/2001 tentang Pedoman Budidaya Ternak Ayam Petelur yang Baik (Good Farming Practice). Jakarta: Kementrian Pertanian.
Leeson S, Summers JD. 2000. Commercial Poultry Nutrition 3rd Ed. Canada: University Books.
Martin RW, JR Mihelcic, & JC Crittenden. 2004. Design and performance characterization strategy using modeling for biofiltration control of odorous hydrogen sulfide. J. Air Waste Manage. Assoc. 54: 834.
[NRC] National Research Council. 2003. Air Emmision from Animal Feeding Operation. Washington DC : National Academy Press.
[OSHA] Occupational Safety and Health Administration. 2005. OSHA Fact Sheet. U.S. Department of Labour. www.osha.gov. [10 November 2014].

Pohan N. 2002. Pencemaran Udara dan Hujan Asam [Laporan Penelitian]. Medan : Program Studi Tehnik Kimia Universitas Sumatera Utara.

Praja M. 2006. Gas Penyebab Emisi Udara. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
Prasetyanto N. 2011.  Kadar H2S, NO2, dan Debu Pada Peternakan Ayam Broiler dengan Kondisi Lingkungan yang Berbeda di Kabupaten Bogor, Jawa Barat [Skripsi]. Bogor:  Institut Pertanian Bogor.
Rachmawati S. 2000. Upaya Pengelolaan Lingkungan Usaha Peternakan Ayam. J wartazoa vol. 9 No. 2 Th. 2000.

Salim E. 2002. Green Company. Jakarta: PT. Astra Internasional Tbk.

Shakespeare M.  2009.  Zoonoses.  London: Pharmaceutical Pr.
Soedomo, M. 2001. Pencemaran Udara (Kumpulan Karya Ilmiah). Bandung: Penerbit Institut Teknologi Bandung Press.
Soemirat JS. 2002. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: UGM Press.

Sugiyono. 2013. 2013 ini, Konsumsi Daging Ayam Bakal Naik 15.79%. www.livestockreview.com/2013/02/2013-ini-konsumsi-daging-ayam-bakal-naik-15-79/ [9 November 2014].

Sunu P. 2001. Melindungi Lingkungan dengan Menerapkan ISO 14001. Jakarta: PT. Grasindo.
Wolfe ND, Daszak P, Kilpatrick AM, Burke DS. 2005. Bushmeat hunting, deforestation, and prediction of zoonotic disease emergence. J Emerg Infect Dis 11 (12):1822-1827.
Yatmiko A. 2008. Kondisi Biosekuriti Peternakan Unggas Sektor 4 di Kabupaten Cianjur [Skripsi]. Bogor:  Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Yusdja Y, Basuno E, Ilham N. Alternatif Kebijakan dan Strategi: Pengendalian Wabah AI pada Usaha. Peternakan Ayam Skala Kecil di Indonesia. http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/Semnas_250209_6 [1 November 2014].



Nah seperti itulah sedikit penjelasan dari saya yang saya peroleh dari berbagai literatur. Ternyata untuk membuat suatu hunian yang nyaman dan baik untuk kesehatan masyarakat juga banyak peraturan yang harus diindahkan ya,,,.
Semoga bermanfaat :)

Salam,
Dohe Cilik