About Me

test

Manusya Mriga Satwa Sewaka


Senin, 07 November 2016

Pengendalian Foodborne Disease yang disebabkan oleh Parasit

PENDAHULUAN


Latar Belakang

Zoonosis adalah penyakit atau infeksi yang ditularkan secara alamiah diantara hewan vertebrata dan manusia. Peternakan di Indonesia rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk  zoonosis. Zoonosis merupakan ancaman baru yang menjadi perhatian terkait dengan kesehatan manusia. Berkembangnya zoonosis dalam beberapa tahun terakhir menjadi tanda bertambahnya ancaman penyakit yang mematikan bagi manusia yang ditularkan oleh hewan. Sampai saat ini, terdapat tidak kurang dari 300 penyakit hewan yang dapat menulari manusia. Dalam 20 tahun terakhir, 75% penyakit baru pada manusia terjadi akibat perpindahan patogen dari hewan ke manusia atau bersifat zoonotik, dan dari 1 415 mikroorganisme patogen pada manusia, 61.6% bersumber dari hewan (Widodo 2008). Zoonosis dapat ditularkan dari hewan ke manusia melalui beberapa cara, yaitu kontak langsung dengan hewan pengidap zoonosis dan kontak tidak langsung melalui vektor atau mengonsumsi pangan yang berasal dari ternak sakit, atau melalui aerosol di udara ketika seseorang berada pada lingkungan yang tercemar (Suharsono 2002; Nicholas dan Smith 2003). Penyakit yang diderita ternak selama pemeliharaan dapat menular ke manusia melalui konsumsi bahan pangan asal ternak tersebut. Berbagai penyakit ternak saat ini sedang berjangkit di  beberapa daerah di Indonesia.
Zoonosis mencakup berbagai penyakit menular yang secara biologis berbeda satu dengan lainnya. Banyaknya penyakit yang dapat digolongkan sebagai zoonosis dikarenakan adanya perbedaan yang kompleks di antara penyakit tersebut. Penyakit zoonosis dapat dibedakan antara lain berdasarkan penularannya, reservoir utamanya, asal hewan penyebarnya, dan agen penyebabnya (Suharsono 2002; Soejodono 2004;  Murdiati dan Sendow 2006). Berdasarkan agen penyebabnya, zoonosis dibedakan atas zoonosis yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, atau yang disebabkan oleh parasit. Cleaveland et al. (2001) mengidentifikasi adanya 1.415 spesies organisme penyakit yang diketahui bersifat patogen bagi manusia, meliputi 217 virus dan prion, 538 bakteri dan rickettsia, 307 fungi, 66 protozoa, dan 287 parasit cacing.
Keamanan pangan merupakan salah satu hal penting dalam kesehatan masyarakat terutama berkaitan dengan produk pangan asal hewan. Hal tersebut berhubungan dengan keamanan produk baik dari nilai gizi maupun kandungan mikrobiologinya. Pangan yang tidak aman dapat menyebabkan penyakit pada manusia dan dapat membahayakan kesehatan konsumennya.
Agen penyakit zoonotik dapat ditularkan dari hewan ke manusia salah satunya dapat ditularkan melalui makanan yang dikenal dengan istilah foodborne zoonosis. Salah satu agen penyakit yang dapat ditularkan melalui makanan ialah parasit. Keamanan pangan merupakan suatu kebutuhan mutlak bagi konsumen termasuk keamanan pangan asal hewan, terutama berkaitan dengan parasit. Hal ini dikarenakan keberadaan parasit dapat menyebabkan penurunan kualitas pangan dan gangguan kesehatan pada manusia. Parasitic foodborne yang menginfeksi manusia ditimbulkan oleh spesies dari protozoa dan helminth. Transmisi parasit biasanya melalui makanan yang dikonsumsi manusia (Murrel 2013).

Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan penyakit zoonotik yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia melalui makanan yang disebabkan oleh parasit sehingga dapat diketahui bagaimana dampak dari penularan zoonosis serta bagaimana upaya untuk mengendalikannya.




TINJAUAN PUSTAKA


Parasitic foodborne yang menginfeksi manusia ditimbulkan oleh spesies dari protozoa dan helminth. Transmisi parasit biasanya melalui makanan yang dikonsumsi manusia (Murrel 2013). Beberapa penyakit zoonosis cacing yang ditularkan melaui makanan ini bisa menyebabkan kematian, contohnya Trichinellosis, cerebral cysticercosis. Sedangkan yang bersifat kronis dan hanya menyebabkan sakit ringan contohnya Intestinal taeniasis. Di beberapa negara, pencegahan keterpaparan manusia terhadap parasit ini biasanya dibawah pengawasan pelayanan kesehatan hewan. Beberapa parasit seperti parasit protozoa Toxoplasma, Cryptosporidia, dan Cyclospora serta jenis parasit yang ditularkan melalui ikan seperti cacing hati dan pencernaan secara umum belum ada pengawasan khusus dari pihak berwenang. Walaupun didalam perdagangan ikan sudah dilakukan inspeksi dan jika ditemukan ikan terinfeksi akan dilakukan pengobatan untuk mematikan parasit (Murrel 2013). Beberapa contoh penyakit yang ditularkan melalui makanan antara lain:
1.      Kelompok Helminth
a.       Trichinellosis
Trichinella spiralis penyebarannya kosmopolit dan merupakan spesies dari genus Trichinella yang sering menimbulkan outbreak pada manusia. Walaupun beberapa outbreak T. spiralis ditularkan melalui daging dari babi hutan, sebagian trichinellosis yang menyerang manusia disebabkan oleh konsumsi daging babi yang terinfeksi. Manusia yang terinfeksi dari memakan daging kuda yang terinfeksi sering ditemukan di Eropa sehingga sampai saat ini masih dilakukan pemeriksaan yang efektif untuk kuda impor (Murrell 2013).
Transmisi penyakit ini dapat disebabkan dari beberapa siklus (Murrell 2013) yaitu:
1)        Siklus domestik. Babi mengonsumsi sisa daging babi mentah dari dapur restoran atau rumah potong hewan. Penularan lain dapat melalui kanibalisme yaitu babi yang mati dalam satu kandang tidak segera dipisahkan dengan babi yang hidup, dan penularan juga dapat terjadi melalui mengonsumsi tikus yang terinfeksi yang tinggal di peternakan babi.
2)        Siklus silvatik. Siklus ini terjadi di alam antara karnivora yang bersifat kanibalistik seperti pemburuan liar yang menggunakan bangkai babi yang terinfeksi sebagai umpan sehingga meningkatkan prevalensi infeksi Trichinella.
3)        Siklus artik. Siklus ini berhubungan dengan siklus silvatik yang terjadi pada hewan liar yang terinfeksi trichinosis dan dimakan oleh hewan yang memiliki habitat di benua artik. Siklus ini terjadi tanpa kontrol manusia. Manusia dapat terinfeksi apabila mengonsumsi daging dari hewan yang terinfeksi di benua artik.

Gambar 1. A. Host Trichinella B. Stadium dewasa (Murrell 2013)

Trichinella adalah parasit intraselular yang stadium dewasanya tertanam pada epitel usus kecil, dan larva bermigrasi otot rangka lurik dan membentuk kista intraselular (trichinae). Inang dari Trichinella termasuk sebagian besar mamalia, burung, dan reptile tetapi khususnya spesies dari Suidae (Gambar 1). Di dalam genus Trichinella, ada 8 spesies yang ditemukan tetapi hanya T. spiralis yang merupakan risiko utama pada babi yang berhubungan dengan outbreak;  spesies silvatik yang dijumpai sebagai hewan liar, T. pseudospiralis dan T. britovi merupakan spesies yang jarang ditemukan pada babi ternak. Genotip ini memiliki persebaran geografis yang terbatas dibandingkan T. spiralis. Trichinellosis bisa menjadi fatal bagi manusia, tetapi tidak menimbulkan sakit pada hewan (Murrell, 2013).

b.    Taeniosis dan Cysticercosis
Taeniasis adalah penyakit cacing pita yang disebabkan oleh cacing Taenia dewasa, sedangkan sistiserkosis adalah penyakit pada jaringan lunak yang disebabkan oleh larva dari salah satu spesies cacing Taenia. Taeniasis dan sistiserkosis dapat terjadi akibat pemeliharaan ternak yang tidak dikandangkan, pengolahan makanan yang kurang matang, sanitasi lingkungan yang kurang baik, defekasi yang dilakukan tidak pada tempatnya, dan rendahnya pemahaman masyarakata tentang kesehatan lingkungan (Ito et al. 2004).
Taenia spp. adalah cacing pita (tapeworm) yang panjang dan tubuhnya terdiri dari rangkaian segme-segmen yang masing-masing disebut proglotid. Kepala cacing pita disebut skoleks dan memiliki alat isap (sucker) yang mempunyai kait (rostelum). Cacing pita ini termasuk famili Taeniidae, subklas Cestode dan genus Taenia. Beberapa spesies cacing Taenia antara lain, Taenia solium, T. saginata, T. crassiceps, T. ovis, T. taeniaeformis, atau T. hydatigena, T. serialis, T. brauni dan T. asiatica. Larva dari cacing  Taenia disebut metasestoda, menyebabkan penyakit sistiserkosis pada  hewan dan manusia. Sedangkan, cacing dewasa yang hidup di dalam usus halus induk semang definitif (carnivora) seperti manusia, anjing dan sejenisnya, penyakitnya disebut Taeniasis. Berdasarkan laporan dari OIE (2005), T. asiatica  merupakan spesies baru yang ditemukan di Asia yang semula dikenal dengan nama T. taewanensis. T. asiatica hanya ditemukan di beberapa negara di Asia seperti Taiwan, Korea, China (beberapa propinsi), Indonesia (di Sumatera Utara, Papua dan Bali) dan Vietnam (Eom et al. 2002; Ito et al. 2004).
T. saginata adalah cacing pita pada sapi dan T. solium adalah cacing pita pada babi, merupakan penyebab taeniasis pada manusia. Manusia adalah induk semang definitif dari T. solium dan T. saginata, dan juga sebagai induk semang definitif dari T. asiatica (OIE, 2005). Sedangkan, hewan seperti anjing dan kucing merupakan induk semang definitif dari T. ovis, T. taeniaeformis,  T. hydatigena,  T. multiceps, T. serialis dan T. brauni. Pada T. solium dan T. asiatica, manusia juga bisa berperan sebagai induk semang perantara. Selain manusia, induk semang perantara untuk T. solium adalah babi, sedangkan induk semang perantara T. saginata adalah sapi. T. solium yang terdapat pada daging babi menyebabkan penyakit Taeniasis, dimana cacing  tersebut dapat menyebabkan infeksi saluran pencernaan oleh cacing dewasa, dan bentuk larvanya dapat menyebabkan penyakit sistiserkosis.
Siklus hidup Taenia diawali dengan manusia menelan daging dengan sistiserkus, kista evaginasi di dalam saluran gastrointestinal dan tumbuh segment reproduktif atau prologtid, masing-masing segmen menghasilkan telur dalam jumlah besar yang bergerak ke feses. Sistiserkus menginfeksi jaringan babi dan sapi. Pada T. solium, manusia sebagai inang antara dimana larva atau sistiserkus bisa berkembang. Ketika babi atau sapi maupun manusia terjadi pada T. solium, menelan telur, onkosfer bergerak dan penetrasi ke jaringan intestinal dan masuk pembuluh darah, dimana ia beredar sampai tersaring pada otot rangka dan jantung, sistiserkus bisa juga menyerang mata atau sistem saraf pusat yang menyebabkan epilepsy (Muller 2013).
Cacing T. saginata pada daging sapi hanya menyebabkan infeksi pada pencernaan manusia oleh cacing dewasa. Penyakit Taeniasis tersebar di seluruh dunia dan sering dijumpai dimana orang-orang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi daging sapi atau daging babi mentah atau yang dimasak kurang sempurna. Selain itu, pada kondisi kebersihan lingkungan yang jelek, makanan sapi dan babi bisa tercemar feses manusia yang bisa menyebabkan terjadinya penyakit tersebut. Kejadian penyakit Taeniasis paling tinggi di Negara Afrika, Asia Tenggara dan negara-negara di Eropa Timur. Di Indonesia terdapat tiga provinsi yang berstatus endemi penyakit Taeniasis/sistiserkosis yaitu: Sumatera Utara, Papua dan Bali (Ito et al. 2004).



Gambar 2. Siklus hidup Taenia (Murrell 2013)


Sistiserkosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh larva Taenia solium (cacing pita pada babi) dan Taenia saginata (cacing pita pada sapi). Nama lain dari larva adalah metacestoda, cacing gelembung, kista atau Cysticercus cellulose dan Cysticercus bovis. Gejala klinis yang ditimbulkan sistiserkosis pada manusia adalah infeksi jaringan dalam bentuk larva Taenia (sistiserkus) akibat termakan telur cacing (Muller 2013).
Pada umumnya, T. solium jarang ditemukan di daerah yang berpenduduk muslim karena tidak memakan daging babi. Akan tetapi, di beberapa daerah seperti Papua dan Timor merupakan problem kesehatan masyarakat, karena penduduknya masih mengkonsumsi daging babi yang tercemar sistiserkus. Penyakit Taeniasis dan sistiserkosis sangat  berkaitan erat dengan faktor sosio-kultural, seperti cara pemeliharaan ternak yang tidak dikandangkan dan kebiasaan pengolahan makanan yang kurang matang serta kebiasaan makan yang kurang sehat dan masih rendahnya pemahaman masyarakat tentang kesehatan lingkungan (Muller 2013).

c.    Anisakiasis
Anisakiasis merupakan infeksi tahap larva nematoda dari famili Anisakidae, terutama dari dua genus: Anisakis dan Pseudoterranova. Anisakis simplex adalah spesies patogen yang paling umum (Lymbery dan Cheah 2007). Siklus hidup Anisakidae melibatkan krustasea kecil sebagai host pertama, ikan dan cumi sebagai host kedua, dan mamalia laut sebagai host definitif. Manusia merupakan accidental hosts karena tertular akibat mengkonsumsi host sekunder. Sejumlah besar ikan dan Cephalopoda spesies laut diyakini terkait dengan penularan parasit ini. Anisakiasis adalah penyakit zoonosis serius yang disebabkan oleh konsumsi ikan mentah atau setengah matang yang mengandung larva dari parasit. A. simplex menyebabkan infeksi akut atau dengan gejala klinis sakit perut, mual, muntah, dan diare. Beberapa pasien menunjukkan adanya gejala klinis berupa alergi setelah terinfeksi atau setelah mengkonsumsi larva mati (Audicana dan Kenneddy 2008).
Anisakiasis pada manusia menyebabkan nyeri luka pada lambung serta menyebabkan sindrom alergi. Secara morfologi parasit Anisakis sp dapat dibedakan dari parasit Anisakidae lainnya dengan melihat bagian anterior end (booring tooth) dan bentuk ventriculusnya dengan menggunakan mikroskop stereo (Gambar 3). Bagian ventrikulus parasit ini tampak memanjang dan bahkan dapat terlihat dengan mata tanpa mikroskop dimana ventrikulus tampak seperti bintik putih (Anshary 2011).

Gambar A

Gambar B
Gambar 3. (A) ventriculus parasit Anisakis sp (tanda panah) (B) bagian anterior parasit Anisakis sp tampak boring apparatus pada bagian anterior-end dari parasit tersebut (tanda panah) (Anshary 2011)

Siklus hidup parasit Anisakis sp diawali dengan setelah lumba-lumba dan hewan lainnya yang merupakan inang utama parasit Anisakis sp mengeluarkan feses yang mengandung telur parasit ke laut selanjutnya telur menetas menjadi larva stadia 1. Selanjutnya larva stadia 1 tersebut dimakan oleh krustaceae kecil yang merupakan inang perantara pertama seperti Euphasia atau Thysaniessa, dan menjadi larva parasit stadia II dan III. Krustasea tersebut lalu dimakan oleh ikan sebagai inang perantara kedua dan larva parasit berubah menjadi larva stadia III dan IV pada ikan. Jika ikan dimakan lumba-lumba parasit akan berkembang menjadi dewasa pada lumba-lumba dan siklus hidup menjadi lengkap. Manusia dapat berfungsi sebagai inang insidential, jika memakan ikan mentah yang terinfeksi oleh larva parasit ini maka parasit akan menginfeksi manusia dan menyebabkan penyakit Anisakiasis. Anisakiasis telah dilaporkan di beberap Negara yang mengkonsumsi ikan mentah seperti Jepang, Korea, dan beberapa Negara di Eropa. Kasus di Indonesia tentang Anisakiasis belum banyak dilaporkan. Namun hasil penelitian Ugaet et al. pada tahun 1996 dengan pendekatan sero-epidemiologi menunjukan adanya kasus Anisakiasis yang relative tinggi di Sidoarjo, Jawa Timur yang disebarkan oleh Anisakis typica (Anshary 2011).

2. Kelompok Protozoa
a.     Giardia
Spesies dari genus Giardia yang menginfeksi manusia (dan mamalia lain) dan menyebabkan giardiasis adalah Giardia duodenalis, kadang-kadang disebabkan oleh Giardia lamblia atau Giardia intestinalis. Spesies lain seperti Giardia muris hanya menginfeksi mamalia lain (rodensia, burung, dan reptil). Di Negara berkembang, giardiasis berhubungan dengan wisatawan, dan infeksi melalui transmisi fecal/oral.
Giardia memiliki 2 stadium siklus hidup; tropozoit reproduksi dan stadium kista. Kista yang tertelan masuk ke duodenum, terjadi eksistasi menghasilkan 2 tropozoit. Pembelahan secara cepat melaui reproduksi aseksual dan berkoloni di usus halus. Selama stadium tropozoit terjadi gejala klinis dikarenakan rusaknya membrane mukosa usus. Tropozoit memiliki panjang 9-21 µm dan lebar 5-15 µm memiliki ujung yang runcing yang terdiri dari 2 nuklei dan 4 flagella. Kista berbentuk ovoid dengan panjang 9-12 µm diletakan pada feses. Tropozoit infektif (Dawson 2005). Dosis infeksi Giardia antara 10-100 kista. Periode inkubasi pada manusia sekitar 1-2 minggu. Menimbulkan diare, mual dan perut kembung.

b.   Cryptosporidium
Cryptosporadium penyebab diare pada ternak dan manusia, dan organism yang pertama ditemukan di dunia kesehatan hewan. Walaupun kasus pertama cryptosporidiosis dilaporkan tahun 1976, penemua cryptosporidiosis sebagai penyakit pada manusia muncul bersamaan pada pasien AIDS pada tahun 1970an dan 1980an. Ada beberapa spesies dari genus Cryptosporadium tetapi penyebab utama kasus pada manusia disebabkan oleh Cryptosporadium parvum yang dapat menyebabkan thrombospondin-related adhesive protein (TRAP-C2) (Dawson 2005).
Siklus hidup Cryptosporidium hanya terjadi pada 1 inang dan ookista di feses. Ookista berdiameter 4-6 µm dan terdiri dari 4 crescent-shaped struktur infektif-sporozoit. Setelah tertelan ookista keluar di dalam usus halus membentuk sporozoit. Sporozoit menempel pada epitel usus dan memulai infeksi. Yang berkembang ke stadium multiplikasi aseksual dan seksual, formasi zigot, ookista dan sporulasi. Masng-masing stadium ditemukan di sitoplasma sel dan setelah periode inkubasi 2-10 hari, terjadi gejalan klinis (Dawson 2005).
Manusia terinfeksi Cryptosporidiosis karena mengkonsumsi makanan atau air yang terkontaminasi ookista C. parvum. Diare adalah gejala utama dari infeksi C. parvum yang diikuti sakit perut dan muntah. C. parvum ookista tersebar luas di lingkungan dan sering ditemukan di permukaan air dan mata air yang dangkal. Penyebab dari pencemaran lingkungan termasuk limpasan pertanian serta limbah buangan. Ookista bertahan dengan baik dalam dingin, kondisi lembab (Dawson 2005).

c.  Cyclospora
Banyak spesies Cyclospora ditemukan pada hewan. Cyclospora cayetanensis adalah spesies yang ditemukan pada manusia. Parasit ini ditemukan pertama kali sebagai pathogen manusia tahun 1977 (Dawson 2005).
Siklus hidup secara keseluruhan dari C. cayetanensis belum diketahui walaupun ditemukan parasit dalam sel yang melapisi usus kecil dari inang. Siklus hidup memuncak dalam produksi ookista. Ookista berdiameter 8-10 µm dan dengan demikian lebih besar daripada Cryptosporidium. Ookista banyak ditemukan di feses. Namun, tidak seperti Cryptosporidium, kadang-kadang diperlukan di luar usus untuk terjadi sporulasi (Dawson 2005).
Akhirnya ookista yang sudah matang berkembang yang berisi dua sporokista bulat telur, masing-masing berisi dua sporozoit infektif. Studi dari ookista manusia dan baboon menunjukkan bahwa sporulasi optimal terjadi pada 20-22 oC dalam waktu 14 hari. Waktu inkubasi untuk Cyclospora, dari konsumsi ookista untuk timbulnya gejala, adalah antara 2-11 hari, tetapi biasanya sekitar 1 minggu. Pada individu yang daya tahan tubuh kurang penyakit biasanya berlangsung selama 2 minggu. Gejalanya meliputi diare tidak berdarah, kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan, kram perut, mual, muntah, kelelahan dan demam. Gejala dapat mengikuti kontraksi kambuh dan remisi. Cyclosporiasis secara efektif diobati dengan trimetho-formal-sulphame thoxazole (Dawson 2005).
Biologi Cyclospora kurang dipahami dengan baik dibandingkan Cryptosporidium dan Giardia, tapi sampai saat ini wabah penyakit bawaan makanan terbesar dikaitkan dengan parasit ini. Mereka terjadi selama akhir 1990-an di Amerika Utara, dan banyak dikaitkan dengan konsumsi raspberry segar yang diimpor dari Guatemala. Tidak seperti Cryptosporidium dan Giardia, penularan orang ke orang Cyclospora tidak mungkin karena masa diperlukan untuk sporulasi dari ookista di luar inang (Dawson 2005).
Reservoir C. cayetanensis belum diidentifikasi pada hewan. Sangat mungkin bahwa transmisi paling signifikan dapat terjadi pada limbah atau kontaminasi oleh limbah buangan manusia dapat mempengaruhi manusia atau mencemari tanaman. Cyclosporiasis telah terjadi sebagai penyakit yang ditularkan melalui air serta penyakit bawaan makanan (Dawson 2005).

d. Toksoplasmosis
Toksoplasmosis disebabkan oleh parasit obligat intraselular yaitu Toxoplasma gondii. Parasit ini merupakan golongan protozoa yang hidup bebas di alam, pertama kali ditemukan pada limfa dan hati hewan pengerat (rodensia) Ctenodactyles gondii (gundi) di Sahara Afrika Utara (Saridewi 2008).
Toksoplasmosis memiliki masa inkubasi 10-23 hari bila penularan melalui daging yang kurang matang dan 5-20 hari memalui ookista pada feses kucing. Penularan juga dapat melalui transplasentan wanita hamil ke anaknya. Transmisi dapat terjadi memalui cara berikut ini: a) transmisi transplasental dari wanita hamil yang terinfeksi kepada janin yang dikandungnya (toksoplasmosis congenital), b) konsumsi daging mentah atau kurang matang yang mengandung kista jaringan atau takizoit, c) konsumsi air, susu, sayuran atau buahan yang terkontaminasi ookista, atau menelan ookista yang berasal dari tanah, d) infeksi di laboratorium akibat bekerja dengan hewan percobaan yang terinfeksi dengan Toxoplasma gondii, melalui jarum suntik, alat laboratorium lain yang terkontaminasi dengan Toxoplasma gondii, serta dapat terinfeksi pada saat melakukan autopsy hewan terinfeksi, e) transfuse darah atau transplantasi organ dari donor yang menderita toksolasmosis laten (Saridewi 2008).
Daging merupakan rute penularan yang banyak dilaporkan. Babi, kambing, dan domba merupakan ternak yang sangat penting sebagai sumber penularan T. gondii. Selain ternak tersebut, sapi, unggas dan hewan buruan juga berperan sebagai sumber penularan (Saridewi 2008). 
           


PEMBAHASAN


Akhir-akhir ini masalah keamanan pangan menjadi salah satu isu yang menarik perhatian dunia. Foodborne zoonosis disease menjadi permasalahan utama yang mendapat perhatian tinggi terutama karena kaitannya terhadap keamanan pangan. Keberadaan parasit pada produk pangan asal hewan tidak hanya dapat merugikan industri peternakan dan perikanan secara umum, tetapi juga membahayakan kesehatan manusia sebagai konsumennya. Menurut Torgerson et al. (2014), foodborne zoonosis disease  menimbulkan morbiditas dan mortalitas tinggi pada populasi manusia.
Foodborne disease seringkali dipandang sebagai penyakit yang ringan dan dapat sembuh dengan sendirinya terutama foodborne parasitic disease dimana biasanya penyakit jarang yang bersifat akut. Meskipun terkadang memang benar demikian, namun pada banyak kasus konsekuensi kesehatan yang terjadi justru dapat menjadi serius dan bahkan dapat mengakibatkan kematian. Persepsi yang salah ini sebagian terjadi karena kurangnya perhatian yang diberikan terhadap masalah tersebut. Konsekuensi kesehatan akibat foodborne disease bervariasi menurut patogen penyebabnya, tahapan dan lamanya pengobatan, juga dengan usia dan faktor lain yang berkaitan dengan daya tahan dan kerentanan seseorang. Pada kebanyakan kasus, pasien dengan fungsi kekebalan yang baik akan sembuh dalam beberapa hari atau beberapa minggu. Namun, pada kasus lain, khususnya di kalangan kelompok masyarakat yang rentan (seperti lansia, bayi, anak kecil, ibu hamil dan orang yang mengalami malnutrisi serta gangguan kekebalan), beberapa penyakit bawaan makanan dapat berakibat fatal terutama jika tidak tersedia pengobatan yang memadai.
Penyakit yang disebabkan oleh foodborne parasite terjadi akibat mengkonsumsi daging/ikan mentah atau hidangan asal hewan yang tidak dimasak atau diproses dengan baik sehingga tidak membunuh parasit yang terkandung di dalamnya. Selain itu, perlakuan terhadap kebersihan produk hewan atau produk pangan asal hewan yang tidak baik sehingga memungkinkan adanya vektor yang dapat menjadi pembawa parasit mencemari makanan. Oleh karena itu salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memperhatikan proses pengolahan pascapanen. Hal ini sangat penting karena proses pengolahan pascapanen adalah titik kritis utama untuk mendapatkan pangan yang aman dan layak konsumsi.
Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk pengendalian dan pencegahan bahaya dalam pangan terkait foodborne parasitic disease yaitu dengan menerapkan praktik higienis mulai dari pertanian/peternakan/perikanan sampai meja makan, melalui penerapan Good Agriculture Parctices (GAP)/Good Farming Practices (GFP), Good Slaughtering Practices, Good slaughtering practices, Good distribution Parctices, Good Manufacturing Practices (GMP) serta dengan menerapkan sistem jaminan mutu pada perusahaan atau industry pengolahan pangan, seperti Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP), GMP, NKV, ISO dll.
Penerapan sistem rantai dingin terhadap bahan baku pangan asal hewan, pemenuhan persyaratan alat transportasi dan bangunan serta penerapan higiene personal juga sangat perlu untuk dilakukan. Untuk setiap bahan pangan asal hewan haruslah berasal dari hewan atau ternak yang sehat (diawasi oleh petugas kesehatan hewan), pemeriksaan postmortem, selalu menerapkan rantai dingin dalam setiap proses pengolahan, menggunakan peralatan yang terjaga sanitasi dan kebersihannya (terbuat dari bahan yang tidak mencemari bahan makanan seperti stainless stell), menggunakan air yang memenuhi syarat air minum, menggunakan kemasan yang bersih, higienis, dan tidak terbuat dari bahan yang dapat mencemari bahan pangan, memisahkan antara daging dengan jeroan, memisahkan antara bahan pangan segar dengan bahan pangan lain yang sudah matang (sudah dimasak). Penerapan Cold Chain System (sistem rantai dingin), selama produksi pangan, penyimpanan dan transportasi/ distribusi pangan asal hewan mutlak dilakukan (harus selalu disimpan dalam suhu <4 °C), hal ini bertujuan untuk mencegah dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada bahan pangan/ makanan serta mencegah pencemaran dari vektor penyakit.
Pada kasus foodborne disease sangat penting untuk memperhatikan peran lalat dalam memindahkan agen penyakit dari tempat yang kotor ke makanan. Penyebaran agen penyakit dapat berlangsung cepat dan luas karena lalat rumah dapat terbang sampai jarak 20 mil. Lalat rumah bahkan dapat terbang lebih dari 32 km. Potensi M. domestica yang tinggi sebagai vektor penyakit juga dipengaruhi oleh kemampuan bereproduksi lalat rumah yang sangat hebat, oleh sebab itu sering terjadi ledakan. Setelah lima bulan perkawinan akan dihasilkan 191.010.015.000.000.000.000.000 ekor lalat dewasa baru. Pemindahan agen penyakit secara mekanis oleh lalat perlu diperhatikan karena lalat memiliki perilaku defekasi dan regurgitasi. Kekentalan feses meningkatkan efisiensi dari bulu lalat dalam membawa ookista dan partikel lain. Mekanisme pemindahan agen penyakit, biologi dan ekologi lalat mengindikasikan bahwa lalat berpotensi tinggi untuk menyebarkan C. parvum dan G. lamblia. Lalat memiliki peran penting pada kesehatan manusia. Wabah foodborne disease yang terjadi selalu dihubungkan dengan meningkatnya populasi lalat (Santi 2001).
Selain itu, upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah penularan foodborne parasitic disease ialah dengan memperhatikan higiene personal. Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah penularan dari parasit protozoa (Giardia sp., Cryptosporidium sp., Cyclospora sp., Toxoplasma sp.) yaitu:
1.    Cuci tangan dengan air bersih dan sabun sebelum memegang/mengolah  makanan, setelah dari kamar mandi, dan setelah menyentuh/menangani hewan.
2.    Memastikan individu terinfeksi mencuci tangan mereka sesering mungkin terutama setelah dari kamar mandi dan saat menangani makanan untuk mengurangi penyebaran infeksi.
3.    Minum air hanya dari air matang minimal telah mendidih selama 1 menit untuk membunuh parasit.
4.    Jangan menelan air saat berenang (protozoa banyak ditularkan melalui air kolam) dan jangan berenang di kolam jika dalam suatu komunitas tersebut diketahui tertular giardiasis, cyclosporiasis, atau cryptosporidiosis.
5.    Selalu memastikan makanan yang dimasak telah matang sempurna sampai bagian internal.
6.    Tidak meminum susu mentah atau daging mentah tanpa perlakuan apapun (minimal pasteurisasi susu).
7.    Cuci dengan bersih kemudian kupas serta memasak buah-buahan mentah dan sayuran sebelum makan.
8.    Terutama bagi ibu hamil, sangat penting memeriksakan kesehatan tubuh dan imunitas tubuh untuk menhindari terinfeksi protozoa khususnya toksopasmosis.
9.    Penularan toksoplasmosis terkait hygiene sanitasi didapur oleh karena itu sangat penting untuk selalu cuci tangan, talenan, dan peralatan lainnya secara menyeluruh dengan air panas, air sabun setelah menangani daging mentah.
10.    Apabila memelihara kucing, upayakan selalu membersihkan kotoran kucing setiap hari karena kucing kotoran lebih dari satu hari dapat mengandung parasit dewasa.
11.  Cuci tangan secara menyeluruh dengan air hangat dan sabun setelah menangani kucing, membersihkan tempat kotoran kucing, terutama sebelum menangani atau makan makanan (USDA 2015).
Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah penularan dari parasit helminth juga tidak jauh berbeda dengan pencegahan untuk protozoa. Khusus untuk produk pangan asal ikan, menurut peraturan yang berlaku di Eropa (EC Regulation 2004), semua bagian dari produk ikan sebaiknya dibekukan dengan suhu minimal -20°C tidak kurang dari 24 jam untuk ikan yang akan dikonsumsi mentah atau setengah matang, atau untuk produk asal ikan yang mengalami proses pengasapan (suhu internal <60°C). Perlakuan ini juga harus dilakukan pada produk yang hanya mengalami pengasinan atau penggaraman atau produk dengan perlakuan tertentu yang diperkirakan tidak dapat membunuh larva. Sementara di Amerika Serikat, peraturan dari Food and Drug Administration mewajibkan bahwa ikan dan produk laut yang akan dikonsumsi mentah atau setengah matang harus mengalami  blast frozen sampai suhu -35°C atau lebih rendah selama 15 jam, atau dapat pula dengan pembekuan pada suhu -20°C atau lebih rendah selama 7 hari.
Larva parasit sensitif pada garam hanya pada kondisi tertentu. Diperkirakan bahwa penyimpanan ikan dalam larutan garam dengan 6.3% garam dan 3.7% acetic acid merupakan kemampuan bertahan maksimal bagi larva. Pada produksi industri biasanya diberi perlakuan penggaraman kering dengan total waktu yang dibutuhkan untuk membunuh parasit ialah selama 20 hari. Selain penggaraman, upaya yang dapat dilakukan adalah dengan pemanasan. Beberapa penelitian menemukan bahwa pemanasan minimal 60°C selama 1 menit dapat membunuh berbagai larva dalam produk ikan. Upaya lain adalah dengan tekanan hidrostatik yang dapat membunuh larva. yaitu dengan pemberian 200 MPa selama10 menit pada suhu 0°C sampai 15°C, atau 140 MPa selama 60 menit pada 0°C sampai 15°C). Larva parasit juga dapat dibunuh dengan pemberian iradiasi dosis lebih tinggi dari 6 sampai10 kGy. Pengasapan panas pada suhu 70°C sampai 80°C selama 3-8 jam juga diyakini dapat membunuh larva (Pozio 2013).
Insiden dari fishborne parasite dapat dikurangi bahkan dieliminasi apabila konsumsi terhadap produk-produk tersebut dihindari. Namun pada aplikasinya target ini sangat sulit dicapai karena semakin banyaknya konsumen yang tertarik untuk mengkonsumsi berbagai macam hidangan ikan tradisional yang menyajikan ikan segar atau ikan yang hanya melalui proses pengolahan sederhana. Metode sederhana untuk mengontrol fishborne parasitic disease dapat melalui proses identifikasi dan pengobatan individu yang sakit, kampanye edukasi terhadap konsumen, dan pemberian medikasi preventif secara massal. Walaupun hasil yang didapat cukup sukses pada beberapa negara seperti Jepang dan Korea, namun metode ini secara umum tidak mencapai target yang diharapkan pada banyak negara terlihat dari tingkat kejadian penyakit yang tidak menurun secara signifikan. Salah satu penyebabnya antara lain terjadinya reinfeksi akibat konsumsi produk berisiko. Oleh karena itu terdapat upaya untuk memproduksi ikan yang bebas dari parasit sehingga dapat disajikan dalam bentuk mentah maupun melalui proses sederhana salah satunya dengan budidaya akuakultur (Santos dan Howgate 2011).
Selain itu, upaya untuk penangulangan vektor lalat meliputi tindakan penyehatan lingkungan dengan menghilangkan tempat-tempat pembiakan lalat, melindungi makanan dari kontaminasi oleh lalat serta membasmi larva lalat dan lalat dewasa. Tindakan-tindakan penyehatan lingkungan harus bertujuan melenyapkan semua tempat-tempat pembiakan lalat yang ada dan yang potensial, disamping usaha mencegah transmisi penyakit. Tindakan-tindakan yang perlu diambil meliputi:
 1). Melenyapkan atau memperbaiki semua kakus-kakus serta menutupi semua kakus yang memungkinkan lalat langsung berkotak dengan feses manusia.
2). Sampah rumah tangga harus dibuang dalam tempat sampah yang tertutup sehingga mengurangi kesempatan menjadi sarang lalat.
3). Industri  atau peternakan yang memiliki produk limbah dengan kemungkinan tinggi menarik lalat harus segera diberikan perlakuan misalnya dengan penimbunan atau pengolahan tinja.
4). Rumput dan tumbuhan-tumbuhan liar merupakan tempat perlindungan lalat bahkan dapat menjadi tempat pembiakan lalat. Karena itu rumput harus dipotong pendek dan tumbuhan-tumbuhan liar dicabut dan dibuang dari pekarangan-pekarangan dan lapangan-lapangan terbuka.
Tindakan pembasmian larva lalat dapat dilakukan dengan memberi perlakuan pada feses hewan ternak seperti setiap hari diangkat dari kandang lalu segera dijemur diatas lapangan terbuka atau ditimbun dalam tempat-tempat yang tertutup rapat sehingga lalat tidak masuk sehingga tidak memungkinkan lalat berkembang biak didalamnya. Keadaan kering akan mematikan larva dan bahanbahan organik yang kering tidak disukai lalat sebagai tempat bertelur. Timbunan kotoran hewan bisa disemprot dengan diazinon dan malathion (sebagai emulsi) atau insektisida.
 c). Pembasmian lalat dewasa. Untuk membasmi lalat dewasa bisa dilakukan penyemprotan udara : 1). dalam rumah: penyemprotan dengan 0,1% pyrethrum dengan synergizing agents. 2). diluar rumah : fogging dengan suspensi atau larutan dari 5% DDT, 2% lindane atau 5% malathion. Tetapi lalat bisa menjadi resisten terhadap insektisida. Disamping penyemprotan udara (space spraying) bisa juga dilakukan. 3). Residual spraying dengan organophosphorus insecticides seperti : Diazinon 1%, Dibrom 1%, Dimethoote, malathion 5%, ronnel 1%, DDVP dan bayer L 13/59 (Santi 2001).


SIMPULAN

Foodborne disease yang disebabkan oleh parasit baik protozoa maupun cacing banyak ditularkan melalui produk pangan asal hewan. Keberadaan parasit dalam produk pangan yang dikonsumsi oleh manusia sangat membahayakan kesehatan manusia karena dapat menyebabkan gangguan kesehatan seperti gangguan pencernaan baik dalam bentuk ringan dan berat sampai menimbulkan alergi dan shock anafilaksis. Terdapat berbagai macam upaya pencegahan dan kontrol terhadap foodborne parasitic disease yaitu dengan memperhatikan proses pengolahan pascapanen dari bahan pangan yang akan dikonsumsi serta menerapkan sistem kontrol vektor penyebar penyakit yang dapat berhasil apabila terjalin kerjasama dari berbagai pihak.


DAFTAR PUSTAKA


Anshary H. 2011. Identifikasi Molekuler dengan Teknik PCR-RFLP Larva Parasit Anisakis spp (Nematoda: Anisakidae) pada Ikan Tongkol (Auxis thazard) dan Kembung (Rastrelliger kanagurta) dari Perairan Makassar. J. Fish. Sci. XIII (2):70-77.
Audicana MT, Kennedy MW. 2008. Anisakis simplex: from obscure infectious worm to inducer of immune hypersensitivity. Clinical Microb. Rev. 21(2): 360-379.
Cleaveland S, Laurenson MK, Taylor LH. (2001). Diseases of humans and their domestic mammals: pathogen characteristics, host range and the risk of emergency. Philos Trans roy Soc Lond biol Sci. 356:991-999.
Dawson D. 2005. Foodborne Protozoan Parasites. Elsevier: Int. J. of Food Microbiol. 103: 207-227.
[EC] European Commission. 2004. Regulation (EC) No. 853/2004 of the European Parliament and of the Council of 29 April 2004 laying down specific hygiene rules on the hygiene of foodstuffs. Off. J. Eur. Union 139: 55–95.
Eom KS, Joen HK, Kong Y, Hwang UW, Yang Y, Li X. 2002. Identification of Taenia asiantica in China:Molecular, Morphological and Epidemiological Analysis of Luzhai Isolates. J. Parasitol. 88: 758-764.
Ito A, Wandra T, Yamasaki H, Nakao M, Sako Y, Nakaya K, Margono SS, Suroso T, Gauci C, Dightowlers MW. 2004. Cysticercosis/Taeniasis in Asia and the Pasific. Vector Borne Zoonotic Dis. 4: 95-107.
Lymbery AJ, Cheah FY. 2007. Anisakid nematodes and anisakiasis. Dalam: Murrell KD, Fried B. Food-borne Parasitic Zoonoses: Fish And Plant-Borne Parasites. New York : Springer Science.
Murdiati TB, Sendow I. 2006. Zoonosisyang ditularkan melalui pangan. Wartazoa 16(1): 14−20.
Murrell KD. 2013. Zoonotic Foodborne Parasites and Their Surveilance. Rev. sci. tech. Off. Int. Epiz. 32(2): 559-569.
Nicholas R, Smith H. 2003. Parasite, cryptosporidium, giardia and cyclospora as foodborne pathogens. p. 453−478.  In  C.W. Blackburn and P.J. Macclure (Eds.). Food-borne Pathogens: Hazards, risk analysis and control.  England: Woodhead Publishing in Food Science and Technology.
Pozio E. 2013. Integrating animal health surveillance and food safety: the example of Anisakis. Rev. sci. tech. Off. int. Epiz. 32(2):487-496.
Santi DN. 2001. Manajemen Pengendalian Lalat.  [Diunduh 11 Desember 2015]. Tersedia pada: http://library.usu.ac.id/download/fk/fk-Devi.pdf
Santos CAML, Howgate P. 2011. Fishborne zoonotic parasites and aquaculture: A review. Aquaculture 318:253–261.
Saridewi R. 2008. Emerging Parasit pada Daging. Bul. BPMSPH 2008.
Soejodono RR. 2004. Zoonosis. Bogor (ID): Laboratorium Kesmavet. Departemen Penyakit Hewan dan Kesmavet. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Suharsono. 2002. Zoonosis Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia. Yogyakarta (ID): Kanisius.
Torgerson PR, de Silva NR, Fèvre EM, Kasuga F, Rokni MB, Zhou XN, Sripa B, Gargouri N, Willingham AL, Stein C. 2014. The global burden of foodborne parasitic diseases: an update. Trends Parasitol. 30(1):20-6.
[USDA] United States Department of Agriculture Food Safety and Inspection Service. 2015. Parasites and Foodborne Illness. [Diunduh 12 Desember 2015]. Tersedia pada: http://www.fsis.usda.gov/wps/portal/fsis/topics/food-safety-education/get-answers/food-safety-fact-sheets/foodborne-illness-and-disease/parasites-and-foodborne-illness/
Widodo AY. 2008. Strategi menghadapi abad zoonosis. [Diunduh 10 Desember 2015]. Tersedia pada: (http://id.wikepedia.org/wki/zoonosis).